Mohon tunggu...
Masyita Nimas Palupi
Masyita Nimas Palupi Mohon Tunggu... -

Menulis yang perlu ditulis. Upi TN12 ~ STAN'04 Was a Public Servant at DG Taxation, MOF, The Republic of Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Komandan Tertinggi, Perwira-perwira, dan Prajurit (Bukan Militer)

4 Juni 2014   19:34 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:22 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya ada satu hal mencolok yang saya rasa juga mempengaruhi lambatnya modernisasi di DGT selain faktor bentuk organisasi. Dari buku yang saya baca tampak bahwa sebagian besar pegawai PT. KAI ternyata adalah lulusan SMA, selanjutnya diduduki lulusan SMP, berikutnya baru SD dan S1 (saya lupa siapa yang di posisi ke-3 dan ke-4), baru terakhir S2. Jumlah pegawai SMA dengan S1 juga ekstrim berbeda jauh. Bukan sekedar perbedaan yang kecil dan tidak sigifikan, ini saya ulang karena maksud saya mempertegas sejelas-jelasnya perbedaan jumlah tersebut. Walau kultur budaya birokrat yang sudah sangat lama hidup di PT. KAI sama dengan di DGT, namun ternyata walau banyak orang yang meragukan PJ dapat bertahan, apalagi mengubah, kultur buruk yang ada, toh ternyata PJ berhasil dan itu pun (menurut saya) dalam waktu yang relatif singkat. Berbeda dengan DGT. DGT sebagian besar pegawainya adalah dari D3 dan S1, perbedaan yang ada hanya perbedaan tipis, tidak signifikan. DGT organisasi yang ekstrim gemuk di sumber tingkat pendidikan pegawai kedua tempat ini. Inilah menurut saya yang menjadi alasan utama mengapa modernisasi di DGT sulit dan serba lambat.

PJ yang notabenenya komandan tertinggi, saat memberi komando kepada para prajurit tanpa babibu akan segera dituruti, perwira yang tidak terlalu banyak pun tentu tidak berani bersuara terlalu lantang karena jumlahnya yang sedikit sehingga pada akhirnya juga akan patuh pada komando komandan tertinggi. Pembangkangan pasti ada, tapi hanya berupa angka yang kecil sekali dan suara yang lemah, sehingga dengan karakter kepemimpinan yang kuat akan dapat perlahan – lahan dibasmi oleh sang komandan jika memang pembangkang terus memutuskan untuk membangkang dan tidak patuh. Pilihannnya hanya ada 2: patuh atau keluar dari organisasi. Pembangkang yang berjumlah sangat sedikit itu tidak akan bisa bertahan lama karena tidak akan bisa tidur nyenyak hidup dalam tekanan organisasi.

DGT berbeda, komandan tertinggi kami tingkat pendidikannya setara dengan amat banyak perwiranya. Sekali lagi, amat banyak perwiranya! Komandan tertinggi kami kepribadiannya, sebagian besar perwira bahkan prajuritnya berpendapat, tidak kuat. Amat tidak kuat. Selain sama tingkat pendidikannya, sayang sekali, saya berani berpendapat bahwa ada perwiranya yang lebih cerdas dari dia dan lebih kuat kepribadiannya. Hal ini membuat komando komandan tertinggi kadang sangat lemah. Sangat lemah. Jika perwira yang begitu banyak bersatu dan memilih tidak mematuhi perintah, komandan tertinggi tidak bisa apa – apa. Pasrah. Begitu banyak perwira pintar, atau merasa pintar, memilih tidak mematuhi perintah. Coba bayangkan, bagaimana bisa DGT maju seperti majunya PT. KAI? Pasti sangat sulit, kalaupun bisa, pasti sangatlah memakan waktu lama.

Perwira yang terlalu banyak, ada yang memang pintar, tapi lebih banyak yang merasa sok pintar, menjadi sulit diatur. Semuanya merasa pintar, sehingga diskusi menjadi lama dan berkepanjangan. Tidak ada yang mau kalah, karena kembali pada pasal pertama: semua merasa pintar! Tidak mau melaksanakan, karena semuanya ingin memerintah. Saya menemukan ini, di sini! Bawahan yang tidak mau menuruti perintah atasan karena ia menganggap sang atasan tidak sepintar dirinya, mengerikan! Atasan yang kepemimpinannya tidak kuat dan menjadi disepelekan bawahan, menyedihkan! Miris sekali, bagaimana DGT bisa maju? Ini semua terjadi karena rentang pangkat dan pendidikan yang terlalu dekat, bahkan sama. DGT memang bukan organisasi militer, tidak perlu diklat Bela Negara untuk disegani dan dihormati bawahan. Bukan itu substansinya. Itu hanya salah satu bentuk yang berwujud nyata. Tapi harus lebih kepada ruhnya. Ruh itu karakter. Karakter pemimpin yang kuat bukan sekedar kuat. Tetapi kuat yang berisi dan menjadi teladan. Sehingga penghormatan dan rasa segan bisa muncul dalam sanubari orang – orang yang ia komandoi.
Sederhananya, DGT bisa maju jika instansi tercinta ini cukup mengangkat banyak prajurit saja. DGT butuh yang melaksanakan! DGT butuh pelaksana! Jangan terima banyak perwira! Karena menerima banyak perwira berarti menerima banyak calon – calon tukang perintah! Padahal jelas yang DGT butuhkan adalah pelaksana yang banyak! Bukan tukang perintah yang banyak! Pelaksana adalah prajurit – prajurit yang melaksanakan perintah dengan patuh dan benar sesuai perintah perwira. Apa jadinya kalau menerima banyak tukang perintah dibanding pelaksananya? Tidak ada yang mau bekerja! Yang tersisa hanyalah pekerjaan yang terus bertambah dan menumpuk, tidak sebanding antara kenaikan perintah pekerjaan dengan kenaikan jumlah pekerja. Pekerjaan tidak akan habis – habis. Pekerjaan tidak akan bisa tuntas dan pernah rampung!

Komandan tertinggi senantiasa berkoar – koar kekurangan pegawai. Tapi komandan tertinggi harusnya tidak sekedar berkoar kosong, harusnya lebih spesifik lagi! Yang kurang itu pegawai prajurit apa pegawai perwira? Mana yang kurang banyak? Hati – hati loh Ndan… Nanti kalau ternyata diberinya adalah perwira – perwira yang instan akan menjadi pemimpin, bisa pusing sendiri seperti sekarang ini organisasi yang Komandan pimpin. Mau dibagaimanakan juga, diterapkan taktik dan strategi manajemen SDM yang paling handal pun dari pegawai yang meraih Master MSDM yang paling jago pun akan sulit mengakalinya. Makanya Ndan, memang komandan cuma bisa minta, dikasihnya sesuai permintaan atau tidak itu keputusan yang di atas. Tapi sebagai eselon I paling bergengsi harusnya komandan tertinggi punya bargaining power donk, dengan merinci alasan yang jelas dan lengkap pasti Komandan bisa buat permintaan itu. Mudah saja Ndan, yang membuat tidak mudah adalah saat Komandan memerintahkan bawahan Komandan untuk membuatnya ternyata bawahan Komandan tidak menuruti dengan berbagai alasan yang dibuat – buat. Ini terjadi karena ya itu tadi, kembali ke pasal pertama: semua merasa pintar! Mbulet dan peliknya permasalahan SDM di DGT tercinta ini sudah jelas sumbernya: Perwira yang telah terlalu banyak, sama banyak atau malah lebih banyak dari prajurit. Parahnya, keran penerimaan perwira pun terus dibiarkan dibuka deras-deras. Selamat datang permasalahan SDM di DGT!

Oya, selain salah dari proses mengandung dan melahirkan (maksudnya rekrutmen), harusnya kalau mau bisa cepat maju seperti PT. KAI, DGT harus bisa seperti PJ di PT. KAI yang tidak memperhatikan asal tingkat pendidikan pegawai dalam penentuan promosi, karena ternyata dari prajurit pun bisa menjadi Direktur di PT. KAI. Semua bisa, yang dilihat adalah etos kerja. DGT bisa begitu tentunya kalau sudah “bisa” lebih gesit dan lebih lincah lagi sebagai sebuah organisasi. Ini memang domain kekuasaan yang lebih tinggi dari DGT yang bisa take action.
Sepertinya, hari sudah malam, dan saya yang seorang prajurit ini harus kuliah. Saya akhiri sampai di sini catatan “pendek” namun “dalam” ini dengan sebuah harapan menjelma doa, semoga DGT bisa menjadi semaju PT. KAI di bawah kepemimpinan komandan tertinggi yang paling cerdas dan paling kuat. Tidak mesti dengan mengangkat Komandan baru, tetapi bisa juga Komandan lama saat ini, yang berbenah diri dan mengakselerasi kekuatan karakter kepemimpinannya menjadi yang terbaik, disertai dengan akselerasi keahlian dan keterampilannya. Akselerasi ilmu tidak bisa lagi karena sudah mentok. Ini penting agar komando bisa efektif dan cepat terlaksana sampai “akar rumput” (meminjam istilah PJ). Setiap instruksi adalah instruksi yang matang dan bermanfaat bagi Negara, serta segera dilaksanakan dengan kemampuan terbaik para perwiranya, yang tidak lagi merasa paling pintar, dan prajurit- prajuritnya yang lebih banyak dan patuh. Singkatnya semoga hadir pemimpin sekelas PJ di DGT. Aamiin YRA.

Mohon maaf atas segala kekurangan dan salah kata. Salam sukses!
Prajurit di Markas “Baru” yang Alhamdulillah Indah
3 Juni 2014
18.47 WIB

NB: Btw, saya merasa PJ itu agak mirip ya sama HT, ada hubungan keluarga gaya? Semoga nggak :D

Untuk dilihat juga:
http://www.kabarbumn.com/read-news-9-0-2488-ignatius-jonan--si--quot-gila-quot--yang-telah-mengubah-wajah-kai.html#.U46UA7HYEyk
http://sutarko.blogspot.com/2012/09/ignasius-jonan-mengubah-indonesia-lewat.html
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2010/10/13/hari-hari-penentuan-untuk-jonan-288141.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun