Toleransi sebenarnya bukanlah istilah yang baru buat kita. Dalam sejarah Indonesia, istilah toleransi selalu muncul. Terlebih Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Indonesia mempunyai banyak suku, dengan agama, budaya dan bahasa yang berbeda-beda.Â
Dan untuk bisa hidup berdampingan dalam keberagaman tersebut, diperlukan toleransi. Dimana antar sesama bisa saling menghargai, saling menghormati dan saling tolong menolong antar sesama, tanpa harus mempersoalkan latar belakang dan asal muasalnya.
Dalam perkembangannya, nilai-nilai toleransi ini memang mulai terkikis oleh paham dari luar. Tidak sedikit dari masyarakat yang menyerap paham atau ideologi dari luar, yang kemudian dipaksa diimplementasikan di Indonesia. akibatnya, ideologi luar tersebut berbenturan dengan budaya yang telah ada. Contoh, ketika sebagian masyarakat yang mengklaim dirinya beragama, selalu berteriak paham agama justru memunculkan konsep khilafah.Â
Padahal, konsep ini tidak diadopsi oleh negara Islam sendiri pun. Di Indonesia tidak mungkin diterapkan, karena harus didasarkan pada hukum Islam. Sementara Indonesia tidak hanya menganut agama Islam, tapi juga ada agama-agama yang lain.
Dengan adanya ideologi radikal yang terus menyuarakan khilafah, membuat toleransi yang ada di negeri ini menjadi terganggu. Mereka terus menyebarkan bibit radikalisme melalui kebencian, hoaks dan provokasi. Bibit negatif itu disebarkan secara masif melalui media sosial, yang membuat sebagian masyarakat terpapar radikalisme.Â
Sadar atau tidak, sebagian masyarakat gemar sekali menyalahkan tanpa data, gemar sekali menyalahkan karena merasa benar, bahkan gemar mengkafirkan karena merasa paling islami. Mereka itulah yang kemudian seringkali mengganggu nilai-nilai toleransi yang ada di negeri ini.
Saat ini pun, tanpa disadari banyak orang yang aktif menebar kebencian, provokasi dan hoaks. Tidak lagi berhubungan dengan radikalisme agama, tapi sudah menyebar ke isu yang lain. Bahkan dalam hal pertemanan saja, seseorang bisa saling bermusuhan hanya karena perbedaan pandangan.Â
Dalam konteks pandemi seperti sekarang ini, juga tak lupu dari provokasi, kebencian dan hoaks. Keputusan pemerintah untuk menutup sementara tempat publik termasuk tempat ibadah, sempat dimaknai tidak berpihak pada umat beragama. Padahal, tujuannya bukanlah seperti itu.
Output dari provokasi, ujaran kebencian dan hoaks ini adalah perilaku yang intoleran. Mereka jadi tidak lagi ada rasa saling menghargai, menghormati dan tolong menolong. Dalam konteks pandemi, karena tidak percaya dengan pemerintah, mereka tidak mau mematuhi protokol kesehatan.Â
Mereka seringkal menebar informasi yang menyesatkan, sampai masyarakat menolak di vaksin dengan berbaga alasan. Kini, ketika Indonesia memasuki gelombang kedua covid-19, mereka ramai-ramai menyalahkan pemerintah.
Mari kita introspeksi. Mari kita merenungkan dan mengakui segala kesalahan yang telah kita perbuat, baik itu yang disadari ataupun yang tidak. Jika kita sudah memahami kesalahan, saatnya hijrah meninggalkan aktifitas lama yang penuh dengan dosa. Saatnya meninggalkan praktek intoleransi menuju toleransi.Â
Karena hanya dengan toleransi, kita bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Karena keberagaman merupakan keniscayaan, tak perlu lagi mempersoalkan atau mempermasalahkan kenapa kita berbeda. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H