Mohon tunggu...
Halina Said
Halina Said Mohon Tunggu... -

Mahasiswa semester akhir yang sibuk skripsi, tapi masih sempet ngompasiana

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Cara Menghadapi Opini Buruk Orang Lain

20 Juni 2013   12:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:42 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sudah teramat sering mendengar istilah semisal ini

You are what you do
You are what you are saying
You are what you read

dan lain sebagainya. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa segala gerak gerik dan ucapan kita menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Bila kita terbiasa berkata sopan pada orang lain, maka demikian sopanlah kepribadian kita. Bila kita terbiasa menyuruh bawahan dengan kasar, maka kepribadian kita pasti tidak jauh dari sikap kasar pada hal apapun.

Pada dasarnya kepribadian dibentuk dari dua hal, yang pertama kebiasaan (faktornya bisa beragam mulai dari kebiasaan di keluarga atau kebiasaan di lingkungan sekitar), yang kedua adalah ilmu baik formal maupun informal.

Pernahkah anda merasa tidak nyaman bahkan bertengkar dengan orang lain lantaran opini buruk mereka terhadap anda? Misalnya ketika dalam pekerjaan anda ingin melakukan sebuah inovasi yang menurut anda kreatif, tapi justru diejek dan dinilai tidak akan berhasil? Atau ketika anda telah melakukan sebuah pencapaian, justru direndahkan dan tidak dianggap berarti oleh orang lain?

Saya sendiri baru saja mengalaminya tapi bukan dalam bidang pekerjaan. Ini saya kisahkan semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari cerita ini tanpa ada maksud untuk menjelek-jelekkan siapapun.

Begini, saya menjalin hubungan jarak jauh dengan seorang pria. Kami berencana menikah tahun depan. Semua proses berjalan mulus. Namun apakah semua orang berpikir hal yang sama dengan saya? Ternyata tidak. Seorang teman di kantor justru mengatakan sebaliknya. Dia selalu mengingatkan saya bahwa hubungan kami sedang tidak sehat. Hubungan jarak jauh itu tidak akan bertahan lama. Calon saya itu pastilah seorang laki laki biasa yang sangat mudah tergoda dengan perempuan lain terlebih karena saya tidak ada didekatnya. Sampai di sana saya terima pendapatnya. Saya tidak munafik, calon saya itu laki laki normal yang sangat mungkin melakukan hal curang di belakang saya. Saya berdoa semoga Allah melindunginya dari berbuat maksiat semacam itu.

Ternyata ucapan negatif teman saya tidak selesai sampai di situ. Dia justru menuduh saya ada main dengan teman seruangan. Menurut dia "witing tresno jalaran soko kulino". Dia menganggap lantaran urusan pekerjaan saya dan teman seruangan saya bisa saling jatuh cinta walaupun sudah memiliki pasangan nun jauh tempatnya.  Sejujurnya saya emosi betul dengan pendapatnya itu. Sudah agak keterlaluan menurut saya. Tapi saya diam dan berusaha agar teman saya tadi tidak lagi mengungkit hal tersebut.

Lantas saya mempelajari sesuatu dari kejadian ini. Teman saya tadi berkata demikian (bahwa calon saya mungkin selingkuh dan saya ada main dengan orang lain) lantaran dia sendiri persis seperti yang dikatakannya. Dia bukan laki laki yang begitu setia kepada istrinya. Dia pernah bercerita kepada saya bahwa dia pernah beberapa kali selingkuh di belakang istrinya.

Ya, saya menemukan kuncinya. Dia menuduh demikian karena selama ini hal itulah yang sering dia lakukan. Itu terjadi tidak sekali dua kali melainkan sering, sehingga demikianlah pola pikirnya terbentuk. Barangkali dia berpikir kesetiaan itu sangat sulit dicapai bahkan hal mustahil didapat bagi orang dengan nafsu seksual "normal". Dia mengatakan kami tidak mampu mempertahankan kesetiaan lantaran sesungguhnya dia sedang menggambarkan dirinya sendiri. Maka apa yang dikatakannya kepada saya menggambarkan siapa dia sebenarnya.

Tidak kurang tidak lebih, maka pendapat negatifnya tentang hubungan saya dengan calon, saya anggap sebagai pengingat saja. Saya tidak perlu marah, tersinggung apalagi bertindak berlebihan dalam hal ini. Saya belajar memahami, ketika seseorang berkata hal buruk, merendahkan atau menganggap remeh apa yang kita lakukan, sesungguhnya mereka sedang menceritakan ketidakmampuan mereka. Mereka memposisikan apa yang kita lakukan kepada diri mereka, dan mereka pikir hal itu tidak akan berhasil. Bukankah keraguan mereka akan diri mereka itu terbentuk dari kebiasaan kebiasaan mereka selama ini, yaitu kebiasaan gagal dan lemah. Bukankah ucapan mereka menggambarkan pola pikir dan ilmu yang mereka kuasai selama ini, yaitu pikiran negatif dan rendah diri.

Maka untuk apa mengikuti opini negatif? untuk apa mempercayai sugesti negatif? untuk apa mempercayai bahwa diri ini lemah dan tidak mampu?

Kesuksesan tidak ditempuh dengan instan. Kesuksesan apapun bentuknya (dalam karir, asmara dll) butuh proses. Untuk menjadi pribadi sukses kita harus berlaku selayaknya orang sukses. Orang sukses terbiasa melakukan hal hal baik, orang sukses terbiasa berpikiran positif dan inovatif, orang sukses terbiasa menghargai proses.

Dari sini kita belajar, opini negatif hanya sebagai pengingat saja, bahwa setiap hal mungkin tidak berjalan mulus. Setiap tujuan mulia harus memempuh rintangan terlebih dulu. Dan orang sukses tahu, lebih baik fokus pada kelebihan daripada galau karena kekurangan. You are what you think!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun