Mohon tunggu...
Halimson Redis
Halimson Redis Mohon Tunggu... Guru - Guru di Jubilee School dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII)

Belajar untuk di amnalkan, Berbagi Ilmu untuk mempererat silaturahmi dan memperpanjang umur

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Perizinan Berusaha Sektor Pendidikan

4 September 2021   12:10 Diperbarui: 4 September 2021   12:10 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengesahan RUU Cipta Kerja dalam sidang Paripuna DPR-RI pada Senin, 5 Oktober 2020. Menurut Pemerintah dan DPR, merupakan suatu bilied (kebijakan) baru yang diharapkan menjadi batu loncatan bagi perbaikan iklim usaha di Indonesia, terlebih lagi pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Namun, menyisahkan bahkan diyakini melahirkan beberapa permasalah baru ke depannya, khususnya pada sektor pendidikan.

Keberadaan Paragraf 12 paket Pendidikan dan Kebudayaan pada tanggal 24 September 2020 semua fraksi DPR sepakat untuk mencabut atau mengeluarkan paket UU pendidikan  (1) UU No. 20/2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, (2) UU no. 12/2012 tentang Perguruan Tingga, (3) UU no. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan (4) UU no. 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran dari Rancangan UU Cipta Kerja. Tetapi masih menyisakan pasal 65 yang mengatur pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui “Perizinan Berusaha”, dan pelaksanaanya diatur dengan “Peraturan Pemerintah.”

 Nomenklatur “perizinan beruhasa” telah menempatkan kembali sektor  pendidikan sama kedudukannya dengan sektor industri lainnya. Menjadi komuditas investasi bagi kaum kapitalis. Padahal substansi pendidikan, ruhnya menghasilkan “kecakapan hidup” bukan suatu produk. Kecakapan hidup yang dimiliki sebagi hasil proses pendidikan, kemudian menjadikan sesorang memiliki skill untuk menghasilkan produk. Artinya pendidikan perada di garda terdepan atau hulunya pembentukan karakter anak-anak bangsa. Sedangkan hilirnya adalah skill untuk menghasilkan sebuah produk atau karya.

  Perbedaan substansi, telah menempatkan sektor pendidikan menjadi sektor termulia dibanding sektor lain. Karenanya tidak boleh dijadikan komuditas investasi bagi semua pihak. Jika kemuliaan diperjualbelkan, maka nilainya menjadi tidak berharga, pada akhirnya capaian tujuannya pun tidak terarah dan sulit dicapai. Untuk itu, pendidikan harus dikembalikan pada martabatnya yang mulia dan secara hakiki harus dapat diakses oleh semua pihak.

Ketika pendidikan menjadi komuditas investasi bagi kaum kapitalis, maka akan semakin sulit diakses oleh anak-anak bangsa. Kaum kapitalis atau pemilik modal secara ekonomi tentu akan berusaha mengembalikan keuntungan investasi sebesar-besarnya. Sektor pendidikan menjadi kosumsi yang mahal, tentu sulit diakses oleh anak-anak bangsa.

UU Cipta Kerja secara jelas menempatkan sektor pendidikan sebagai komuditas investasi bagi para investor. Pada pasal 6 UU Ciptaker point c, menghendaki adanya “penyederhanaan perizinan berusaha sektor” pendidikan dan kebudayaan (pasal 26 point k). Dengan demikian, sektor pedidikan merupakan bagian  yang tidak terpisahkan dari usaha peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha (pasal 6) yang dibangun pemerintah.

Walaupun pada penjelasan Pasal 65, “perizinan berusaha sektor pendidikan” hanya diberlaku di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebuah anomali dari suatu undang-undang negara yang dibentuk dan dibuat  untuk mengatur tata kelolah negara secara umum, ternyata diberlakukan secara sektoral. Jika yang dimaksud penjelasan Pasal 65 tersebut, seharusnya dimuatkan secara khusus dalam undang-undang KEK tersendiri. Ada ketidaksingkronan antara bunyi pasal dengan penjelasannya..

Ada unsur pemaksaan muatan Pasal 65 dan penjelsannya. Penjelasan hanya menjustifikasi pasalnya, demi suatu rasionalitas. Rasionalisasinya tertangkap bahwa ekosistem investasi yang maksud merupakan tatanan baru suatu wilayah/negara secara aktif semua lini berperan meningkatkan perekonomi negara. Kerangka mulianya; meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.  Salah satunya melalui, sektor pendidikan.

Positifnya, kedepannya akan banyak lahir alternatif-alternatif pilihan lembaga pendidikan/sekolah baik yang dirikan oleh lembaga pendidikan asing maunpun oleh lembaga lokal. Masing-masing akan berkompetensi mencari calon-calon peserta didiknya. Sekolah yang memiliki infrastruktur terbaik dan guru berkualitas,  menjadi terpavorit. Karena, dipandang akan mampu menghasilkan kompetensi kecapakan hidup terbaik bagi anak didiknya dan mampu membentuk skill yang dapat menghasilkan suatu produk dikemudian hari.

Akibatnya cost operasional sekolah menjadi tinggi. Biaya pendidikan yang tinggi, tentu akan dibebankan kepada orang tua siswa. Maka hanya kelas bourjuis (orang tua kaya), memiliki akses besar mendapatkan sekolah pavorit dengan kualitas terbaik. Sedangkan anak-anak dari kelas proletar terpinggirkan, maka kesenjangan sosial semakin bias. Begitu pula dikawasan KEK, juga terdapat anak-anak dari kaum proletar (buruh) yang berkerja. Tentu anak-anaknya membuuhkan pendidikan. Sementara di wilayah KEK, biaya pendidikan tinggi dan sulit diakses mereka. Maka yang terjadi hanya golongan kayalah, memiliki kemudahan meraih harapan dan cita-cita. Sedangakan kelompok menengah kebawah harus berjuang keras penuh resiko; gagal dan putus asa. Siapa yang betangggung jawab ?

Menaikan Peringkat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun