Ulasan ini ditulis berdasarkan hasil riset dari beberapa sumber. Salah satunya sumber terpercaya dari pegawai KUA di Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Benar saja, angka pendaftaran pernikahan menurun di tahun 2024 ini. Angka pendaftaran pernikahan di KUA ini lebih sedikit dibandingkan pendaftaran pernikahan di tahun-tahun sebelumnya.
Secara umum, dilansir dari CNN Indonesia berdasarkan laporan data Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahawa angka pernikahan di Indonesia menurun paling drastis 3 tahun terakhir. Angka pernikahan sejak 2021 hingga 2023 saja menyusut hingga 2 juta.
Menurunnya angka pernikahan di Indonesia didominasi masalah umum berkutat soal finansial. Tetapi tidak sedikit juga menurunnya angka pernikahan dipengaruhi oleh pola pikir yang berubah dan kesiapan mental bagi kaum muda yang sudah melek terhadap mental healthy.
Trauma Masa Kecil Seseorang Mempengaruhi Keputusan Menikah
Sebelum menulis ulasan ini, terdapat kesempatan kecil untuk bertanya kepada seorang gadis (tidak berkenan disebut namanya) yang telah berumur 26 tahun. Ukuran seseorang yang tinggal di desa, usia 26 tahun sudah termasuk memasuki usia cukup matang untuk menikah. Namun gadis ini masih enggan menikah dan memilih fokus bekerja.
Bukan hanya tampak matang dari usia, dia juga telah bekerja di sebuah instansi ternama. Hal ini mampu membuat orang-orang melipat dahi saat mendengar penjelasannya bahwa dia belum siap menikah.
Setelah dikulik, dia bersedia menjelaskan alasannya tanpa bertele-tele dan tanpa alasan klise terkait finansial secara general saja. Memang benar, salah satunya terkait finansial. Dia mengalami trauma masa kecil yang terus melekat di benaknya hingga saat ini. Naik turun perekonomian orang tuanyalah yang menggores trauma mendalam.
Dia terlahir sebagai anak kedua dari enam bersaudara dan sebagai anak perempuan paling tua. Sebagai anak perempuan paling tua, dia sejak kecil telah dibebani untuk mengasuh adik-adiknya.Â
Dia nyaris kehilangan masa kecil untuk bermain sesuai dengan kehendaknya. Selama masa kecil, dia hanya bisa bermain sembari menjaga adik-adik yang rentang usianya tidak jauh berbeda dengannya.
Di masa tersulitnya, dia pulalah yang harus menebalkan muka untuk berutang di kios-kios sembako ketika di rumah tidak tersedia bahan makanan. Pundak kecil itu bukan hanya kehilangan kesempatan bermain sesuka hati, tetapi juga harus kehilangan rasa diayomi karena harus sibuk mengayomi.
Luka masa kecil itu yang kini masih membekas goresannya. Seiring waktu lukanya memang kering, orang-orang yang pernah menghujatnya pun telah dimaafkan, dia sudah berkompromi dengan takdir yang sudah terjadi. Tetapi bekas lukanya tidak semudah itu memudar.