Sebagai penulis, pasti menginginkan tulisannya diminati pembaca. Setidaknya tulisan yang susah payah ditayangkan ada yang bersedia membaca. Memastikan tulisan itu dipahami oleh pembaca adalah penting. Jangan sampai penulis asyik sendiri, pembaca tidak memahami.
Semua ide yang ada di dalam kepala, semua ide yang tertuang membentuk kata-kata, belum tentu dibutuhkan atau dipahami oleh pembacanya. Sudah bagus tulisan ada yang bersedia membaca, tetapi terkadang pembaca merasa penulisnya hanya menyajikan hal-hal yang hanya dapat dipahami oleh penulisnya sendiri. Sayang sekali, bukan?
Sebagai penulis yang tulisannya dipublikasikan, haruslah ada pesan yang ditangkap oleh pembacanya, berupa pelajaran moral, informasi, tips dan lain sebagainya. Jika penulis asyik sendiri tanpa memikirkan perihal yang harus ditangkap oleh pembaca, maka tulisan tidak memiliki sasaran.
Menulis adegan yang tidak ada kronologinya dengan cerita
Misalnya penulis novel atau cerpen, sudah pasti memikirkan alur cerita sebelum ide dieksekusi menjadi naskah. Bahkan perlu bagi novelis dan cerpenis membuat outline agar cerita lebih terarah.
Hindari menuliskan adegan-adegan yang tidak ada hubungannya dengan cerita, hanya karena penulis menyukai adegan tersebut dalam dunia nyata. Sedangkan pembaca tidak peduli itu. Pembaca tidak peduli apa-apa yang penulis sukai. Yang pembaca pedulikan adalah jalan cerita yang bagus dan menarik. Apa-apa yang penulis sukai dalam kehidupan nyata atau kesehariannya, belum tentu dapat dipahami pembacanya.
Misalnya seorang penulis menyukai jenis game online tertentu, yang sedang menulis cerita tentang percintaan remaja. Mungkin dalam cerita si tokoh itu menyukai game online juga, penulis mengulas habis tentang game online yang mengundur kronologi cerita yang seharusnya. Padahal pembaca ingin segera tahu langkah cerita selanjutnya, tetapi harus merasa bosan bahkan tak dapat memahami istilah-istilah dunia game online karena penulisnya sedang asyik sendiri dengan dunianya.
Menulis puisi yang maknanya hanya diketakui oleh penulisnya sendiri
Sudah umum penyair yang menuliskan puisinya itu berasal dari lubuk hati terdalam. Puisi dapat dijadikan wadah mengekspresikan perasaan senang, gelisah, rindu, harapan dan macam-macam perasaan lainnya.
Diksi-diksi cantik pula digunakan agar puisi lebih syahdu. Kata-kata tersirat tak luput tergores dalam bait-bait. Namun, adakalanya penulis terlalu dalam menuang rasa. Penulis juga terlalu berbelit dalam menyiratkan makna hingga hanya penulisnya sendiri yang memahami makna yang sebenarnya. Ketahuilah, pembaca tidak butuh itu. Pembaca butuh menikmati dan mengambil pesan dalam tulisan atau puisi itu sendiri.
Jika menulis puisi hanya asyik dengan perasaannya sendiri, ini akan membingungkan pembaca. Menulislah bukan hanya menggunakan perasaan, tetapi juga menggunakan logika. Pastikan jika tulisan dibaca oleh orang lain, pembaca tersebut dapat mengambil maksud dari pesan yang disampaikan oleh penulisnya.
Tidak berkembang dan hanya akan begitu-begitu saja.
Penulis yang terlalu asyik sendiri akan sulit berkembang karena yang ditulis seputaran itu-itu saja. Berkutat pada hal-hal yang disukai saja. Bahkan cenderung membosankan. Sadarilah bahwa tidak semua pembaca satu minat dan pemikiran yang sama dengan kita. Penulis harus terus belajar dan berkembang. Bukan tidak boleh memiliki keasyikan sendiri namun jika tulisan diperuntukan konsumsi publik, baiknya juga dapat dipahami dan dibutuhkan oleh pembacannya.
Semangat berkarya dan terus memperbaiki kualitas tulisan para teman-teman yang sedang berjuang untuk menulis. Kita sama-sama di tahapan belajar.