Mendapatkan undangan dalam sebuah acara adalah sebuah kehormatan. Ini artinya penerima undangan adalah seseorang yang dianggap layak untuk menghadiri acara yang diselenggarakan.
Undangan itu bervariasi dari sifatnya, ada undangan resmi dan undangan tak resmi. Untuk undangan resmi biasanya dikeluarkan oleh lembaga atau instansi.Â
Berhubung sifatnya resmi, biasanya undangan langsung ditujukan kepada penerima melalui utusan terpercaya dari lembaga. Sedangkan surat undangan tak resmi yaitu pada acara-acara pribadi seperti acara pernikahan, khitanan, wedding anniversary, ulang tahun dan lain sebagainya.
Di era digital seperti sekarang ini sudah umum menggunakan undangan daring berupa tautan yang dapat diakses melalui telepon pintar. Bahkan biasanya pada undangan daring tertera nomor rekening si pengirim undangan. Dengan tujuan jika orang yang diundang tidak dapat hadir, maka dapat menransfer sejumlah uang ke nomor rekening tersebut. Bisa dibilang makna menghadiri undangan dan memberi restu diambil alih oleh nomor rekening.
Walau fenomena undangan daring sudah sangat marak, tetapi jenis undangan konvensional masih luas digunakan apalagi di pedesaan.Â
Di desa, tidak semua memiliki nomor kontak yang dapat diakses dengan internet. Sampai di tahun 2023 ini pun saya masih sering menerima undangan lisan dan cetak.
Biasanya undangan cetak diantarkan oleh seseorang yang menjadi utusan terpercaya oleh pemilik hajat. Kali ini saya akan mengulas beberapa pengalaman saya memperoleh undangan hajatan terkait etika menyampaikan undangan.
Undangan lisan
Tidak jarang undangan hajatan masih berupa undangan lisan. Beda lokasi beda pula penyampaian undangannya. Saya pernah tinggal di kota, untuk penyelenggara hajatan tetangga biasanya hanya disampaikan undangan secara lisan saja.Â
Saya agak terkejut saat itu, pasalnya sang menyampai undangan hanya mengucap salam kemudian berdiri di pintu untuk menyampaikan niat undangan.Â
Tanpa dipersilakan masuk terlebih dahulu, si penyampai undangan langsung menyatakan maksud dengan intonasi yang sangat cepat bahkan hampir berteriak. Bahkan si penyampai undangan tidak berdadan rapi, kadang hanya ibu-ibu berdaster dengan sendal jepit. Walau terkejut, saya tidak dapat menyalahkan hal itu. Mungkin memang sudah tradisinya begitu.