Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru Mengunggah Nilai Ulangan Siswa di Sosial Media, Etiskah?

12 Desember 2023   17:24 Diperbarui: 13 Desember 2023   12:58 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagain besar sekolah di Indonesia telah menuntaskan ulangan semester atau disebut juga Penilaian Akhir Semester (PAS) di semester ganjil tahun ajaran 2023/2024. Berbagai reaksi guru atas nilai dalam bentuk angka sebagai poin yang dihasilkan dari kerja ulangan siswa. Ada yang cukup puas dengan nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), ada pula yang kecewa dengan nilai yang tidak memenuhi standar.

Berbagai macam cara guru untuk menyampaikan hasil nilai ulangan tersebut. Ada yang menempel daftar hasil nilai ulangan di dinding bangunan sekolah, ada yang membacakan nilai di depan kelas, ada yang disampaikan secara individual dan ada yang diunggah di sosial media agar lebih luas lagi cakupan orang yang menilat hasil tesebut. Saya sendiri tipe guru yang akan membacakan nilai ulangan di depan kelas bagi yang mau dibacakan saja, bagi yang tidak bersedia dibacakan, saya akan memberitahukan secara personal. Tidak ada hukuman moral yang diberikan untuk siswa yang sekiranya nilainya rendah.

Dalam minggu-minggu ini, saya membaca status salah satu rekan guru yang mempertanyakan keetisan sikap guru lain yang mengunggah nilai siswanya di sosial media untuk konsumsi publik. Banyak menuai komentar netizen tetapi dengan satu poin yaitu tidak berpihak atau tidak menyetujui tindakan guru yang membagikan nilai siswa di sosial media.

Sementara pada postingan guru yang mengumbar nilai siswa SD di Facebook itu meraup ribuan likes dan komentar. Bukan hujatan kepada pengunggah, justru hasil ulangan itu menjadi bahan olok-olok dan lelucon bagi netizen. Sebegitu butuh hiburankah pengguna sosial media di negeri ini? Jatuhnya sudah terjadi cyberbullying (perundungan di dunia maya).

Privasi siswa dikuliti dan seluruh dunia dapat melihat itu. Bagaimana perasaan siswanya? Bagaimana perasaan orang tuanya? Bagi siswa yang nilainya baik, akan merasa baik-baik saja dan justru menginginkan semua guru melakukan itu agar seantero dunia tahu nilainya bagus. Di sini melahirkan ketidak pedulian siswa kepada rekannya sendiri yang memiliki nilai tidak cukup standar. Di mana nilai karakter yang digaungkan itu wahai guru?

Cerdas kognitif Vs cerdas karakter

Melihat fenomena guru yang seenaknya menyebarkan nilai hasil ulangan siswa di sosial media, saya mencoba untuk melakukan riset. Ternyata tujuan guru mengunggah nilai ulangan siswa di sosial media itu dengan tujuan baik, yaitu agar siswa yang nilainya tidak memenuhi standar akan malu dan akan berlajar lebih giat lagi. Ala-ala sangsi sosial yang diberikan oleh guru.

Oknum guru tersebut berkiblat pada kecerdasan kognitif, yang menjadikan nilai berbentuk angka-angka itu sebagai standar keberhasilan seorang siswa. Semakin besar angka nilai ulangan siswa, semakin dianggap berhasil siswa tersebut.

Lalu apa kabar dengan kecerdasan karakter? Sejak kurikulum 13, pendidikan karakter sudah digembar-gemborkan. Bahkan semua sekolah sudah meyakini bahwa sekolahnya telah menanamkan pendidikan karakter.

Pasalnya, kemarin saya baru saja mendengar dari siswa yang cukup pintar, baik pula perilakunya. Dia menganjurkan kepada saya untuk mengunggah hasil nilai ulangan mata pelajaran yang saya ampu di platform TikTok. Tentu saya tanya mengapa? Terkejutnya saya ketika dia menjawab bahwa hanya sekadar ingin tahu nilai teman-teman lain dan agar jika nilainya tidak bagus akan merasa malu, kemudian memperbaikinya di ulangan berikut. Ini anak cukup pintar secara akademik, dia pasti yakin nilainya baik, maka dia berani mengambil risiko jika nilai ulangan diunggah di TikTok. Dia tidak akan merasakan malu, dia paham itu.

Gara-gara dia melihat konten guru mengunggah nilai siswa di sosial media, hilang sudah empatinya kepada teman-teman siswa lain yang kemungkinan memperoleh nilai kurang baik. Sesederhana ini, pendidikan karakter pupus dari motivasi internalnya. Siswa akan belajar dengan sungguh-sungguh demi memperoleh angka bagus agar tidak malu di sosial media, kelak itu yang akan menjadi  motivasi mereka jika guru masih melakukan aksi tersebut.

Belum lagi risiko siswa yang mendapat nilai tidak sesuai standar akan menerima cyberbullying. Perundungan di sini sebenarnya bukan hanya dilakukan oleh rekan sesama siswa tetapi oleh gurunya sendiri yang mengunggah nilai ulangan di sosial media. Selama ini guru selalu memberi peringatan terkait saling menyayangi dan hindari bully, tapi kasusnya justru guru sendiri pelaku bullying.

Batasan guru sebagai konten kreator

Sosial media mungkin sebagai wadah menunjukan eksistensi, termasuk guru. Banyak konten-konten video guru yang digandrungi dan dikagumi netizen. Ada konten edukasi sampai konten yang seru-seruan. Walau sudah sering mengunggah segala konten, tetapi terdapat beberapa hal terkait siswa yang tidak boleh diunggah sebab menyangkut hal pribadi siswa itu sendiri.

  • Data pribadi siswa tidak diperkenankan untuk diunggah dalam bentuk apapun. Semua guru saya rasa paham ini.
  • Kasus siswa bermasalah. Sekesal apapun seorang guru atas kasus seorang siswa, tidak selayaknya untuk meluapkan kekesalan itu di sosial media. Akan tampak tidak profesional.
  • Unggahan yang menjatuhkan harga diri siswa. Salah satunya adalah nilai hasil ulangan yang tidak memenuhi standar.
  • Tidak mengunggah foto atau video siswa tanpa izin. Jika siswa tidak berkenan jika foto atau videonya diunggah, maka urungkan itu.

Sejatinya, nilai-nilai ulangan siswa itu adalah bukan hanya harga diri siswa, tetapi juga harga diri sekolah. Bahkan bisa jadi nilai-nilai itu adalah dokumen sekolah. Sehingga sekolah juga yang akan kena imbasnya.

Pada kolom komentar postingan nilai hasil ulangan di Facebook yang diunggah oleh oknum guru itu ditemukan juga hujatan netizen terkait sekolah. Beberapa mencaci-maki sekolahnya yang dianggap tidak bermutu. Sebaiknya sebagai guru menutup kekurangan siswa juga kekurangan sekolah yang menaunginya.

Nilai-nilai siswa adalah perihal intern antara guru, siswa, sekolah dan orang tua siswa. Bukan untuk konsumsi publik maya. Guru pun tidak dapat memastikan ribuan viewers pada unggahannya itu siapa saja, likes dan komen itu juga siapa saja yang melakukannya. Mari lebih hati-hati dan saling menghargai. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun