Pada bagian 1 sebelumnya penulis telah membahas polemik tersebut dari perspektif hukum islam dan hukum nasional. Penulis telah menyinggung pula apakah pembuatan qanun tersebut dengan dasar untuk melindungi hak hak wanita yang dirugikan karena maraknya nikah siri atau dengan qanun ini mempermudah lelaki untuk memenuhi syahwatnya untuk menikah lagi.Â
Seperti yang penulis sebutkan di atas bahwa di dalam pembuatan suatu regulasi tentu ada hal yang melatarbelakanginya. Hal tersebut merupakan urgensi yang harus segera diselesaikan.Â
Pada berita berita yang beredar bahwa qanun legalisasi poligami ini dibuat dengan tujuan untuk mengatasi maraknya nikah siri di tengah masyarakat yang merugikan hak hak wanita. Mengacu pada hal tersebut tentunya tujuan pembuatan qanun ini baik adanya karena ingin memberikan kepastian hukum bagi wanita yang menikah sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa nikah siri memang sah secara agama tetapi tidak sah secara negara karena tidak dicatat oleh pencatatan sipil. Hal ini berdampak pada tidak adanya kepastian hukum terkait status wanita tersebut. Dengan tidak adanya kepastian tersebut tentunya merugikan wanita karena apabila bercerai maka wanita tersebut beserta keturunannya tidak bisa mendapatkan harta warisan apabila suaminya meninggal karena pernikahannya tersebut tidak diakui oleh negara.Â
Hal ini tentunya harus segera diselesaikan agar terpenuhinya hak hak wanita dan mengatasi maraknya nikah siri. Namun, menjadi suatu pertanyaan apakah untuk mengatasinya harus dengan membuat regulasi tentang legalisasi poligami. Sepeti yang penulis ungkapkan pada tulisan sebelumnya bahwa aturan poligami ini sendiri sebenarnya sudah ada dalam UU Perkawinan sehingga tidak perlu lagi apabila ingin diatur dalan aturan baru. Meskipun Aceh memang memiliki kekhususan untuk mengaturnya karenap hal tersebut sesuai dengan syariat Islam sebagaimana diterapkan di Aceh.
Perlu ditinjau terlebih dahulu apakah dengan adanya qanun itu nantinya akan memberikan kemudahan bagi kaum lelaki untuk menikah lagi atau bagaimana. Karena apabila qanun tersebut pada poinnya lebih memudahkan kaum lelaki untuk berpoligami maka rasa keadilan akan terkurangi meskipun kepastian hukumnya dapat. Oleh karenanya perlu ditinjau terlebih dahulu mana yang ingin dicapai apakah keadilan atau kepastian hukum. Karena memang keadilan tertinggi selalu bertentangan dengan kepastian hukum.Â
Apabila hanya bertujuan untuk kepasfian status saja maka benar anggapan masyarakat bahwa aturan tersebut hanya memberikan kemudahan bagi lelaki untuk menuntaskan syahwatnya untuk menikah lagi. Sedangkan perlu dipertimbangkan pula bagaimana rasa keadilan dari istri pertamanya yang tentu akan merasa dikurangi. Kajian terhadap qanun tersebut harus dilakukan secara mendalam.
Hal tersebut tidak terlepas dari mana yang ingin dicapai apakah kepastian hukum apabila seorang wanita menikah dengan seorang suami dan menjadi istri kedua atau ketiga atau keempat maka statusnya menjadi jelas. Hal tersebut akan berkorelasi pula dengan istri pertama yang akan merasa tidak adil karena memudahkan suaminya menikah lagi. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa aturan tersebut bias gender.
Sebagai wakil rakyat haruslah mampu memikirkan hal tersebut. Masih banyak masalah lainnya yang lebih penting dan harus diselesaikan dibandingkan masalah ini.Â
Alangkah lebih baiknya apabila memikirkan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum yang tidak pandnag bulu, reformasi birokasi, dan masalah yang lebih penting lainnya. Karena sesungguhnya yang diinginkan rakyat adalah terciptanya keadilan sosial yang merata dan dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H