Ahmad Effendy Noor, yang kini bekerja di PT. Nividia Pratama Katulistiwa, hanya ingin membantu petani meningkatkan hasil panen. "Klien kami merasa dikriminalisasi. Dia datang ke Palembang karena diundang, bukan menawarkan pupuk tanpa izin," tegas Adi.
Harapan untuk Masa Depan Regulasi Pupuk di Indonesia
Kasus ini menjadi cermin rumitnya regulasi pupuk di Indonesia. Adi Bagus berharap pemerintah lebih fokus pada pembinaan bagi pengusaha lokal yang mendukung ketahanan pangan, bukan hanya menerapkan sanksi hukum.
"Bayangkan, petani membutuhkan pupuk yang berkualitas, tapi proses regulasi begitu sulit dan mahal. Bukannya mendorong inovasi dan partisipasi pengusaha lokal, justru banyak yang merasa dipersulit. Seharusnya, pelaku usaha seperti klien kami dibimbing agar memenuhi aturan, bukan langsung dijerat pidana," ujar Adi.
Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendukung putra-putri bangsa yang berkontribusi terhadap ketahanan pangan nasional. "Dukung inovasi anak bangsa, bukan malah menghalangi. Kita semua punya tanggung jawab untuk menjadikan Indonesia swasembada pangan," pungkasnya.
Kasus ini tidak hanya tentang hukum, tetapi juga tentang masa depan petani Indonesia. Akankah regulasi bisa menjadi lebih inklusif? Mari kita nantikan perkembangan selanjutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H