Indonesia adalah negara yang beragam. Keragaman Indonesia sudah ada sejak sebelum negara ini ada. Berbagai suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua, mempunyai adat istiadat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dan sejak adanya Indonesia, suku-suku itu tetap bisa hidup berdampingan satu dengan yang lain, dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.Â
Toleransi dan sikap saling menghargai, menghormati dan tolong menolong, merupakan sikap yang melekat dari masing-masing suku tersebut. Karena memang begitulah karakter masyarakat Indonesia. Wajar jika keramahan masyarakat Indonesia dikenal hingga ke pelosok negeri. Banyak wisatawan yang datang pun salah satunya karena keramahan masyarakat Indonesia.
Namun, keramahan itu nampaknya mulai terganggu dengan menguatnya bibit radikalisme di sebagian masyarakat. Radikalisme telah menutup logika sebagai manusia. Seseorang yang telah terpapar bibit radikal, merasa dirinya paling benar dan melihat orang lain sebagai pihak yang salah. Radikalisme juga telah membuat keramahan terus memudar, seiring meningkatnya amarah dalam diri seseorang. Radikalisme telah menguatkan bibit kebencian antar sesama. Dan hal itulah yang sering kita lihat saat ini.
Pekan kemarin, bibit radikalisme itu begitu nyata terlihat dalam aksi menentang hasil pilpres. Sekelompok orang yang menggelar aksi damai di depan kantor badan pengawas pemilu (bawaslu), disusupi oleh sekelompok orang yang tidak menginginkan Indonesia damai. Sebelumnya, kepolisian telah mengingatkan bahwa aksi 22 Mei menolak hasil pilpres, berpotensi disusupi oleh kelompok teroris dan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.Â
Himbauan ini nampaknya tidak begitu digubris. Provokasi, ujaran kebencian dan hoaks terus bertebaran di dunia maya. Hasilnya, aksi 22 Mei tetap terjadi dengan berbagai penyusup di dalamnya. Hanya karena termakan provokasi pihak-pihak tak bertanggung jawab, aksi berujung rusuh itu tidak hanya merusak tatanan demokrasi, tapi juga terus menyuburkan bibit radikalisme yang bisa merusak persatuan dan kesatuan.
Bulan Ramadan nampaknya tidak cukup menyurutkan sebagian masyarakat untuk saling mengendalikan diri. Beberapa elit politik masih saja terus menebar pernyataan yang provokatif.Â
Saling menyalakan tanpa mencari solusi yang terbaik. Sementara di level masyarakat, masih terus menggunakan kacamata kuda. Karena sudah termakan provokasi, logika tidak lagi berlaku. Sekali salah tetap salah. Padahal mereka tidak sadar bahwa selama ini telah menjadi  korban provokasi.
Mari kita introspeksi. Kita adalah Indonesia dan Indonesia adalah kita. Jika para pendahulu bisa saling berdampingan dalam keragaman, kenapa di era yang serba modern ini ada sebagian orang yang  tidak bisa?
 Jika semangat bhineka tunggal ika bisa menyatukan keragaman dalam mengusir penjajah, kenapa sekarang tidak bisa? Jika bersatu lebih baik kenapa harus saling tercerai berai hanya karena perbedaan latar belakang? Mari kita saling bergandengan tangan. Mari kita saling menjaga Indonesia yang damai ini, agar tetap menjadi negeri yang harmonis dalam keragaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H