Belakangan jagat sosial media sedang diramaikan mengenai perselingkuhan para pesohor negeri. Kasus Inara Rusli dan Dahlia Poland yang membongkar obrolan pesan teks mesra suaminya dengan wanita idaman lain menyita perhatian publik terutama emak-emak pengguna sosial media.Â
Dilansir dari akun Instagram Dahlia Poland, bahwa Fandy Christian memiliki affair dengan lawan mainnya di sebuah sinetron yang dibintanginya. Jatuhnya dari urusan professional jadi ke soal personal.
Mereka adalah segelintir public figure yang tersorot yang berimbas jadi konsumsi publik. Bagaimana dengan orang biasa yang kisah hidupnya tidak menjadi daya tarik masyarakat luas? Apakah selamat dari jerat cinta terlarang? Tentunya tidak ada yang menjamin juga.
Hasil riset di beberapa konten jejaring sosial TikTok, saya menemukan beberapa akun yang sengaja memuat kisah pilu cinta terlarang. Tidak terduga sebelumnya bahwa konten-konten serupa mendapat angka like dan komentar ribuan hingga puluhan ribu. Apakah komentar hujatan? Justru komentar-komentar pilu, merasa berdosa, serba salah dan nelangsa. Ribuan orang menumpahkan perasaannya di sana. Banyak juga ternyata.Â
Entah siapa yang salah, jika hakikatnya cinta itu datang tanpa dapat dipilih ke mana akan jatuh. Tetapi, jalan hidup adalah pilihan. Ada jalan lurus, ada pula tikungan dan ada jalan buntu. Memilih jalan menuruti kata hati untuk menjalin cinta terlarang tentu sebuah pilihan yang bukan jalan buntu atau jalan lurus.
Mendengar dan membaca komentar hujatan bagi para pelaku cinta terlarang sudah sangat biasa. Terlihat sangat pantas diterima sebagai sangsi sosial. Bagaimana jika posisi sudut pandang diputar ke arah pelaku? Apakah semua motifnya sama? Apakah semua hanya soal harta, takhta dan wanita? Tentu tidak.
Menurut riset pribadi dengan narasumber yang tidak bersedia disebutkan namanya, menyatakan bahwa bahkan jeratan cinta terlarang dapat menebar virus pada orang yang tidak mengalami kekurangan apapun dalam rumah tangga, harta dan takhta.Â
Wanita-wanita karir yang memiliki pasangan resmi mapan, tampan, cukup uang, kenyamanan terjamin, apakah luput dari masalah kemelut cinta? Belum tentu.
Apalagi wanita-wanita karir yang bekerja di luar rumah dan harus pergi ke kantor, biasanya akan menjadi mangsa renyah cinta terlarang di tempat kerja. Tidak jauh-jauh, partner kerja justru rentan menjadi kawan untuk selingan.
Trauma korban body shimming
Untuk perempuan mapan dalam pekerjaan dan memiliki pasangan yang tidak kurang materi juga kasih sayang, biasanya trauma masa lalu menjadi penyebab tertarik pada lelaki yang tidak seharusnya. Trauma soal hati, perasaan, dan jatuh cinta, tidak semudah trauma jatuh dari pohon jambu untuk menyembuhkannya.
Trauma masa lalu soal pelecehan terhadap perempuan mengakibatkan timbulnya ketidakpercayaan perempuan terhadap seorang lelaki. Ketidakpercayaan ini timbul dalam membina sebuah komitmen dengan seseorang.
Pelecehan bukan hanya berbentuk sentuhan yang identik dengan seksual saja, pelecehan dapat berupa pelecehan verbal juga. Misalnya pelecehan di masa lalu dalam bentuk body shimming. Badan kayak badak, gigi kayak manusia purba, dan celaan-celaan secara verbal lainnya. Hal ini dapat menimbulkan trauma yang mendoktrin pikirannya bahwa lelaki hanya memandang fisiknya saja. Ketika dewasa, mapan dan fisik dapat terawat dengan baik, banyak yang mengagumi, di situlah celah untuk penderita masuk dalam jeratan cinta terlarang.
Tentu itu terjadi bukan suatu  kesengajaan. Kalau dipikir-pikir, segala sesuatunya sudah tercukupi, mengapa masih terjerat juga? Trauma pernah menerima melecehan itulah yang menimbulkan perasaan dendam yang membutuhkan pembuktian pada diri sendiri yang biasanya terjadi di luar kendali.
Nyaman pada yang selalu ada
Merasa nyaman pada sosok yang selalu ada di hadapan, inilah perempuan yang amat sangat rentan terjerumus cinta terlarang dengan rekan kerja.Â
Pada umumnya perspektif untuk para wanita karir yang super sibuk adalah watak workaholic. Kerja, kerja dan kerja. Secara umum hampir semua orang memandangnya soal kerja dan materi. Mereka lupa memandang soal hati.
Sekerja bagai kuda apapun, perempuan itu menomor satukan perasaan. Sekeras apapun, jika hati tersentuh, pasti luluh. Siapakah yang paling memiliki peluang untuk menyentuh hati wanita kantoran? Apakah suami yang berbeda profesi? Ayah ibunya yang bahkan tidak paham pekerjaan anaknya? Sahabat yang belum tentu sebulan sekali bertemu? Tentu bukan, rekan kerja sekantorlah yang paling memiliki potensi menyentuh hatinya. Hal ini terjadi karena rekan sekantorlah yang paling paham seberapa lelah dia, bagaimana menumpuknya pekerjaan, bagaimana lelahnya mengejar target hingga lembur bersama.
Untuk perempuan yang berada dalam keluarga dan pertemanan yang hanya memandangnya pekerja, kuat dan mandiri tanpa pernah mengerti soal hati. Rekan kerja adalah tempat ternyaman untuk mengadukan segala letih. Posisi ini sangat berbahaya dan besar kemungkinannya untuk terjadi saling curhat, nyaman dan jatuh hati.
Risiko di tempat kerja
Memiliki skandal di tempat kerja sungguh berisiko fatal. Bukan akan hanya ditanggung sendiri akibatnya, tetapi akan menarik siapa saja yang terkait. Rekan kerja, atasan, bawahan, semua akan turut terlibat.
Bukan hanya semata-mata soal citra belaka. Jika hanya soal citra, kantor dapat meningkatkan kualitas kerja. Tetapi untuk kantor yang tidak mau ambil andil lebih tentang skandal, maka pemecatan akan menjadi risiko terfatal. Apalagi jika pelaku bukan orang yang berpengaruh, kantor tidak akan merasa kehilangan. Dengan mudah kantor akan cuci tangan membersihkan kasus.
Itu baru satu risiko di tempat kerja. Belum lagi risiko dalam keluarga, lingkungan dan lain sebagainya. Kehilangan pekerjaan yang telah dibangun dengan energi, waktu dan biaya, bukan perkara mudah.
Bertepuk sebelah jalan
Menjalin cinta terlarang ibarat sama-sama menggenggam tangan untuk mendaki gunung. Bersusah payah saling membantu untuk berhasil menuju puncak. Segala halangan yang membentang dapat bersama-sama diterjang. Namun, jangan lupa bahwa sesukses apapun mendaki gunung, tetap harus turun dan pulang.
Mencintai suami orang tak ubahnya mendaki gunung tersebut. Ada waktunya harus pulang dan bertepuk sendirian. Yang saat bersama dapat saling menggenggam, saat pulang hanya bisa bertepuk sebelah jalan.
Untuk wanita pekerja yang bahkan tidak butuh materi dari pria yang dicintai, kepiluan akan lebih kuat menyertai. Pasalnya, dia tidak memanfaatkan lelakinya untuk meraup harta. Dia hanya jatuh sebab terpaut kenyamanan yang berbeda.
Hanya saja, jangan pernah lupa risiko yang harus ditanggungnya. Bukan hanya soal perasaan yang harus menanggung luka saat tak dapat memiliki. Namun, soal sangsi sosial dan beban moral juga akan mengancam kehidupan dari segi kepercayaan dan karir.
Dipikir lagi wahai para kawan perempuan! Sejauh-jauhnya hindari mara bahaya berkedok cinta ini. Bagi yang sudah terlanjur jatuh, ayo bangkit, hidup masih panjang dan manis. Jangan buang-buang waktu untuk menyiksa diri dengan perasaan yang tidak semestinya.
Untuk kawan perempuan yang hampir terjerumus, lekaslah hengkang. Pulihkan perasaan segera. Sisi negatifnya jauh lebih berisiko dibandingkan manisnya kasmaran pada lelaki orang.
Mungkin akan merasa menang karena dapat menikmati kesetiap hariannya di kantor bersama. Tetapi ke mana ketika hari libur tiba? Bersama keluarganya, bukan? Berfoto ria, diunggah di sosial media. Hanya pedih, merasa dungu dan merasa berdosa yang didapatkan. Mau cemburu, tetapi tidak memiliki hak. Hanya selingan, mana bisa diprioritaskan.
Tanamkan dalam diri untuk menjadi professional seutuhnya. Dunia kerja dijalani sebagaimana kewajibannya. Bukan memaksa untuk mengekang perasaan, tetapi menimbang risiko di masa depan itu perlu.
Mungkin tidak separah seorang public figure yang akan dibicarakan seluruh masyarakat Indonesia, tetapi bagi orang biasa pun tidak mudah menanggung beban moralnya. Banyak di platform sosial media yang justru mengumbar kepedihan sebab terjerumus ke dalam pelukan suami orang. Kolom komentar pun dibanjiri kepiluan yang sama dengan berbagai kisah serupa. Dipikir lagi, aib menjadi rahasia umum.
Kawan perempuan, jaga diri, ya. Kita berharga. Tak apa sakit menahan perasaan sekarang, dari pada sakit menahan sangsi sosial. Tetap professional dan urusan personal lebih digaja lagi agar diri tetap sehat jiwa raga dan terhindar dari masalah-masalah dengan aura negatif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H