Star syndrome adalah perasaan seseorang yang merasa dipuja, punya kelebihan dan lebih baik dari orang lain. Penulis kan bukan pemain sinetron? Bukan bintang film? Apakah bisa terserang penyakit star syndrome?Â
Eits, jangan salah, ada kok beberapa penulis yang mengidap penyakit itu. Mirisnya lagi star syndrome menyerang diri  penulis-penulis baru. Mau menyerang penulis amatir ataupun penulis mahir, star syndrome tetap menjadi penyakit yang meresahkan.
Tulisan ini saya angkat dari pengalaman-pengalaman pribadi yang menjumpai permasalahan star syndrome ini di kalangan sesama penulis pemula. Beberapa kasus star syndrome yang ditemui:
- Seorang penulis pemula yang baru memenangkan lomba menulis dan diminta oleh sebuah komunitas untuk menjadi juri dalam lomba menulis quote (kutipan).Â
- Penulis tersebut telah menentukan pilihan pemenang yang menurut juri lain tidak layak dan kurang tepat. Seharusnya dalam penjurian itu dimusyawarahkan tetapi yang terjadi si penulis tersebut marah dan menyodorkan bukti bahwa dia pernah memenangkan lomba serupa, jadi bisa dipastikan pilihannya paling tepat. Karena dia merasa pernah jadi pemenang, jadi pilihannya pasti paling tepat.
- Seseorang penulis yang tergabung dalam menulis Bersama (sebuah buku antologi) mendirikan sebuah komunitas menulis. Dengan ilmu yang belum mumpuni tersebut, dia terang-terangan menyerah dan berusaha menjatuhkan komunitas lain di social media.Â
- Padahal di dalam komunitas yang dijatuhkan tersebut terdapat penulis salah satu platform menulis dengan jumlah jutaan pengunjung (pembaca), ada pula novelis, cerpenis, dan beberapa penulis pemula berprestasi lainnya.Â
- Sedangkan oknum yang berusaha menjatuhkan, belum memiliki karya selain satu buku yang ditulis beramai-ramai. Dia merasa sudah hebat dan sudah merasa mampu mendirikan komunitas yang berbasis menulis.
- Seorang penulis pemula yang karyanya dikritik oleh penulis lain demi perbaikan lebih baik, tetapi tidak diterima dengan baik dengan dalih bahwa dia sudah memenangkan banyak lomba menulis puisi. Bahkan dia menyodorkan sertifikat-sertifikat hasil dari lomba yang diikutinya. Belum lagi suka meremehkan opini dari penulis lain.
Masih banyak lagi contoh star syndrome yang dialami atau menyerang kalangan penulis di Indonesia. Miris, bukan? Karena sejatinya yang harus ditunjukan penulis adalah karyanya, bukan sepaling populer apa dia. Yuk, kawan-kawan penulis, hindari star syndrome ini!
Tujuan Menulis untuk Berbagi
Kembalikan apa tujuan menulis dari awal? Apakah untuk terkenal? Apakah untuk disegani orang? Apakah untuk mencari uang? Jika tujuan awal menulis untuk berbagi, maka itu adalah tujuan menulis paling ikhlas.Â
Kepuasan terletak pada seberapa berguna tulisan bagi orang lain (pembaca) bukan seberapa banyak orang yang membaca. Tujuan menulis untuk berbagi berfokus pada kualitas bagi pembaca bukan kuantitas pembacanya. Pada tujuan ini, penulis tidak butuh pengakuan bahwa dia paling keren.
Berbagi yang diketahui, berbagi yang dipikirkan, berbagi yang dilihat dan didengar dalam bentuk tulisan berharap pembaca turut mengetahui, menambah ilmu dan dapat memetik menfaat. Berbagi itu peduli, berbagi itu bukan untuk dipuji. Perlu diniatkan menulis untuk berbagi informasi, pengetahuan dan perasaan agar penyakit star syndrome tidak menjangkiti penulis.
Menjadi Role Model
Ketika seseorang membaca tulisan, tak jarang juga mencari tahu siapa penulisnya. Bisa jadi karena kualitas tulisannya yang mumpuni, atau tulisan tersebut sangat bermanfaat, maka pembaca mencari tahu penulisnya siapa.Â
Dalam kondisi ini, posisi penulis bukanlah selebriti yang kemudian diidolakan dan dipuja-puja. Tetapi lebih baik bersikap menjadi contoh atau teladan bagi pembacanya. Tidak untuk bersikap arogan tapi tetaplah rendah hati agar pembaca semakin nyaman dan menjadikan penulisnya teladan yang baik dan menginspirasi.
Ini mungkin juga cobaan bagi pada penderita star syndrome yang bahkan tidak menyadari kondisinya sendiri. Mungkin dengan adanya pembaca yang tertarik pada tulisannya, justru dijadikan ajang selebriti.Â
Padahal ini sangat keliru, cap sombong akan disandang. Banyak penulis-penulis professional yang sudah sangat terkenal memiliki prilaku yang menjadi panutan bagi pembaca-pembacanya, yang seperti ini akan memiliki pembaca setia.
Banyak Belajar Lagi dan Bergaul dengan Penulis-Penulis Berprestasi Lain
Percaya bahwa di atas langit masih ada langit, kan? Percaya pula bahwa padi semakin berisi semakin merunduk? Segala ilmu dalam kepenulisan yang dipahami itu belum selesai, ilmu sangatlah luas, tak akan pernah habis untuk dipelajari.Â
Semakin banyak belajar, semakin kita merasa bodoh (kurang ilmu). Apa yang mau disombongkan? Dengan terus belajar, maka star syndrome enggan menyerang diri karena masih terus merasa kurang dan ingin belajar lebih lagi.
Apalagi jika bergaul dengan para penulis senior dengan bertumpuk prestasi. Bukannya jadi sombong tapi mungkin malah minder. Bergaul dengan para senior yang karya tulisnya sudah mumpuni bukan untuk menjadikan kita terkucil tetapi justru menyadarkan kita bahwa orang hebat itu sangat banyak dan perlu mencontoh dan belajar dari mereka. Apalagi mereka orang-orang yang memprioritaskan kualitas karya di atas popularitas. Kita akan malu dan star syndrome dapat lenyap berangsur.
Sekian tips untuk menjadi rendah hati dan terhindar dari penyakit star syndrome yang justru merugikan penulis itu sendiri. Semangat menulis teman-teman, semoga karya kita selalu bermanfaat bagi pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H