Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Konsisten dalam Kesadaran untuk Menuju Perubahan

1 Desember 2024   10:21 Diperbarui: 1 Desember 2024   10:21 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pilkada Serentak - cnnindonesia.com

Tahun 2024 menjadi periode penting bagi bangsa Indonesia, setelah Pemilu Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) diselenggarakan pada Februari lalu, bulan ini kita baru saja menyelesaikan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Nasional. Momentum pemilu tersebut menjadi arena politik untuk menentukan pemimpin. Namun kontestasi politik dalam pemilu yang sering kita sebut dengan pesta demokrasi acapkali lebih menyerupai 'perang' daripada 'pesta'.

Para kontestan dan pendukungnya tidak bisa menjadi elemen yang memeriahkan 'pesta' tapi lebih menjadi elemen pengganggu atau perusak 'pesta'. Laiknya 'pesta' seharusnya penuh kegembiraan, hingar bingarnya dapat menaikkan hormon endorfin dan dopamin. Namun setiap kali pemilu rasanya hormon kortisol dan adrenalin yang meningkat karena, perundungan, perdebatan, penyebaran berita bohong, saling menjatuhkan yang pastinya akan menimbulkan ketegangan, pertengkaran dan permusuhan. 

Oleh karenanya, tak bisa dinafikan, setiap ajang pemilu pasti menyisakan residu politik, baik di tingkat elite maupun masyarakat. Mungkin kita alami atau bisa kita temui bahwa gara-gara pemilu ada anggota keluarga yang tidak saling tegur, bermusuhan dengan tetangga sebelah rumah yang temboknya berdempetan karena mendukung pasangan calon (paslon) yang berbeda. Fenomena kedekatan sosial bahkan keluarga harus bertengkar karena beda pilihan politik nyata adanya, dan ironisnya pertengkaran itu terus berlangsung padahal kontestasi pemilu telah usai bahkan permusuhan itu begitu awet sampai kepemimpinan sudah berganti periode. 

Nah untuk mengatasi kecanggungan sosial akibat permusuhan kita butuh kesadaran penuh bahwa hadirnya pertengkaran dan permusuhan karena baper alias bawa perasaan dalam dukung-mendukung. Untuk itu kesampingkan pemikiran irasional dan emosional. Kita harus fokus pada kerasionalan berpikir untuk dapat menyadari kompetensi para paslon. Jangan terjebak pada apa yang terbungkus dan ditampilkan oleh para tim sukses masing-masing paslon. Butuh kesadaran penuh untuk dapat mengelaborasi potensi masing-masing paslon agar dapat obyektif dalam menilai. Satu yang harus menjadi perhatian kita adalah bahwa permusuhan di tingkat elite sangat cepat rekonsiliasinya, mengapa kita para pendukung masih belum bisa move on, lucu bukan? Kita bertengkar tapi apa yang menjadi sebab kita bertengkar sudah berdamai.

Yuk, yang sudah terlanjur baper dan renggang dengan keluarga atau tetangga, mari kita hadirkan kesadaran diri untuk berdamai dengan itu semua, kita sambung lagi silaturahim, kita rekatkan kembali apa yang sempat renggang. Kalau kesadaran diri sudah berhasil kita hadirkan, mari kita konsisten menjaganya untuk terus menerus hadir agar kita dapat menuju perubahan, tidak lagi pakai emosi dan irasional. Selanjutnya kita dapat benar-benar menikmati 'pesta' demokrasi dengan gembira ria.  

Tidak usah menunggu pemerintah dan para elite untuk melakukan rekonsiliasi, kita dapat memulainya dari diri sendiri, berdamailah dengan keadaan. Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk belajar dari teladan Rasulullah SAW dalam membangun rekonsiliasi yang kokoh melalui pendekatan yang inklusif dan visioner. Seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dalam merumuskan Piagam Madinah atau Mitsaq al-Madinah.

Ketegangan di tengah masyarakat yang terpolarisasi, umpamanya, menjadi ladang subur bagi aktor-aktor yang memiliki kepentingan politik lain, termasuk kelompok transnasional yang menyebarkan ideologi khilafah Islam. Dalam konteks ini, media menjadi medan utama untuk memperebutkan dominasi wacana publik.

Dokumen itu tidak hanya berfungsi sebagai konstitusi pertama dalam Islam, tetapi juga sebagai simbol rekonsiliasi politik dan sosial yang berhasil mempersatukan berbagai kelompok masyarakat dengan latar belakang yang berbeda, termasuk Muslim, Yahudi, dan kaum pagan. Pendekatan Rasulullah SAW dalam menciptakan perdamaian dan harmoni melalui Piagam Madinah memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana membangun stabilitas di tengah perbedaan, yang relevan untuk diaplikasikan dalam konteks politik modern Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun