Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Hobi Membaca Awal dari Segalanya

7 Mei 2023   17:01 Diperbarui: 7 Mei 2023   17:17 851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berawal dari hobi membaca, buku saya menemukan pembacanya. Foto: Koleksi Kakak Nenie Djafar di Papua Barat.

Jika mendengar hobi membaca di era yang dibombardir oleh era audio visual seperti sekarang ini, sepertinya agak canggung di telinga. Sudah menjadi hobi yang lumrah sekarang menikmati segala sumber informasi, pengetahuan dan hiburan melalui konten berbentuk video. 

Padahal konten-konten bacaan juga sudah dapat diakses secara digital, tetapi huruf demi huruf tidak lagi memikat bagi generasi audio visual. Bacaan hanya seperti nasihat yang membosankan. Bahkan jika mendengar profesi seorang kreator konten, langsung terpikir YouTuber, TikToker dan lain sejenisnya. Padahal penulis seperti kompasianers juga seorang kreator konten, bukan?

Namun hobi membaca tidak tertimbun zaman bagi orang-orang dengan kadar hobi membaca yang telah mandarah daging seperti saya. Baik membaca buku sebagai produk cetak, maupun membaca dengan bantuan perangkat gawai dan laptop sebagai produk digital.

Meneliti kemunduran hobi membaca saat ini, begitu banyak artikel yang memuat tips dan trik agar anak-anak memiliki hobi membaca sejak dini. Segala upaya yang menarik ditawarkan agar generasi muda juga dapat menggali informasi, pengetahuan dan hiburan dari membaca.

Kembali lagi ke kebutuhan seorang pembaca, ia membaca sebagai hobi atau sebagai kebutuhan. Hobi membaca diambil alih oleh tontonan yang tidak hanya menyuguhkan kata-kata untuk berimajinasi, tetapi langsung diperlihatkan bentuk dan suaranya. 

Berbeda dengan membaca untuk kebutuhkan, walau banyak tersedia video ilmu pengetahuan, life hack dan sebagainya untuk informasi kebutuhan hidup manusia, tetapi masih ada yang membutuhkan membaca untuk kebutuhkan kajian literatur. Jadi, bukan lagi soal hobi dan membaca bukan dilakukan dengan senang hati.

Pernah saya bercakap dengan seorang teman soal hobi membaca yang saya miliki sejak baru bisa membaca itu, kemudian teman yang juga generasi 90an menimpali, "Lebih suka nonton film sih daripada baca novel atau baca cerita di platform menulis. Soalnya kalau film enggak perlu berimajinasi, langsung nyata terlihat apa yang dimaksud." Fixed, dia makhluk visual, bukan seperti orang-orang yang memiliki hobi membaca yang justru suka berimajinasi.

Sangking saya suka membaca dan suka berimajinasi dengan cerita-cerita yang saya baca, saya pernah memiliki tokoh fiksi idola. Ia adalah Zaman Zulkarnain, tokoh utama dalam novel "Tentang Kamu" karya Tere Liye. Saya sampai tergila-gila kala itu. Anak zaman sekarang juga memiliki tokoh fiksi idola, bedanya dalam bentuk anime yang masih berbentuk secara visual.

Jika ditanya, "Mengapa hobi membaca? Toh zaman sudah berubah lebih maju." Jawabannya adalah justru membaca adalah awal dari segalanya saya tumbuh dan terbentuk.

Hobi membaca era 90an di Pulau Buru

Diawali dari kisah hobi membaca di tahun 90an, di Pulau Buru pula. Sekarang begitu banyak referensi bacaan, secara cetak maupun buku elektronik, atau bahkan artikel-artikel yang dapat dijelajahi di internet. Di era tahun 90an, saya masih SD kala itu, tidak ada fasilitas untuk mengakses internet, sedang provider seluler saja baru masuk ke Pulau Buru sekitar tahun 2005, saya SMA kala itu.

Maka, di tahun 90an, saya hanya dapat memenuhi kebutuhan hobi membaca itu dari buku cetak yang sungguh terbatas. Sedangkan perpustakaan daerah Kabupaten Buru saja baru diresmikan pada tahun 2014. Jadi, sumber bacaan jelas-jelas terbatas di tahun 90an. 

Minimnya bahan bacaan kala itu, membuat saya membaca apa saja yang dapat dibaca. Tak ada majalah anak-anak yang trend. Entah majalah anak-anak tak menjangkau daerah tempat saya bermukim atau memang orang tua tidak memiliki cukup dana untuk membeli. Atau bahkan orang tua tidak menyadari bahwa saya gila membaca.

Siapa saja di sekolah yang memiliki buku cerita, pasti saya akan meminjamnya. Sungguh kebagiaan tersendiri jika itu terjadi. Kadang saya juga membaca majalah bekas milik bibi.

Perpustakaan sekolah saat itu belum memiliki banyak koleksi buku seperti sekolah-sekolah sekarang. Hanya puluhan buku saja sudah dianggap banyak. Rasanya perpustakaan SD saat itu yang koleksi bukunya hanya terdapat di satu lemari saja, bukunya sudah habis saya pinjam dan baca.  

Jika beruntung, orang tua akan membelikan buku pelajaran baru saat pulang dari kota. Masih lekat dalam ingatan bagaimana Emak membelikan saya buku atlas (peta dunia), saya bolak-balik membaca buku atlas dari pulau ke pulau, saya berjanji pada buku atlas bahwa kelak saya akan keluar dari Pulau Buru. Pulau Jawa, Pulau Sulawesi ditunjuk oleh jari-jemari kecil. Saya banyak menghafal ibu kota negara di dunia juga dari buku atlas tersebut.

Saya juga pernah dibelikan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus setebal itu, saya baca habis, yang sebenarnya bagi orang lain tidak ada sisi menariknya. Terpaksa saya melakukannya demi memenuhi hasrat baca dan tidak ada pilihan bahan bacaan lain yang dapat dinikmati.

Suatu hari Emak juga membelikan buku Intisari Ilmu Pengetahuan Sosial untuk SD. Entah buku tersebut telah saya baca berapa kali. Berulang-ulang, dari bagian sejarah Indonesia, geografi, ekonomi Indonesia dan masih banyak ilmu sosial lain. Berulang-ulang dibaca hingga hafal banyak hal.

Hobi membaca adalah cikal bakal naluri kaingintahuan yang saya miliki. Rasa penasaran yang harus diperjuangkan hanya sekadar ingin membaca.

Ingin menjadi penulis

Hobi membaca membawa saya memiliki buku atau bacaan kesukaan. Bacaan dengan jenis biografi sempat membuat saya tergila-gila. Pernah membaca biografi mantan presiden Indonesia kelima, Bapak Soedharmono. Buku itu dipinjam dari perpustakaan sekolah SMP. Dari buku itu, membangkitkan mimpi-mimpi besar dari seorang kecil.

 Karena sempat menggilai isi buku-buku, saya selalu salut pada nama-nama penulis yang tertera pada setiap sampul buku yang dibaca. Nama-nama itu tampak begitu berwibawa. Saya merasa akan sangat bangga jika suatu hari nama saya ada di sampul buku dan seseorang menggilai tulisan dalam buku tersebut.

Dari situlah saya bertekad untuk menjadi penulis suatu hari nanti. Berawal dari terinspirasi untuk menulis sebuah cerita kolosal saat duduk di bangku SMP, saya menulis sebuah cerita berjudul, "Sekar Andhini" di sebuah buku tulis bekas yang halaman belakangnya sisa tiga lembar. 

Di situlah saya menulis dan memaksa teman di kelas untuk membaca tulisan itu. Sayangnya saya memiliki tulisan tangan yang sangat buruk. Harus sangat hati-hati menulis agar teman sekelas dapat membacanya. Perangkat komputer dan laptop belum dimiliki secara lumrah oleh rakyat jelata zaman itu di Pulau Buru.

Hobi menulis itu terus saya salurkan sampai SMA, masih tetap ditulis di buku tulis. Bedanya bukan buku tulis bekas dan halaman sisa, tetapi saya membeli buku khusus untuk koleksi cerpen-cerpen saya.

Mungkin terasa terlambat jika 2019 lalu adalah pertama kalinya saya menerbitkan sebuah buku dengan sampul buku mencantumkan nama saya. Baru di tahun 2021 saya mengenal Kompasiana dan rutin menulis mulai Mei 2022, sedangkan Kompasiana eksis sejak 2008. Kedengarannya terlambat, tetapi tidak ada kata terlambat untuk berkarya, bukan?

Ingin menjadi guru bahasa asing

Menjadi guru Bahasa Inggris juga berawal dari hobi membaca yang saya gilai itu. Di peta dalam buku atlas saya membaca setiap inchi peta Benua Eropa. Angan-angan terbang jauh hingga terbawa mimpi dalam tidur. Tempat-tempat asing, orang asing, bahasa asing memompa obesesi seorang gila baca.

Di dalam buku Intisari Ilmu Pengetahuan Sosial yang saya baca berulang-ulang itu, diketahui bahwa Bahasa Inggris adalah bahasa internasional. Pikiran saya berkelana dan berpikir bahwa bahasa tersebut dapat digunakan di seluruh negara di dunia. Betapa kerennya jika saya memahami bahasa tersebut. Dengan bermodal kamus Bahasa Inggris pemberian dari sepupunya Emak, saya belajar kosa kata Inggis. Dengan cara baca yang entah berantah.

Maka, saat lulus SMA, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi di salah satu PTN dengan jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa Inggris. Dan benar saja, dari situlah saya dapat berjumpa dan berkomunikasi langsung dengan orang asing dari negara asing dengan bahasa asing.

Demikian sekelumit kisah dari seseorang dengan hobi membaca yang mengawali segala perjalanan hidupnya. Hingga saat ini membaca adalah sebuah kecanduan dan kepuasan dalam gempuran video-video memikat di internet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun