Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hentikan, Narasi Provokasi Hanya Berujung Anarki

11 Oktober 2020   07:34 Diperbarui: 11 Oktober 2020   07:38 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia Damai, jalandamai.org

 Kebebasan berekspresi di era demokrasi ini, memang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berpendapat dan berekspesi di ruang publik. Sebuah kondisi yang mungkin sulit terjadi di era represesi dulu. 

Paska reformasi, negara memang menjamin kebebasan tersebut. Namun bukan berarti bebas harus sebebas-bebasnya. Semuanya harus tetap dilandaskan pada etika sopan santun, tetap harus dilandaskan pada aturan hukum yang ada.

Sebelum ada UU ITE, cacian makian bisa semaunya dimunculkan di media sosial. Akibatnya masyarakat yang terpancing emosinya, berujung pada tindakan anarki. Merusak, membakar, memukul dan segala macamnya. 

Ketika UU ITE disahkan, apakah narasi provokasi dan kebencian berhenti? Nyatanya tidak. Kelompok radikal masih terus menebarkan provokasi dan narasi kebencian dengan mengatasnamakan agama. 

Kelompok oposisi terus menyebarkan provokasi dan kebencian atas segala kebijakan pemerintah. Di level bawah, masyarakat yang tidak membekali dirinya dengan literasi, tanpa disadari menjadi korban tapi ikut menyebarkan provokasi, melalui sharing tanpa saring terlebih dulu.

Ironisnya, kejadian menebarkan provokasi dan kebencian ini seakan menjadi kebiasaan yang sulit hilang. Dalam kondisi apapun provokasi masih tetap saja ada. Masih ingat ketika terjadi banjir, gempa atau bencana alam? Provokasi masih tetap ada. 

Ketika tahun politik, provokasi semakin masif. Di awal pandemi hingga saat ini, provokasi dan hoaks masih terus dimunculkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. 

Diluar itu semua, ada pihak-pihak yang juga masih memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, dengan tetap menebarkan bibit radikalisme dan intoleransi di media sosial.

Kemarin, ketika aksi unjuk rasa menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, berujung pada perusakan dan pembakaran fasilitas umum. Pemerintah mengklaim itu karena adanya disinformasi di publik. 

Sementara pihak demonstran merasa bukan mereka yang melakukan. Muncullah statement ada pihak-pihak yang memanfaatkan dan mendanai. Selalu berulang, berulang, dan berulang terus. 

Aksi 212 yang berujung rusuh di depan kantor Bawaslu beberapa tahun lalu, jika seperti ini. Akhirnya semua saling lempar pernyataan dan tanggung jawab. Dan kita, sebagai masyarakat bisa apa?

Karena itu, mari hentikan segala bentuk provokasi dan ujaran kebencian atas nama apapun. Mari hentikan, karena yang diuntungkan hanyalah mereka yang memanfaatkan kepentingan ini. 

Sedangkan kita sebagai masyarakat sama sekali tidak pernah diuntungkan. Yang ada masyarakat justru dirugikan. Mimpi apa pemilik restoran yang tempatnya dibakar karena amuk demonstran? 

Salah apa halte busway yang dibakar? Salah apa sepeda-sepeda yang bisa dimanfaatkan oleh semua orang dibakar? Mari kita introspeksi. Semoga kita selalu bisa belajar dari sejarah masa lalu. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun