Debat cawapres kedua yang baru-baru ini digelar (22/12) mengusung tema "Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Digital, Keuangan, Pajak dan Tata Kelola APBN-APBD, Investasi, Perdagangan, Infrastruktur, dan Perkotaan" berlangsung panas. Salah satu topik yang mendapat sorotan tajam adalah rasio perpajakan atau yang biasa dikenal dengan istilah tax ratio. Meskipun mungkin terdengar kompleks, konsep ini sebenarnya memegang peranan penting dalam ekonomi suatu negara.
Apa Itu Tax Ratio?
Sebelum kita masuk ke dalam debat cawapres, mari kita awali dengan memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tax ratio. Secara sederhana, tax ratio atau rasio perpajakan adalah perbandingan antara penerimaan pajak dengan produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Dinyatakan dalam persentase, rasio ini memberikan gambaran seberapa besar pemerintah mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan.
Dikutip dari situs Kementerian Keuangan, dijelaskan bahwa dalam konteks perekonomian, tax ratio berfungsi sebagai indikator untuk menilai kemampuan pemerintah dalam menghimpun pendapatan pajak. Tax ratio yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah mendapatkan sejumlah besar pendapatan dari pajak, sementara rasio yang rendah menandakan sebaliknya. Oleh karena itu, tax ratio dapat mencerminkan kebijakan fiskal suatu negara dan sejauh mana pajak menjadi beban bagi warga negara.
Di Indonesia, terdapat dua macam definisi perhitungan rasio pajak yang berbeda, yakni rasio pajak dalam arti luas dan sempit. Rasio pajak dalam arti luas diperhitungkan dengan membandingkan total nilai PNBP migas dan PNBP pertambangan dengan PDB. Sedangkan dalam arti sempit, adalah dengan membandingkan total penerimaan pajak pusat berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Cukai, dan pajak lain dalam postur anggaran negara dengan PDB.
Menurut data yang dicatat oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tax ratio Indonesia mencapai 10,21% terhadap PDB pada tahun 2023. Angka tersebut memperlihatkan sedikit penurunan jika dibandingkan dengan tax ratio pada tahun 2022 yang mencapai 10,39% terhadap PDB ketika memasukkan penerimaan dari Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Meskipun demikian, apabila menilai tax ratio pada tahun 2022 tanpa memasukkan PPS, yang mencapai 10,08%, maka terlihat bahwa tax ratio mengalami peningkatan. "Tax ratio kita naik lagi 10,2% PDB," ungkap Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita, Selasa (2/1).
Tax Ratio dalam Debat Cawapres
Dalam debat cawapres, tax ratio menjadi fokus perbincangan karena berbagai alasan. Hal ini terkait erat dengan kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh pemerintahan yang baru terpilih. Jika tax ratio rendah, mungkin ada niat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memberikan insentif kepada sektor swasta. Sebaliknya, tax ratio yang tinggi mungkin menandakan upaya untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung program-program pemerintah. Karena kondisi saat ini, pemerintah Indonesia juga masih menghadapi kesulitan dalam meningkatkan penerimaan perpajakan melalui upaya perluasan cakupan objek pajak. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa tax ratio di Indonesia relatif masih rendah.
Tax ratio juga mencerminkan sejauh mana sistem perpajakan dianggap adil. Jika sebagian besar pendapatan berasal dari pajak yang dikenakan pada kelompok ekonomi menengah ke bawah, hal ini dapat memicu ketidakpuasan masyarakat. Oleh karena itu, debat cawapres menjadi wadah untuk membahas apakah kandidat memiliki rencana untuk menyeimbangkan beban pajak agar lebih adil bagi semua lapisan masyarakat.