Dari tanggal 3-20 Juli 2021, pemerintah memberlakukan PPKM Darurat di seluruh Jawa dan Bali. Hal ini dilakukan untuk menekan angka penyebaran covid-19 di kedua wilayah ini. Karena setelah libur lebaran, angka kasus positif harian terus mengalami peningkatan. Bahkan puncaknya sempat mencapai lebih dari 38 ribu kasus per hari. Kondisi ini pun membuat rumah sakit kewalahan karena tidak sanggup lagi menampung banyaknya pasien covid-19.
Karena itulah pemerintah memberlakukan ppkm darurat, dengan harapan bisa menekan angka kasus positif covid-19. Dan salah satu yang dilakukan adalah melakukan serangkaian pembatasan di tempat-tempat publik, termasuk di tempat ibadah. Aktifitas peribadatan dialihkan di rumahnya masing-masing, sepanjang pemberlakuan ppkm darurat. Seperti tahun sebelumnya, kebijakan ini pun 'digoreng' oleh kelompok intoleran untuk menyerang pemerintah.
Kelompok intoleran seringkali memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Ketika semua orang kebingungan menghadapi covid, mereka justru sibuk menebar informasi menyesatkan. Ironisnya, informasi tersebut seringkali disusupi kebencian, agar masyarakat benci dengan pemerintah yang dianggap tidak becus dalam menangani pandemi. Ketika sentimen agama dimunculkan, kebencian itu akan mudah diarahkan pada perilaku-perilaku yang intoleran.
Dalam konteks pandemi ini, perilaku tersebut diarahkan pada hal-hal yang tidak patuh pada protokol kesehatan.Â
Kok bisa? Karena memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan air yang mengalir, menjauhi kerumunan bagian dari takut dari virus dan tidak takut pada Allah SWT. Dan menutup sementara tempat ibadah dimaknai sebagai sikap yang tidak takut pada Allah SWT.Â
Pandahan ini jelas salah dan tidak masuk akal. Protokol kesehatan merupakan ikhtiar kita untuk tidak terpapar, bukan karena takut pada virus atau melawan Allah SWT. Tolong menjadi pribadi yang cerdas.
Pandemi ini memang menuntut kita semua melakukan adaptasi, termasuk dalam aktifitas keagamaan. Pengajian yang dulu dilakukan dengan cara datang ke masjid, kini banyak dilakukan secara virtual. Para kyai ulama banyak mempunyai akun youtube atau media sosial lainnya, sebagai media untuk ceramah. Masyarakat juga bisa punya banyak pilihan, ingin mendengarkan ceramah bisa kapan saja dan dimana saja.
Lalu, adaptasi zaman ini apakah salah? Tentu tidak. Sepanjang tidak melanggar syariahnya, semuanya bisa dilakukan. Bahkan, penutupan sementara tempat ibadah pun juga tidak salah, sepanjang alasannya untuk menghindari penyebaran wabah. Karena di Arab Saudi pun, juga melakukan hal yang sama. Masjidil Haram sempat ditutup untuk aktifitas peribadahan. Ini artinya, di masa darurat seperti pandemi covid-19 ini, agama apapun memberikan toleransi dalam hal beribadah. Dalam Islam juga sama. Bahkan memberikan banyak kemudahan. Asalkan niatnya tetap beribadah kepada Allah SWT.
Memang kondisinya sangat dilematis saat ini. Karena virus menyebar melalui aktifitas manusia. Jika kita masuk dalam kategori orang tanpa gejala (OTG), maka orang-orang yang ada disekitar kita yang imunnya rendah, bisa berpotensi terpapar.Â
Menjaga keselamatan jiwa jauh lebih utama. Menjalankan ibadah juga penting, tapi jika tanpa kita sadari kita masuk dalam kategori OTG dan menularkan ke orang lain, itu yang berbahaya.Â
Karena itu, mari kita saling mengendalikan diri, saling introspeksi, dan tetap mengedepankan protokol kesehatan. Tak perlu mempersoalkan adaptasi yang ada, karena nyatanya kita harus beradaptasi di masa pandemi ini.