Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dampak Melakukan Sadfishing di Media Sosial

17 Agustus 2024   13:27 Diperbarui: 17 Agustus 2024   13:28 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era digital dewasa ini, media sosial telah menjadi platform yang vital dalam kehidupan. Bahkan rasanya dunia maya itu justru menjadi prioritas dan terasa lebih nyata. Banyak orang dekat dijauhkan oleh perangkat digital, sedangkan orang jauh didekatkan oleh perangkat yang sama.

Secara umum, pengguna media sosial dengan jejaring internet atau yang lumrahnya disebut warganet mengunggah apa saja yang ingin dibagikan kepada khalayak maya. Ternyata warganet bukan hanya  mengunggah pencapaian sebagai alat memotivasi orang lain atau flexing sebagai unjuk jati diri, warganet juga mebagikan berbagai kisah pilu nan membiru.

Kisah pilu yang dibagikan warganet bukan hanya kisah pilu sebagai fenomena umum, misalnya membagikan lagu patah hati ketika hati di kondisi tersebut. Tetapi juga kisah pilu yang bahkan amat sangat privasi, misalnya permasalahan rumah tangga, penyakit yang diderita, atau bahkan masalah keuangan pribadi.

Oversharing terkait kesedihan yang berlebihan di media sosial dapat disebut dengan istilah sadfishing. Dilansir dari parapuan.co, istilah sadfishing dipopulerkan pertama kali oleh seorang jurnalis bernama  Rebecca Reid pada tahun 2019 lalu.

Istilah sadfishing sendiri mengarah kepada unggahan-unggahan kesedihan yang sifatnya berlebihan atau oversharing. Dengan frekuensi yang kerap atau dengan unggahan yang tidak dibatasi oleh privasi lagi.

Rasanya unggahan di media sosial yang merujuk pada sadfishing sudah tidak asing lagi. Dari unggahan akun pribadi public figure sampai akun para khayalak yang bukan siapa-siapa banyak dijumpai lini masa yang memuat kesedihan kehidupan.

Pengalaman pribadi saja, tidak jarang dijumpai di beranda media sosial tentang keluhan kehidupan sehari-hari, dari sesepele keluhan udara panas, mati aliran listrik, pasangan yang tidak pengertian, keuangan yang tidak stabil dan lain sebagainya. Bahkan ada satu akun yang memperbaharui status puluhan kali dalam sehari hanya untuk sharing apa-apa yang dilakukan dan dirasakan.

Pernah dijumpai unggahan keluh kesan terkait rumah tangga yang di kolom komentarnya berujung percekcokkan antara pro dan kontra. Sebenarnya oversharing terkait kesedihan atau sadfishing ini tidak cukup membantu mencari jalan keluar.

Disadari bahwa kekuatan mental orang itu berbeda-beda, mungkin saja seseorang yang sedang mengalami hari buruk atau tragedi memilukan akan sedikit mereda lukanya ketika berbagi dengan orang lain. Tetapi berbagi di media sosial yang notabene akan dilihat oleh orang seantero dunia, rasanya tidak cukup bijak. Apalagi jika berbagi berlebihan itu justru mendatangkan konflik baru sebab yang awalnya tidak banyak yang terlibat jadi melibatkan orang-orang lain yang pro maupun kontra.

Kecewa tanpa simpati

Mungkin beberapa orang yang melakukan sadfishing memperoleh kepuasan tersendiri setelah berbagi dan mendapatkan atensi publik atas keprihatinannya. Tetapi sampai kapan itu terjadi? Apakah publik akan selamanya menaruh atensi? Perjalanan media sosial terlalu cepat bergulir. Warganet pun akan bosan dengan cerita yang itu-itu saja. Apalagi begitu banyak suguhan konten menarik dan viral di setiap harinya.

Maka, orang yang selalu melakukan sadfishing akan habis masa mendapatkan atensinya. Orang lain pun akan bosan bahkan muak dengan cerita sedih yang terus ditayangkan secara umum di media sosial pribadi itu. Dampaknya adalah ketika tidak mendapatkan simpati lagi, bukannya lega telah berbagi kesedihan, justru kecewa dengan kenyataan di dunia maya tersebut.

Orang yang biasa melakukan sadfishing itu adalah orang yang haus akan simpati orang lain. Begitu tidak mendapat simpati atau perolehan simpati publik itu menurun, maka akan timbul kekecewaan dalam diri. Bukannya reda kegalauannya malah bertambah dan berlimpat ganda galaunya.

Kurangi atau bahkan sudahi kebiasaan sadfishing di media sosial untuk kedamaian diri sendiri dan sekitar. Tidak perlu cepat-cepat, pelan-pelan saja, nantinya pasti bisa.

Jadi perbincangan hingga dunia nyata

Menjadi perbincangan di dunia nyata setelah diketahui kemelut hidupnya dari dunia maya yang disebarkannya sendiri adalah fenomena lumrah. Apalagi jika daftar pertemanan di media sosial itu orang-orang sekampung atau sekecamatan sendiri.

Dampak ini tentu sangat tidak menyenangkan dan mengganggu. Bukan hanya pelaku sadfishing yang terganggu tetapi keluarga dekat juga dapat menerima imbas tersebut.

Bayangkan saja, jika salah satu anggota keluarga melakukann sadfishing di media sosial dan dilihat oleh orang-orang sekampung, sekantor, sekecamatan, dan salah satu anggota keluarga lainnya keluar rumah kemudian ditanya-tanya oleh orang-orang yang telah membaca sadfishing tersebut, tentu sangat menggagu kenyamanan, bukan? Apalagi jika sadfishing-nya itu terkait urusan yang sifatnya personal dan harusnya privasi.

Contoh peristiwa ini sungguh tidak membuahkan solusi dari permasalahan yang menimbulkan rasa sedih tersebut. Memang tidak dianjurkan untuk menghakimi orang-orang dengan konten media sosial yang penuh drama luka, tetapi jika memiliki orang dekat yang demikian, baiknya coba diajak berbincang dari hati ke hati atau deep talk untuk melegakan perasaannya.

Demikian ulasan terkait sadfishing dan dampak yang akan dirasakan jika melakukannya di media sosial terus-menerus. Yuk, lebih bijak lagi dalam bersikap di media sosial. Rehat dulu sejenak dari riuhnya duniawi digital jika diperlukan. Setelah itu kembalilah  dalam keadaan perasaan yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun