Ujian Nasional: Taruhan tingkat tinggi
Walau kejadiannya terpisah jauh, ada benang merah yang menjadi penaut peristiwa kebocoran soal UN yang terjadi pada dua sekolah di kota Makassar – Sulawesi Selatan [Alfian, 2016] dan di Kabupaten Landak – Kalimantan Barat [Pahlevi, 2016]. Pada dua kejadian tersebut, tersangka pelakunya adalah para Kepala Sekolah dan tempat terjadinya kebocoran soal adalah kantor Kepala Sekolah yang dijadikan TST (Tempat Simpan Terakhir) soal UN. Kedua sekolah tersebut berperan sebagai ketua sub-rayon pendistribusian soal dan LJU (Lembar Jawaban Ujian).
Menurut tersangka pembocor soal, perbuatannya ini dipicu oleh ketakutan akan banyaknya siswanya yang tidak akan lulus pada UN tahun ini. Tingginya ketidaklulusan tentu akan berdampak langsung pada suatu sekolah karena siswa pelamar sekolah tersebut tentu akan berkurang. Tampaknya, Ujian Nasional ini sudah masuk dalam kategori taruhan tingkat tinggi (high stakes test). Luaran/hasil ujian sejenis ini biasanya digunakan pada sejumlah hal misalnya untuk: memberikan gelar/ijazah/sertifikat sebagai penanda terpenuhinya strata pembelajaran tertentu, menuju strata pembelajaran/kompetensi yang lebih tinggi, menghukum sekolah melalui pemotongan dana dan pencitraan yang buruk, memuji sekolah dengan pengaliran bantuan dan peningkatan popularitas [anonim, 2014].
Ketika menghadapi tekanan Ujian Nasional yang begitu besar, seorang insan pendidik harus tetap berpegang teguh pada 7 (tujuh) komponen integritas akademik universal yakni: jujur, adil, amanah, hormat, bertanggung-jawab, berani, dan berorientasi Ilahi [ICAI, 2014; Halide, 2016]. Pada kejadian ini, sebenarnya yang patut melakukan shalat istigotshah bukan lagi para siswa yang akan ikut UN melainkan para kepala sekolah!. Apakah perilaku menyimpang kepala sekolah atau guru pada umumnya inikah yang digurui (gugu dan tiru) oleh seorang anak didik atau adakah faktor lainnya?
Ketidak-jujuran: faktor ikut-ikutan teman
Beberapa dekade yang lalu, McCabe dan Treviño (1993) seperti yang diulas oleh McCabe dkk (2001), telah menemukan alasan kuat mengapa seorang mahasiswa berlaku tak jujur pada ujian. Alasan itu dikenal sebagai faktor “perceptions of peers” – sang pelaku mencontoh perbuatan curang sejawatnya yang telah menganggap bahwa perbuatan curang adalah suatu norma agar nilai ujian tetap tinggi.
Jika ia tak mengikuti perilaku kawan-kawannya, nilainya akan tertinggal jauh dari nilai teman-temannya yang lain. Apakah ini tidak mirip ketakutan seorang kepala sekolah seperti yang disebutkan diatas?. Tentu menarik juga untuk dicermati apakah faktor ‘ikut-ikutan teman’ untuk melakukan kecurangan pada tingkat mahasiswa ini juga telah menulari para siswa. Perlu pula dicatat bahwa ada pula faktor kepribadian yang dikenal sebagai ‘segitiga gelap – dark triad’ yang berkaitan dengan perilaku menyontek. Segitiga gelap itu adalah: narsis (merasa diri superior), Machiavelis (manipulasi orang lain) dan psikopat subklinis (berperilaku anti sosial) [Nathanson dkk., 2006].
Selanjutnya, McCabe dan Treviño (1993) menemukan pula bahwa tegaknya suatu ‘academic honor codes’ (integritas akademik) termasuk hukuman bagi para pelanggar (transgressors) dapat menurunkan tingkat kecurangan siswa pada ujian. Mereka menekankan kata ‘penegakan’ bukan hanya sekedar ungkapan ‘window dressing’ semata. Bing dkk. [2012] memberi contoh bagaimana usaha proaktif suatu institusi pendidikan bisnis untuk menekan fenomena ketakjujuran ini. Bagaimana dengan kita di Indonesia?
Indeks Integritas: metrik ketidakjujuran
Kita kelihatannya ingin kembali menegakkan perihal integritas akademik. Presiden Jokowi menyatakan bahwa kejujuran adalah fondasi bangunan karakter bangsa [Paramita, 2015]. Dua menteri Beliau yakni Mendikbud dan MenristekDikti segera menindaklanjutinya. Mendikbud mengeluarkan dan mengumumkan suatu alat ukur kejujuran yang disebut Indeks Integritas [Indriani, 2016]. Kedua menteri ini bahkan ingin menjadikan metrik ini sebagai bahan pertimbangan bagi calon mahasiswa jalur undangan SNMPTN [Linggasari, 2016; Wurinanda, 2016; Yuniasari, 2016]. Perlu dicatat bahwa MenristekDikti pernah tidak menyetujui penggunaan indeks ini sebagai kriteria penentuan kelulusan SNMPTN [Anonim, 2015].
Sejumlah orang sudah menyatakan ketidaksetujuannya pada Indeks Integritas [Musfah, 2015; Zubaidah, 2016]. Alasan ketidaksetujuan mereka tampaknya didasari pada tidak ditemukannya informasi tentang alat ukur Indeks Integritas ini seperti: komponen-komponen apa saja yang dinilai, bagaimana cara menghitung komponen-komponen tersebut serta bagaimana validitas instrumen ini.