Mohon tunggu...
Ronald Haloho
Ronald Haloho Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru di SMK N.1 Pantai Cermin

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jangan Asal Ber-Anak

10 Oktober 2014   17:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:36 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JANGAN ASAL BER-ANAK

Sekilas judul yang dituliskan bermakna negatif yakni jangan asal menambah anak, namun makna ber-anak yang memakai garis penghubung menekankan pada perencanaan masa depan anak yang dimulai dari sebelum anak terlahir. Dengan kata lain, judul jangan asal ber-anak­ ditekankan pada kesiapan kita untuk memulai keluarga dan kewajiban memiliki visi dan misi membangun keluarga dan anal yang berkualitas.

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di dunia dihadapkan pada masalah populasi penduduk yang kian membludak. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meminimalkan pertambahan penduduk yang dalam hal ini dilaksanakan oleh BKKBN namun pertambahan penduduk sepertinya tidak dapat dikendalikan. Jika hal ini terus berlangsung tanpa ada jalan keluar maka bisa dipastikan hal ini akan menjadi masalah yang sangat besar. Kuantitas penduduk yang tidak sejalan kualitas yang dihasilkan akan berdampak kurang baik bagi pembangunan. Jika kualitas penduduk kalah dari kualitas maka negara kita tetap akan menjadi pengekspor dan penghasil tenaga kerja kasar.

Sebagai generasi muda, membangun keluarga membutuhkan pertimbangan yang matang. Kesiapan dana, mental dan cita-cita menjadi tolak ukur seseorang untuk membaungun keluarga yang benar- benar terencana. Jika dalam proses persiapan membangun sebuah keluarga telah dilakukan maka kelak kelurga tersebut dapat dikatakan sebagai GENRE (generasi berencana) dimana akan membuahkan keturunan yang memiliki kualitas yang unggul. Dalam ruang lingkup keluarga untuk mendapatkan keturunan yang sehat tidak hanya jasmani namun rohani dan memiliki kepribadian yang kuat ada bebrapa hal yang dapat menghambat niat tersebut. Adat, karir dan lingkungan sekitar adalah penghambat jika kita mengangap hal-hal tersebut sebagai pegangan dalam membangun keluarga.

Generasi Berencana vs Adat

Pola pikir sebagian masyarakat yang masih yakin pada istilah banyak anak banyak rejeki juga menjadi batu sandungan yang didasari oleh adat-istiadat. Sebagai contoh suku Batak. Suku Batak memiliki sistem marga yang diturunkan dari orang tua laki-laki. Sebagai contoh kasus, jika dalam satu keluarga telah memiliki 2 atau bahkan 3 orang anak perempuan, maka keluarga tersebut kemungkinan besar akan memendam hasrat untuk mendapatkan anak laki-laki untuk meneruskan garis keturunan marga. Di pihak lain, jika telah mendapatkan 2 atau 3 anak laki-laki maka keluarga tersebut juga memilki kemungkinan mendapatkan anak perempuan dengan dalih siapa yang menjaga kami jika kami sakit kalu sudah tua kelak. Pandangan tentang adat untuk mendapatkan anak laki-laki dan perempuan pada dasarnya tidak salah namun kadangkala pemikiran tersebut disalahartikan pada situasi dimana pada satu keluarga belum memiliki anak laki-laki dan perempuan sementara jumlah anak dikeluarga tersebut sudah berjumlah lebih dari dua bahkan telah memiliki 4 anak.

Sebagai generasi berencana, mendapatkan buah hati adalah salah satu dasar membangun keluarga. Namun jumlah anak dalam keluarga juga harus dipertimbangkan untuk dapat memaksimalkan potensi keluarga baik dari orang tua maupun anak. Pandangan untuk mendapatkan buah hati sepasang-laki-laki dan perempuan- seyogyanya diganti dengan mendapatkan buah hati yang sehat dan hebat. Beban orang tua kedepannya juga tidak terlalu menjadi permasalahan yang disebabkan oleh banyaknya anak dalam kelurga.

Generasi Berencana vs Karir

Di jaman era cepat ini, kebutuhan hidup semakin bertambah seiring dengan kenaikan harga komoditi dan konsumsi. Untuk dapat memenuhi kebutuhan maka diperlukan karir orang tua yang juga menjadi pondasi keluarga pada masa depan. Namun kadangkala karir juga dapat menghambat kualitas kasih sayang dan perlakuan orang tua terhadap anak. Waktu yang semakin sedikit menimbulkan jarak antar anggota kelurga. Jika hal ini terjadi maka yang menjadi korban pertama adalah anak. Perkembangan psikologi anak kurang maksimal. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kasih sayang dan perhatian yang diberikan orang tua. Penggunaan jasa pembantu rumah tangga atau momongan memang menjadi jalah keluar untuk memperhatikan buah, akan tetapi apa yang mereka berikan pasti tidak seperti ibu kandung pada umumnya.

Sebagai bagian dari generasi berencana, karir jelas menjadi tujuan hidup guna menafkahi kebutuhan keluarga. Tetapi kebutuhan akan kasih sayang dan perhatian dari orang tua kepada anak juga harus menjadi prioritas dalam kehidupan berkeluarga. Karir orang tua baik sebagai bapak maupun ibu kiranya tidak jadi penghambat perkembangan psikologi anak. Mencegah anak menjadi anak nakal dan jahat dengan kasih sayang dan perhatian jauh lebih baik dari pada menyesali tingkah laku anak yang menyimpang seperti menjadi perokok, pecandu narkoba ,dll. Perkembangan kualitas anak di masa depan ditentukan oleh perkembangan otaknya di masa kecil.

Generasi Berencana vs Lingkungan Sekitar

Salah satu yang menjadi pembentuk karakter manusia adalah lingkungan sekitar, begitu juga dalam kehidupan berkeluarga. Secara khusus, tingkah laku anak juga harus menjadi perhatian khusus dalam mendidik. Peribahasa dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung jangan menjadi acuan yang dapat merugikan orang tua dalam mendidik anak. Lingkungan yang memiliki lebih banyak pengaruh negatif dari pada positif dapat diminimalisir dengan tetap memperhatikan tingkah laku dan kebiasaan anak.

Dalam keluarga generasi berencana, mendidik sikap dan tingkah laku anak harus dimulai sedini mungkin. Hal tersebut dapat dimulai dari dalam keluarga dengan mengajarkan nilai- nilai agama dan moral. Dengan demikian, karakter anak yang baik tidak akan luntur oleh pengeruh yang tidak baik dari lingkungan dimana kita tinggal. Peribahasa emas jika dibuang ke lumpur tetap emas seharusnya menjadi acuan dalam membimbing sang buah hati. Sebagai generasi berencana yang memiliki keluarga, masa depan anak juga harus dipupuk sedini mungkin dengan mempersiapkan mental tangguh dan pekerja keras.

Dalam membangun sebuah kelurga Generasi Berencana tidak dapat diwujudkan dengan mudah. Dalam membangun generasi berencana jumlah dan kualitas anak harus direncanakan dengan baik. Sebagai orang tua, perkembangan anak tentu menjadi tanggung jawab yang harus diemban. Jumlah anak tidak menjadi acuan kesuksekan keluarga di masa yang akan datang, namun kualitas anak akan menjadi sangat berarti untuk si anak dan keluarga baik pada saat anak masih kecil dan terutama ketika anak sudah tumbauh dewasa. Menjadi suami maupun istri diharuskan memiliki persiapan yang matang dan memiliki rencana ke depannya. Generasi Berencana lebih memprioritas rencana sebelum membangun keluarga dan tetap mempunyai tujuan untuk masa depan keluarga lebih baik pada saat telah memiliki keluarga. Keharmonisan pada satu kelurga tidak hanya ditentukan oleh dana yang mencukupi namun harus dibarengi dengan manajemen keluarga yang baik. Dengan kata lain, jika setiap keluarga memaknai generasi berencana sebagai salah satu dasar berkeluarga maka kualitas keluarga yang ada di Indonesia akan jauh lebih baik dari sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun