Di rumah kecil ini bernama Indonesisch Huis, Â benih keindonesiaan telah tertanam dan mulai tumbuh dan berkembang dengan baik. Di sini pula segala ego kesukuan yang melekat dalam diri mereka mereka kubur bersama sebagai benih, kemudian tumbuh menjadi pohon Indonesia yang rindang dan mampu mengayomi orang-orang yang berteduh dibawah, penuh damai dan kebahagiaan terpancar di raut muka mereka. Perasaan yang sama sebagai satu kesatuan yang utuh telah membumikan rasa keindonesian, dengan nasionalisme yang tinggi.
Terbukti, rumah kecil Indonesia dijadikan sebagai tempat pembacaan hasil Kongres Pemuda. Kongres yang awalnya dilaksanakan pada 27 Oktober 1928 di gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Lapangan Banteng) yang membicarakan pentingnya rasa persatuan diantara pelajar untuk mewujudkan kemerdekaan. Besoknya tanggal 28 Oktober 1928 Kongres dilanjutkan di gedung Osst Java Boscoope untuk membicarakan perlunya anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak. Kemudian pada sesi selanjutnya para pelajar menyipulkan bahwa untuk mencapai cita-cita kemerdekan bangsa dan tujuan bersama diperlukan adanya rasa nasionalime dan terbangunya demokrasi bagi bangsa ke depan. Untuk itu, akhirnya untuk berikrar bersama yang kemudian melahirkan lahirlah naskah Sumpah Pemuda. Kesepakatan berikutnya, pembacaan ikrar harus dilaksanakan di rumah kecil Indonesia yang mereka sebut Indonesisch Huis. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan Commensalen Huis sebagai Indonesisch Huis sebagai tempat yang refersentatif  yang aman dan nyaman untuk membangun Indonesia, sebagai titik awal proses pembentuk negara.Â
Kita semua tahu, bahwa proses pembentukan negara ini amat panjang dengan mengorbankan jiwa dan harta yang tidak terhitung bilangannya. Namun, sejarahnya telah terukir dalam sanubari bangsa ini. Karenanya, sebagai anak bangsa yang menikmati hasil perjuangan mereka, tak sepantasnya kita masih mengabaikan peran-peran dari setiap jiwa yang telah berkorban dengan ikhlas untuk negeri ini. Lepaskan ikatan sukuisme dan primordial yang masih menempel dalam jiwa-jiwa hampa, karena mereka telah merintis berdirinya negeri ini juga melepaskan ikatan-ikatan itu. Jika mereka bisa, mengapa kita tidak bisa ? padahal kita sebagai penikmat jerih payah mereka. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Begitulah seharusnya kita bersikap dalam membangun negeri ini. Negeri ini akan jaya dan rakyat akan sejahtera lahir dan bathin, jika kita bersama-sama merasa Satu Indonesia, tentunya Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Ayo Kerja Bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H