Mohon tunggu...
Masyita Nimas Palupi
Masyita Nimas Palupi Mohon Tunggu... -

Menulis yang perlu ditulis. Upi TN12 ~ STAN'04 Was a Public Servant at DG Taxation, MOF, The Republic of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Komandan Tertinggi, Perwira-perwira, dan Prajurit (Bukan Militer)

4 Juni 2014   19:34 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:22 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi mengenai buku yang saya baca terkahir kali. Saya bukan orang yang hobi membaca. Saya tidak suka membaca koran, majalah, atau artikel di internet. Saya lebih suka mendengar berita di radio dan menonton di televisi. Sudah lama saya tidak membaca buku (dalam rangka bersenang – senang dan minat atau hobi) selain dari buku pelajaran dan peraturan pekerjaan (yang saya baca karena kewajiban dan terpaksa karena saya yang butuh). Selanjutnya, sudah lebih lama lagi saya tidak membaca buku yang berhasil saya selesaikan dalam semalam saja.

Buku ini adalah buku “Jonan dan Evolusi Kereta Api Indonesia”. Buku ini dibeli suami saya karena dipakai sebagai bahan kuliah Management Accounting pada Program Diploma IV Akuntansi, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Kalau suami tidak beli, mungkin saya juga tidak baca, karena tidak tahu ada buku yang menarik seperti buku itu. Saya terus terang sering kecewa membeli buku yang saya kira menarik dari sekilas judulnya maupun sampulnya, namun isinya ternyata tidak menarik. Ini yang membuat saya tidak hobi membaca. Begitu banyak buku di Gramedia, tapi ya itu, saya bingung sendiri memilihnya, seringnya tidak jadi membeli, paling – paling hanya membeli buku cerita untuk anak – anak saya yang masih balita (yang kadang tidak rajin saya bacakan juga ke anak – anak karena seringnya keburu dirobek, atau dicoret anak – anak hehe…).

Singkat cerita, apa yang ingin saya bagi di sini adalah 2 hal yang jelas tampak dari judul buku ini: (1) Pribadi Jonan, dan (2) Evolusi PT. KAI sebagai sebuah Organisasi.

Pertama, pribadi Pak Jonan (yang selanjutnya saya singkat menjadi “PJ”) memang sungguh menarik. Sifat – sifatnya sungguh terpuji. Beliau juga sangat cerdas. Sangat jarang ada orang seperti ini. Saya yang terus terang seseorang yang sangat “memperhatikan” asal – usul pun menjadi sangat bersimpatik. Kharisma PJ sangat sulit dielakkan oleh mereka yang mengenalnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung (seperti saya yang hanya kenal dari buku ini).

Sifatnya yang terpuji merupakan pendapat saya setelah membaca kisah PJ yang mendapat perlawanan dari BEM UI yang membela PKL di Stasiun Pondok Cina yang “dibersihkan” PJ demi memperluas lahan parkir yang ujung – ujungnya adalah demi kenyamanan para penumpang Commuter Line sebagai stake holder organisasi yang dipimpinnya. Salah satu anak PKL yang digusur ternyata adalah seorang mahasiswi UI. Singkat cerita, mahasiswi UI yang sedih dan nyaris putus asa itu berusaha mencari informasi nomor HP PJ, yang sungguh ajaib, ternyata nomor HP PJ tidak sulit dicari di interne! Ia lalu menghubungi PJ via SMS. Intinya, mahasiswi itu berkeluh kesah kenapa PJ tega “menutup” satu – satunya mata pencaharian orangtuanya, karena “pembersihan” PKL itu, sang mahasiswi menjadi terancam putus kuliah. Tidak berselang lama, SMS sang mahasiswi ternyata dibalas PJ! Intinya, PJ meminta sang mahasiswa mengikhlaskan pekerjaan orangtuanya yang harus gulung tikar dengan jaminan tanggungan biaya kuliah hingga lulus murni dari kocek PJ! PJ menepati janjinya dengan langsung mengirimkan utusannya ke rumah sang mahasiswa esok harinya. Sang mahasiswi shock. Tetiba mungkin ia merasa tidak di bumi Indonesia lagi! :)

Pribadi yang cerdas, merupakan kesimpulan saya dari prestasi – prestasi yang diraih PJ di bangku sekolah dan karier. Sekolahnya banyak dan semuanya bukan sekolah yang tidak berprestise tinggi di luar negeri. Suami dan saya, yang baru sadar dan terbuka horizon pemikirannya bahwa sekolah yang bisa mencetak pribadi yang berkualitas dan dihargai dunia (memang belum tentu akhirat sih) adalah sekolah di universitas terbaik (yang sebagian besar ada di Amerika) yang memberi gelar MBA. PJ adalah salah satu peraih gelar MBA di universitas terbaik di Amerika. Saya berdoa semoga suami saya bisa mendapat “jalan” untuk meraih cita – citanya memperoleh gelar MBA dari universitas yang menyelenggarakan program MBA terbaik dunia. Aamiin YRA. Selain itu, dalam hal karier, Jonan adalah Direktur PT Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia (BPUI), sebuah BUMN Lembaga Keuangan. PJ juga pernah berkarier sebagai Direktur Citi Grup sebelum akhirnya didaulat memimpin lokomotif utama PT. KAI. Berikut riwayat pendidikan dan pekerjaan PJ selengkapnya:

IGNASIUS JONAN
Riwayat Pendidikan:
- 2004-2005 : MA Master of Art Program in International Affairs di The Fletcher School,
Tufts University
- 200x : Senior Managers in Government Program, Kennedy School of Government,
Harvard University
- 1999 : Senior Executive Program Columbia Business School
-xxxx : Corporate Governance Program di Stanford Law School, Stanford University
- 1982-1986 : S-1 Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga
Riwayat Pekerjaan:
- 2009-kini : Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia
- 2006-2008 : Managing Director and Head of Indonesia Investment Banking Citi Group
- 2001-2006 : Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero)
- 1999-2001 : Direktur Private Equity Citi Group
- 1986 : Arthur Andersen.


Pribadi dan sifat PJ menjadi makin menarik, karena walau kiblat kecerdasan intelektual PJ sangat Amerika, namun dilengkapi dengan kerendahan hati yang luar biasa. Kedua kombinasi ini sangat penting untuk bisa menjadi orang sukses. Tidak banyak orang yang bisa mengombinasikan kedua karakter ini. Kebutuhan yang ingin PJ raih sudah berada di puncak – puncak piramida kebutuhan Maslow. Tidak lagi berkutat pada kebutuhan – kebutuhan dasar yang sangat egosentris dan tidak menarik bagi orang lain selain diri si pemilik kebutuhan.

Saya (dan tentunya mayoritas pegawai PT. KAI dan pelanggan PT. KAI, atau bahkan rakyat Indonesia) bersyukur, Menneg BUMN kala itu Bapak Sofyan Djalil, yang dengan keahlian kepemimpinannya berhasil melihat PJ sebagai sosok yang tepat untuk PT. KAI. Ini sungguh bagai mencari mutiara di dalam lautan samudera! Terlebih bersyukur lagi, karena ternyata PJ bersedia mengambil amanah yang berat itu.

Kedua, mengenai evolusi PT. KAI sebagai sebuah organisasi. Saya terus terang saat membaca selalu langsung membandingkan dengan instansi di mana tempat saya bekerja saat ini. Seluruh strategi manajerial yang dibuat sesungguhnya sama persis dengan yang diterapkan di dalam instansi saya. Tantangan yang dihadapi pun sama persis. Saya sebenarnya berpendapat sebenarnya yang dilakukan PT. KAI adalah sebuah revolusi, sesuatu yang lebih cepat dan singkat ketimbang evolusi. PT. KAI di bawah kepemimpinan PJ melakukan revolusi, sedangkan evolusi adalah apa yang terjadi di dalam instansi saya, Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya saya singkat DGT).

Saya berani mengatakan revolusi karena PT. KAI sudah beres memodernisasi organisasinya hanya dalam kurun waktu 4 tahun (2009-2013). Pada saat ini, layanan PT. KAI yang berpedoman pada 4 pilar yaitu Keselamatan, Ketepatan waktu, Pelayanan dan Kenyamanan sudah terasa oleh para Stake Holders. Keempat pilar ini sudah menyangkut seluruh aspek baik dari implementasi Teknologi Informasi (ada sangat banyak Sistem Informasi yang saya baca yang diterapkan di PT. KAI yang saya tidak hapal untuk saya tuliskan satu per satu dalam tulisan ini) untuk tujuan ke luar (pelanggan, pemerintah, investor) dan ke dalam (seluruh pegawai dan outsourcing) sampai pada strategi manajemen Sumber Daya Manusia yang diterapkan PJ dalam organisasi PT. KAI.

Ini menjadi sangat berbeda dengan evolusi, perubahan yang lambat, yang terjadi di instansi saya yang sudah modern sejak tahun 2004, namun modernisasi implementasi Teknologi Informasi sangat belum terasa aplikatif (karena terus terang Sistem Informasi yang berada di DGT beberapa terasa justru merepotkan ketimbang membantu memudahkan pengerjaan suatu tugas). Untuk manajemen SDM saya sudah berani berpendapat bahwa kurang lebihnya sudah sama baiknya dan persis langkah-langkahnya seperti yang diterpakan PJ di PT. KAI walau masih kalah di bagian sistem Reward and Punishment yang di DGT tidak bisa seekstrim di PT. KAI karena ini terkait dengan bentuk organisasi di DGT yang masih merupakan eselon I Kemenkeu sehingga masih sangat terikat dan sempit ruang geraknya untuk mengambil tindakan yang baik dengan cepat di DGT. Berbeda dengan PT. KAI yang adalah suatu BUMN sehingga geraknya lebih lincah dan lebih gesit.

Sebenarnya ada satu hal mencolok yang saya rasa juga mempengaruhi lambatnya modernisasi di DGT selain faktor bentuk organisasi. Dari buku yang saya baca tampak bahwa sebagian besar pegawai PT. KAI ternyata adalah lulusan SMA, selanjutnya diduduki lulusan SMP, berikutnya baru SD dan S1 (saya lupa siapa yang di posisi ke-3 dan ke-4), baru terakhir S2. Jumlah pegawai SMA dengan S1 juga ekstrim berbeda jauh. Bukan sekedar perbedaan yang kecil dan tidak sigifikan, ini saya ulang karena maksud saya mempertegas sejelas-jelasnya perbedaan jumlah tersebut. Walau kultur budaya birokrat yang sudah sangat lama hidup di PT. KAI sama dengan di DGT, namun ternyata walau banyak orang yang meragukan PJ dapat bertahan, apalagi mengubah, kultur buruk yang ada, toh ternyata PJ berhasil dan itu pun (menurut saya) dalam waktu yang relatif singkat. Berbeda dengan DGT. DGT sebagian besar pegawainya adalah dari D3 dan S1, perbedaan yang ada hanya perbedaan tipis, tidak signifikan. DGT organisasi yang ekstrim gemuk di sumber tingkat pendidikan pegawai kedua tempat ini. Inilah menurut saya yang menjadi alasan utama mengapa modernisasi di DGT sulit dan serba lambat.

PJ yang notabenenya komandan tertinggi, saat memberi komando kepada para prajurit tanpa babibu akan segera dituruti, perwira yang tidak terlalu banyak pun tentu tidak berani bersuara terlalu lantang karena jumlahnya yang sedikit sehingga pada akhirnya juga akan patuh pada komando komandan tertinggi. Pembangkangan pasti ada, tapi hanya berupa angka yang kecil sekali dan suara yang lemah, sehingga dengan karakter kepemimpinan yang kuat akan dapat perlahan – lahan dibasmi oleh sang komandan jika memang pembangkang terus memutuskan untuk membangkang dan tidak patuh. Pilihannnya hanya ada 2: patuh atau keluar dari organisasi. Pembangkang yang berjumlah sangat sedikit itu tidak akan bisa bertahan lama karena tidak akan bisa tidur nyenyak hidup dalam tekanan organisasi.

DGT berbeda, komandan tertinggi kami tingkat pendidikannya setara dengan amat banyak perwiranya. Sekali lagi, amat banyak perwiranya! Komandan tertinggi kami kepribadiannya, sebagian besar perwira bahkan prajuritnya berpendapat, tidak kuat. Amat tidak kuat. Selain sama tingkat pendidikannya, sayang sekali, saya berani berpendapat bahwa ada perwiranya yang lebih cerdas dari dia dan lebih kuat kepribadiannya. Hal ini membuat komando komandan tertinggi kadang sangat lemah. Sangat lemah. Jika perwira yang begitu banyak bersatu dan memilih tidak mematuhi perintah, komandan tertinggi tidak bisa apa – apa. Pasrah. Begitu banyak perwira pintar, atau merasa pintar, memilih tidak mematuhi perintah. Coba bayangkan, bagaimana bisa DGT maju seperti majunya PT. KAI? Pasti sangat sulit, kalaupun bisa, pasti sangatlah memakan waktu lama.

Perwira yang terlalu banyak, ada yang memang pintar, tapi lebih banyak yang merasa sok pintar, menjadi sulit diatur. Semuanya merasa pintar, sehingga diskusi menjadi lama dan berkepanjangan. Tidak ada yang mau kalah, karena kembali pada pasal pertama: semua merasa pintar! Tidak mau melaksanakan, karena semuanya ingin memerintah. Saya menemukan ini, di sini! Bawahan yang tidak mau menuruti perintah atasan karena ia menganggap sang atasan tidak sepintar dirinya, mengerikan! Atasan yang kepemimpinannya tidak kuat dan menjadi disepelekan bawahan, menyedihkan! Miris sekali, bagaimana DGT bisa maju? Ini semua terjadi karena rentang pangkat dan pendidikan yang terlalu dekat, bahkan sama. DGT memang bukan organisasi militer, tidak perlu diklat Bela Negara untuk disegani dan dihormati bawahan. Bukan itu substansinya. Itu hanya salah satu bentuk yang berwujud nyata. Tapi harus lebih kepada ruhnya. Ruh itu karakter. Karakter pemimpin yang kuat bukan sekedar kuat. Tetapi kuat yang berisi dan menjadi teladan. Sehingga penghormatan dan rasa segan bisa muncul dalam sanubari orang – orang yang ia komandoi.
Sederhananya, DGT bisa maju jika instansi tercinta ini cukup mengangkat banyak prajurit saja. DGT butuh yang melaksanakan! DGT butuh pelaksana! Jangan terima banyak perwira! Karena menerima banyak perwira berarti menerima banyak calon – calon tukang perintah! Padahal jelas yang DGT butuhkan adalah pelaksana yang banyak! Bukan tukang perintah yang banyak! Pelaksana adalah prajurit – prajurit yang melaksanakan perintah dengan patuh dan benar sesuai perintah perwira. Apa jadinya kalau menerima banyak tukang perintah dibanding pelaksananya? Tidak ada yang mau bekerja! Yang tersisa hanyalah pekerjaan yang terus bertambah dan menumpuk, tidak sebanding antara kenaikan perintah pekerjaan dengan kenaikan jumlah pekerja. Pekerjaan tidak akan habis – habis. Pekerjaan tidak akan bisa tuntas dan pernah rampung!

Komandan tertinggi senantiasa berkoar – koar kekurangan pegawai. Tapi komandan tertinggi harusnya tidak sekedar berkoar kosong, harusnya lebih spesifik lagi! Yang kurang itu pegawai prajurit apa pegawai perwira? Mana yang kurang banyak? Hati – hati loh Ndan… Nanti kalau ternyata diberinya adalah perwira – perwira yang instan akan menjadi pemimpin, bisa pusing sendiri seperti sekarang ini organisasi yang Komandan pimpin. Mau dibagaimanakan juga, diterapkan taktik dan strategi manajemen SDM yang paling handal pun dari pegawai yang meraih Master MSDM yang paling jago pun akan sulit mengakalinya. Makanya Ndan, memang komandan cuma bisa minta, dikasihnya sesuai permintaan atau tidak itu keputusan yang di atas. Tapi sebagai eselon I paling bergengsi harusnya komandan tertinggi punya bargaining power donk, dengan merinci alasan yang jelas dan lengkap pasti Komandan bisa buat permintaan itu. Mudah saja Ndan, yang membuat tidak mudah adalah saat Komandan memerintahkan bawahan Komandan untuk membuatnya ternyata bawahan Komandan tidak menuruti dengan berbagai alasan yang dibuat – buat. Ini terjadi karena ya itu tadi, kembali ke pasal pertama: semua merasa pintar! Mbulet dan peliknya permasalahan SDM di DGT tercinta ini sudah jelas sumbernya: Perwira yang telah terlalu banyak, sama banyak atau malah lebih banyak dari prajurit. Parahnya, keran penerimaan perwira pun terus dibiarkan dibuka deras-deras. Selamat datang permasalahan SDM di DGT!

Oya, selain salah dari proses mengandung dan melahirkan (maksudnya rekrutmen), harusnya kalau mau bisa cepat maju seperti PT. KAI, DGT harus bisa seperti PJ di PT. KAI yang tidak memperhatikan asal tingkat pendidikan pegawai dalam penentuan promosi, karena ternyata dari prajurit pun bisa menjadi Direktur di PT. KAI. Semua bisa, yang dilihat adalah etos kerja. DGT bisa begitu tentunya kalau sudah “bisa” lebih gesit dan lebih lincah lagi sebagai sebuah organisasi. Ini memang domain kekuasaan yang lebih tinggi dari DGT yang bisa take action.
Sepertinya, hari sudah malam, dan saya yang seorang prajurit ini harus kuliah. Saya akhiri sampai di sini catatan “pendek” namun “dalam” ini dengan sebuah harapan menjelma doa, semoga DGT bisa menjadi semaju PT. KAI di bawah kepemimpinan komandan tertinggi yang paling cerdas dan paling kuat. Tidak mesti dengan mengangkat Komandan baru, tetapi bisa juga Komandan lama saat ini, yang berbenah diri dan mengakselerasi kekuatan karakter kepemimpinannya menjadi yang terbaik, disertai dengan akselerasi keahlian dan keterampilannya. Akselerasi ilmu tidak bisa lagi karena sudah mentok. Ini penting agar komando bisa efektif dan cepat terlaksana sampai “akar rumput” (meminjam istilah PJ). Setiap instruksi adalah instruksi yang matang dan bermanfaat bagi Negara, serta segera dilaksanakan dengan kemampuan terbaik para perwiranya, yang tidak lagi merasa paling pintar, dan prajurit- prajuritnya yang lebih banyak dan patuh. Singkatnya semoga hadir pemimpin sekelas PJ di DGT. Aamiin YRA.

Mohon maaf atas segala kekurangan dan salah kata. Salam sukses!
Prajurit di Markas “Baru” yang Alhamdulillah Indah
3 Juni 2014
18.47 WIB

NB: Btw, saya merasa PJ itu agak mirip ya sama HT, ada hubungan keluarga gaya? Semoga nggak :D

Untuk dilihat juga:
http://www.kabarbumn.com/read-news-9-0-2488-ignatius-jonan--si--quot-gila-quot--yang-telah-mengubah-wajah-kai.html#.U46UA7HYEyk
http://sutarko.blogspot.com/2012/09/ignasius-jonan-mengubah-indonesia-lewat.html
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2010/10/13/hari-hari-penentuan-untuk-jonan-288141.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun