Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengedepankan Salam Perdamaian, Bukan Salam Pemecah Belah

1 Maret 2020   08:00 Diperbarui: 1 Maret 2020   08:02 1945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam adalah merupakan bagian dari budaya kita dalam berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Salam juga merupakan budaya kita dalam menghargai keberagaman adat dan budaya yang ada di negeri Indonesia. Jika kita datang ke sebuah daerah baru, tentu kita akan mempelajari berbagai budaya dan adat istiadat yang ada. Termasuk diantaranya salam ketika bertemu.

Perkembangan salam ini pun juga terus berkembang mengikuti dinamika zaman. Para pemimpin negeri ini pun juga mempunyai salam yang berbeda-beda. Di masa kemerdekaan, salam diucapkan dengan salam merdeka. Setiap mengawali pidato, membuka rapat, atau bertemu diluar, rata-rata selalu mengucapkan kata 'merdeka.'

Saat ini, presiden Joko Widodo seringkali mengucapkan salam dengan 'assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.' Ucapan salam yang ditujukan ke umat muslim ini, kemudian dilanjutkan 'salam sejahtera untuk kita semua, 'shalom', 'om swastiastu', 'namo buddhaya', 'salam kebajikan'. Salam-salam terssebut merupakan salam keagamaan yang ada di Indonesia. Karena di Indonesia tidak hanya menganut agama Islam, tapi juga ada Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Tradisi mengucapkan lima salam sekaligus ini, mencerminkan bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk.

Diluar salam keagamaan, ada juga salam yang sering diucapkan oleh masyarakat yang mencerminkan budaya lokal. Di Jawa Barat misalnya, 'sampurasun' merupakan salam khas masyarakat Jawa Barat dan tidak ada di daerah lain.

Beberapa waktu lalu, kepala BPIP, Yudian Wahyudi mengeluarkan statement yang membuat polemik di dunia maya. Salam assalamualaikum akan diganti dengan salam Pancasila. Tujuannya untuk menghormati agama dan etnis yang lain. Usulan ini pun langsung mendapat reaksi pro dan kontra. Usulan tersebut dianggap mereduksi realitas sosial dan keagamaan yang telah ada.

Di era tahun 1980 an, Gus Dur pernah mengusulkan agar lebih baik mengucapkan selamat pagi, siang, sore atau malam yang dianggap lebih netral. "Selama ini kan Islam di Indonesia terlalu melihat kepada Timur Tengah. Sebagai contoh kalau dulu kita membangun masjid harus memakai kubah. Padahal bangsa kita sudah memiliki bentuk arsitektur yang lebih sesuai dengan budayanya sendiri dan mengandung makna yang mendalam. Lalu tentang ucapan assalamu'alaikum,kenapa kita merasa bersalah kalau tidak mengucapkan assalamu'alaikum. Bukankah ucapan itu bisa saja kita ganti saja dengan selamat pagi atau apa kabar, misalnya..., kata Gus Dur ketika itu.

 Salam merupakan bagian dari budaya kita. Salam Pancasila bisa jadi merupakan jalan tengah saat ini. Sama halnya dengan salam merdeka yang sering diucapkan ketika era kemerdekaan. Apalagi dasar negara dan sistem demokrasi kita berdasarkan pada nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila. Dan nilai-nilai Pancasila pada dasarnya nilai-nilai yang lahir dari budaya lokal masyarakat Indonesia sendiri. Lalu apa ada yang salah jika ada usulan tentang salam Pancasila? Yang perlu kita ingat adalah, salam apapun itu merupakan simbol perdamaian dan persatuan. Karena pada dasarnya salam yang ada di negeri ini adalah doa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun