Setiap tahun di Bulan Ramadan pasti menyisakan pengalaman-pengalaman tertentu. Ada pengalaman yang menjadi rutinitas saat Ramadan, ada pula pengalaman yang khusus dan hanya terjadi sekali saja. Sebenarnya serba-serbi Ramadan tetap istimewa di setiap tahunnya dari masa kecil hingga kini. Hanya saja, ada beberapa kenangan yang kenyataannya telah hilang digerus zaman.
Untuk kenangan-kenangan yang sekarang sudah tidak dapat disaksikan lagi eksistensinya, terkadang sangat dirindukan. Mengingat-ingat kembali kenangan tersebut dan mencari referensi di internet untuk mengobati rasa rindu momen Ramadan masa kecil. Saya sendiri tidak memiliki dokumentasi pribadi berupa foto dan video saat momen-momen Ramadan masa kecil yang sewaktu-waktu dapat ditilik kembali.
Suara Dulag di Musalah Selama Bulan Ramadan
Dulag berasal dari Bahasa Sunda yang artinya menabuh bedug dengan irama. Zaman saya kecil, tahun 90an, suara tabuhan bedug berirama atau dulag bertalu-talu sepanjang Bulan Ramadan. Mungkin di sebagian daerah masih ada hingga sekarang, tetapi saya sudah tidak pernah mendengarnya lagi di tempat saya tinggal.
Dulu, setiap selesai sahur, setelah duhur, setelah asar, setelah salat tarawih, suara dulag akan menjadi suara paling ramah menyapa. Sesederhana bedug ditabuh sudah sangat menyenangkan dan asyik didengar. Mungkin karena zaman dulu belum begitu banyak lahan hiburan.
Suara dulag menjadi ciri khas Bulan Ramadan. Sehabis santap sahur, sambil menunggu azan subuh biasanya dulag bertalu-talu. Yang lebih seru lagi saat selesai salat tarawih, dulag bertalu lagi menandakan salat tarawih telah usai. Beberapa menit ngadulag barulah dilanjutkan dengan tadarus Al Quran.
Jangan samakan dulag dengan musik gembrang-gembreng yang membangunkan sahur. Walau sama-sama berirama tetapi beda jauh hasil musik sederhana yang dihasilkan. Dulag tidak ada suara penyanyinya, jadi jelas berbeda dengan musik dan tabuhan-tabuhan membangunkan sahur yang masih marak hingga kini.
Sangat berharap, saya berkesempatan ke daerah yang masih membudayakan dulag saat Ramadan untuk mengenang masa kecil. Sementara sekarang hanya bisa mendengarkan suara dulag dari kanal yang diakses dengan internet.
Bermain Mercon/Meriam Bambu
Mercon dari bambu dengan suara menggelegar adalah penanda bahwa Ramadan sedang berlangsung. Kenangan mercon bambu salah satu kenangan masa kecil yang sudah digeser oleh petasan dan kembang api.
Zaman kecil, setiap Ramadan selalu dibuatkan mercon bambu untuk bermain di siang hari. Hanya modal minyak tanah, sudah bisa bermain mercon sepanjang hari. Dor! Lalu tertawa-tawa bersama teman sebaya.
Pamor mercon bambu yang aslinya super seru itu telah diambil alih oleh kembang api dan petasan yang harganya sekali meletus puluhan ribu melayang. Padahal dulu dengan mercon bambu bisa ratusan kali meledak hanya dengan beberapa ruas bambu dan minyak tanah sekaleng susu kental manis.
Kalau mengingat masa-masa mercon bambu berjaya, seperti seru-seru lucu. Meniup-niup lubang di bambu, menyambarnya dengan api kecil dari lampu minyak, dan dapat mengeluarkan suara berdentum adalah kepuasan tersendiri. Merasa keren dan jago jika dentuman merconnya menggelegar.
Apadaya, mercon bambu bagi saya saat ini adalah kenangan. Lagi-lagi masih berharap bisa bermain mercon bambu lagi saat Ramadan. Usia dewasa, sibuk kerja, dan kondisi zaman sudah sulit untuk memungkinkan.
Ngabuburit Main Rumah-rumahan Beratap Daun Pisang
Entahlah, masih ada atau tidak anak zaman sekarang yang ngabuburitnya main rumah-rumahan yang atapnya daun pisang. Tiang-tiang rumahnya dari tumbuhan pagar di halaman rumah. Pagar zaman dulu adalah tumbuhan hidup, bukan tembok beton dan besi seperti sekarang.
Dulu, sambil menanti waktu berbuka puasa, membangun rumah-rumahan adalah aktivitas yang sangat menarik dan seru. Seperti zaman sekarang anak-anak lebih suka membangun rumah secara digital. Banyak permainan di ponsel dan laptop anak-anak yang konsepnya membangun dan menata rumah. Beda zaman dengan saya dulu yang membangun rumah-rumahan dengan atap daun pisang dan perkakasannya kaleng, botol dan apa saja yang dipungut dari sampah dapur.
Nostalgia masa kecil yang rasanya sudah tidak mungkin lagi untuk diulangi sekarang. Jika mengenang masa-masa itu, hanya bisa senyum-senyum sendiri.
Sebenarnya kenangan Ramadan masa kecil bukan hanya tiga permainan di atas, masih ada yang lain seperti jalan pagi setelah sahur dan salat subuh, tadarus Al Quran di masjid bersama teman-teman, salat tarawih dan lain sebagainya. Tetapi itu semua masih dapat dijumpai dan masih dapat saya lakukan hingga Ramadan saat ini. Namun mendengarkan dulag di kampung saya tinggal sekarang, mercon bambu dan main rumah-rumahan atap daun pisang, sudah tidak dapat dijumpai lagi untuk saat ini. Rindu dengan sangat tetapi setiap Ramadan tetap selalu istimewa dari tahun ke tahun. Berkah selalu, ya, Kompasianers!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H