Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Formalisasi Agama, Kedangkalan Berpikir dan Pancasila

7 Juli 2024   11:18 Diperbarui: 7 Juli 2024   11:18 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keberagaman - jalandamai.org

Formalisme agama mungkin adalah virus sosial yang paling mematikan di dunia sekarang ini. Dalam artian, pemahaman beragama yang terjebak pada bentuk (form) semata, cenderung untuk tidak toleran terhadap perbedaan, bersikap fanatik dan radikal. 

Di negara yang menganut paham demokrasi seperti Indonesia, dimana rakyat bisa memilih langsung para wakil dan pimpinannya di pemerintahan, menjadikan formalisme agama amat mudah digunakan oleh kepentingan politik yang tidak jujur, guna menciptakan ketakutan dan perpecahan di tengah masyarakat. Agama digunakan untuk mengumpulkan suara rakyat demi mendukung calon tertentu sekaligus membenci calon lainnya. Mereka yang masih terjebak pada formalisme agama, akan dengan mudah tertipu.

Begitupun dalam kehidupan sosial dan beragama, ada beberapa fenomena, yang sering kita temui. Mulai dari hal yang kecil, sampai dengan hal yang kita anggap serius, bahkan bisa menyesatkan orang lain jika mempercayai pendapat mereka yang mem-formalisme agama. 

Mereka yang terjebak dalam formalisme agama tentu saja berpikiran dangkal, hanya menelan suatu informasi tanpa ada pemikiran kritis yang menggunakan akal dan pikirannya untuk mencerna informasi yang mereka terima, padahal informasi tersebut belum tentu valid.

Kita harus sadar bahwa kedangkalan berpikir itulah faktor penting yang mendukung penyebarluasan gerakan formalisasi agama sehingga menjadi gerakan yang masif. 

Selain itu faktor penting lainnya adalah bahwa nilai-nilai agama tidak terserap dengan baik dalam kehidupan penganutnya. Mereka tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh isi pengajaran agama yang mereka anut, hanya pasrah menerima pengetahuan dari tokoh agama panutannya saja. Kalau pas ketemu tokoh agama yang lurus sungguh beruntung.

Namun, saat ini kebanyakan orang berpanutan pada tokoh agama yang viral karena memang media belajarnya melalui internet (media sosial). Bukan berarti apa yang disampaikan tokoh agama yang viral itu salah, namun kita sebagai penuntut ilmu harus mempunyai dasar atau fondasi untuk tidak mengikuti tokoh agama yang menjelekkan pihak lain, yang hanya mengakui kebenaran dari apa yang dianutnya, tidak menerima masukan dan kritik membangun, berkata-kata kasar dan jauh dari akhlak Rasulullah SAW.

Yup, kita setidaknya bisa menjadikan akhlak Rasulullah SAW sebagai barometer untuk melihat tokoh agama panutan kita, semakin dekat adabnya kepada akhlak Rasulullah SAW maka semakin baik, semakin jauh dari akhlak Rasulullah SAW maka patut kita tinggalkan. 

Tetapi sekali lagi, untuk mempunyai dasar atau fondasi tersebut dibutuhkan akal dan pikiran untuk mengetahui bagaimana akhlak Rasulullah SAW. Jangan jadi orang yang sangat mudah menceletuk mengenai pendapat berbau agama, namun saat mendapat kritik, tidak terima. Ingat diatas langit masih ada langit. Perlu belajar lebih dalam agar dapat legowo menghadapi perbedaan yang ada. 

Satu lagi yang bisa jadi acuan kita adalah Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa dan negara ini, ia merupakan produk yang dihasilkan oleh para pendiri bangsa ini dan berkesesuaian dengan ajaran agama, tidak hanya satu ajaran agama. Sudah benyak pembahasan yang menjelaskan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, hanya mereka yang bebal saja tidak mau menerima. Mereka hanya berpikir apa yang mereka anut dan percayai yaitu sistem khilafah harus ditegakkan, menggantikan Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun