Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jagalah, Keluarga Benteng Anak dari Pengaruh Radikalisme

27 Juli 2019   20:34 Diperbarui: 27 Juli 2019   20:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lawan Radikalisme - www.idntimes.com

Mungkin banyak orang tak percaya, kalau anak-anak bisa terpapar radikalisme. Mungkin banyak orang tidak percaya, apa benar anak-anak berani melakukan tindakan teror atau perilaku radikal? Mari kita lihat dalam beberapa tahun kebelakang. Pelaku terorisme banyak didominasi remaja.

Pelaku penyebaran ujaran kebencian juga banyak didominasi kalangan anak muda. Dan pelaku persekusi, umumnya juga didominasi anak-anak muda.

Apa artinya? Para generasi penerus yang semestinya melakuan perilaku yang positif, justru menunjukkan perilaku yang tidak semestinya dilakukan.

Disinilah perlu peran keluarga, untuk bisa memberikan pendidikan karakter yang tepat. Keluarga harus bisa menjadi tempat bermain, sekolah, sekaligus tempat untuk berkeluh kesah, ataupun tempat menyampaikan ekspresi.

Keluarga tidak boleh menjadi tempat yang menjemukan, apalagi menyeramkan bagi anak. Jika keluarga tidak bisa menjalankan fungsinya, anak akan mencari pelarian diluar. Pada saat inilah, anak bisa menyerap informasi yang menyesatkan. Anak juga bisa masuk ke dalam kelompok-kelompok yang tidak baik.

Orang tua tidak hanya membesarkan fisik anak, tapi juga harus mampu memberikan pendidikan yang berkualitas, yang berkarakter dengan nilai-nilai keindonesiaan.

Kemajuan teknologi harus diarahkan untuk pembentukan karakter anak, yang sesuai dengan adat dan budayanya. Jangan terlalu membatasi anak untuk tidak boleh bermain internet. Jika pengawasan berjalan, dan batas-batas tidak dilanggar, anak akan bisa menyebarap informasi yang mereka butuhkan.

Lingkungan keluarga juga harus bisa mendorong anak bisa menjadi pribadi yang kritis. Kritis disini bukan bermaksud untuk melawan orang tua, tapi kritis untuk aktif bertanya terhadap segala informasi yang dia terima.

Dengan adanya sikap kritis, anak tidak akan mudah percaya, dan selalu mempertanyakan informasi yang dia serap, untuk memastikan bahwa informasi tersebut benar. Sikap kritis ini juga akan memperkuat budaya literasi pada diri anak tersebut.

Sehingga, anak akan mempunyai filter yang sangat kuat, agar paham-paham menyesatkan tidak bisa masuk ke dalam dirinya.

Semuanya itu bisa terjadi, jika keluarga bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak. Karena pendidikan anak setelah lahir adalah keluarga.

Kasih sayang ibu dan ayah juga menjadi kunci, agar anak bisa tumbuh menjadi anak yang toleran, yang mengecepankan rasa saling menghargai dan tolong menolong antar sesama.

Selain kasih sayang, orang tua juga harus bisa memberikan pemahaman ilmu agama yang benar, agar anak tidak keluar dari ajaran agama.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah, orang tua juga harus bisa memberikan pemahaman tentang nilai kearifan lokal, agar anak tidak tersesat dikemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun