Berdasarkan kemunculan fenomena PING!!! di atas, konteks penggunaannya ditafsirkan secara konsisten oleh sebagian individu walau sifatnya memiliki ambiguitas. Dalam prinsip semiotika, pemaknaan tanda sifatnya tidak terbatas secara individual. Dari sebuah kode PING!!! tadi, hanya huruf P yang diambil sebagai bentuk pemendekan atau kepraktisan. Konteks pengambilan kode P tersebut selanjutnya menghasilkan konvensi (kepercayaan) yang muncul di benak masyarakat, hingga lahirlah kode baru "P" sebagai simbol dalam aturan berkomunikasi di ruang virtual.
Pada praktiknya, penggunaan kode tersebut justru menimbulkan pandangan dan interpretan positif/negatif. Alih-alih mengirimkan pesan yang terus terang dan mudah dipahami, sebagian warganet justru kesal jika dikirimi pesan "P", terlebih jika sifanya spamming. Tanda "P" bisa disebut sebagai (signifier) yang berarti kode untuk mengirimkan pesan secara darurat, tetapi kode tersebut memiliki petanda (signified) yang dapat menimbulkan interpretasi 'kepraktisan' atau 'ketidaksopanan' dalam berkomunikasi.
Semiotika berangkat dari tiga elemen utama, yaitu tanda, acuan tanda, dan interpretan. Ketiga elemen tersebut saling memenuhi sebagai satu kesatuan dalam segitiga makna (triangle meaning). Karena itu, partisipan antara pemberi dan penerima komunikasi haruslah dalam bentuk relasi yang setara dengan menggunakan tanda atau simbol yang memang telah disepakati bersama. Tidak mungkin dan tidak relevan jika kita memakai kode tertentu apabila tidak dalam relasi yang sama.Â
Sebagai contoh, seorang murid dan guru mempunyai tingkat relasi yang berbeda. Dalam berkomunikasi, sang guru ataupun murid tidak bisa memakai kode "P" sebagai pembuka percakapan karena acuan dan interpretannya sudah jelas berbeda. Pemakaian kode tersebut akan menghasilkan ketidaksejajaran dalam proses pemaknaannya. Jika dikaitkan dengan asusila dan nilai sosial, fenomena tersebut dapat dipandang sebagai perilaku berbahasa yang tidak sopan.
Akan tetapi, kode awalan "P" sah-sah saja jika kita ingin gunakan dengan mempertimbangkan relasi tanda, acuan tanda, dan interpretan yang sama. Â Karena itu, kita perlu perhatikan bagaimana medium dan partisipan ketika kita hendak memulai obrolan.
Mari kita biasakan untuk bijak berbahasa di ruang virtual ataupun konvensional.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H