Mohon tunggu...
Halima Maysaroh
Halima Maysaroh Mohon Tunggu... Guru - PNS at SMP PGRI Mako

Halima Maysaroh, S. Pd., Gr. IG/Threads: @hamays_official. Pseudonym: Ha Mays. The writer of Ekamatra Sajak, Asmaraloka Biru, Sang Kala, Priangga, Prima, Suaka Margacinta, Bhinneka Asa, Suryakanta Pulau Buru

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Dear Pulau Buru: I Love You

30 April 2023   09:00 Diperbarui: 30 April 2023   09:02 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teruntuk Pulau Buru di tahun 1988.

Saya tidak tahu persis seperti apa kondisi Pulau Buru setelah 9 tahun pembebasan Tahanan Politik (Tapol) orde baru itu. Hanya saja, saya mendengar cerita dari seorang wanita transmigran dari Ponorogo, Jawa Timur, yang saya panggil 'Emak' bahwa di tahun itu saya menangis menyapa dunia. Tahun 1988 di Pulau Buru tumpah darah saya, tepatnya di Desa Wekerta. Di lansir dari buku Memoar Pulau Buru karya Hersri Setiawan, Desa Waekerta pada zaman tahanan politik dulu namanya adalah Unit XVI Indrakarya. Kerennya lagi adalah saya lahir di kecamatan yang sama di mana penulis hebat bertempat sebagai tahanan politik, yaitu Pramoedya Ananta Toer yang ditahan di Markas Komando (Mako).

Pulau Buru 1988. Kata seorang pria transmigran dari Garut, Jawa barat, yang saya panggil 'Bapak' bercerita bahwa di tahun itu Bapak belum memiliki sawah. Bapak menjadi buruh tani di sawah orang dan kerja serabutan di proyek saluran demi membelikan saya sekaleng susu bubuk. Bahkan seorang wanita transmigran pernah menjual daun pisang ke pedagang pecel demi membelikan saya beberapa cup agar-agar.

Pulau Buru 1988. Menurut cerita pria dan wanita transmigran bahwa belum ada jalanan aspal kala itu. Belum umum orang memiliki kendaraan bermotor. Sepeda onthel adalah kendaraan mewah di tahun itu. Bahkan seorang pria transmigran yang belum memiliki sepeda onthel terpaksa memanggul gabah hasil buruh tani untuk digiling menjadi beras dan menempuh jarak 3-4 km.

Teruntuk Pulau Buru tahun 1994.

Hai Pulau Buru! Masih lekat dalam ingatan bagaimana untuk pertama kalinya saya mengenakan seragam merah putih. Seorang wanita transmigran mengajarkan saya cara mengikat tali sepatu dan pria transmigran mendaftarkan saya ke sekolah. Almarhumah Ibu suwati adalah guru pertama saya di SD Negeri Unit XVI (Sekrang SD Negeri 4 Waeapo).

Masih ingatkah sepanjang tahun 90an di Pulau Buru, saya merajut mimpi-mimpi? Saat sekolah memakai pakaian seragam, saya yakin kelak akan sekolah mengenakan baju bebas rapi (maksudnya kuliah). Saat saya mengayuh sepeda, saya yakinin kelak akan berkendara naik kapal laut dan pesawat. Ketika saya menyaksikan pria dan wanita transmigran berpakaian kumuh di sawah dan mengembala sapi, saya yakini kelak akan kerja dengan pakaian bersih dan rapi.

Terima kasih Pulau Buru tahun 90an, di situlah saya menumpuk jutaan mimpi-mimpi. Saya tidak peduli akan kemiskinan yang tersemat pada diri pria dan wanita transmigran. Yang saya yakini bahwa saya punya mimpi, dan mimpi punya hak untuk direalisasi.

Teruntuk Pulau Buru tahun 2006.

Masih ingatkn saat saya menanggalkan seragam putih abu-abu? Di tahun 2006 saya berlayar meninggalkan Pulau Buru dengan harapan baru.

18 tahun saya mengumpulkan bongkahan-bongkahan mimpi di Pulau Buru dan memahatnya menjadi sesuatu di pulau seberang, Kota Ambon, ibu kota Provinsi Maluku. Kala itu kerinduan demi kerinduan sering menyiksa. Saya sering iri pada masa lalu di mana saya berteduh di pelukan wanita dan pria transmigran. Namun mimpi bukan tentang masa lalu, mimpi adalah tentang masa depan dengan perjalanan panjang.

Teruntuk Pulau Buru 2019.

"Halima Maysaroh, selamat datang dan kembali pulang!" begitu sapa Pelabuhan Kapal Ferry Namlea dalam benak saya. Saya pulang! Bukan tidak betah di seberang. Justru sempat berpikir untuk tidak kembali. Di seberang, saya memperoleh penghidupan yang bisa disebut mapan. Namun, saya kembali demi sebuah pengabdian untuk kampung halaman. Di sini saya menumpuk mimpi, di sini pula saya kembali demi merealisasikan mimpi.

Hai Pulau Buru 2019! Saya sudah pernah naik kapal laut dan pesawat terbang. Saya juga sudah mengenyam bangku kuliah yang sekolahnya pakai pakaian bebas rapi. Saya juga kerja dengan menggunakan baju bersih, tidak ada lumpur sawah dan ilalang yang nyangkut di baju saat gembala sapi. Pulau Buru! Saya telah menepati mimpi dan janji yang saya yakini.

Teruntuk Pulau Buru sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun