Pernah mendengar aksi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla  pada tahun 1981 ? Pembajak akhirnya dilumpuhkan oleh pasukan khusus (Kopassus) di bandara Don Muang -- Bangkok, Thailand.
Pelakunya dua orang yaitu Salman Hafidz dan Imran bin Muhammad Zein. Yang membuat banyak orang terkejut adalah Salman Hafidz adalah lelaki kelahiran Sumobito Jombang. Kabar itu serta merta mengguncang Jombang saat itu.
Jombang selama ini dikenal sebagai kota yang toleran. Â Kota itu dikenal sebagai kota tinggal para pendiri Nahdatul Ulama (NU) penuh dengan keberagaman. NU bukan semata-mata organisasi kemasyarakatan berhaluan Islam ala ahlussunnah wal jamaah (aswaja), tapi lebih dari itu dia adalah semacam Cultural Heritage. Warisan budaya yang harus dilestarikan.
Faham dan aksi radikalisme juga terorisme sama sekali tidak pernah dikenal dan tidak mendapat tempat pada haluan ahlussunnah wal jamaah. Itu diajarkan dan kemudian dipegang kuat-kuat oleh para pengikut NU yang didirikan oleh Hadhratussyeikh, KH Hasyim Asyari.
Ajaran ketuhanan dari sisi teologis atau akidah yang dirumuskan Abu Hasan Al Asyari dan Abu Musa Maturidi menempatkan manusia sebagai mahkluk yang lemah , tidak memiliki kekuatan memaksa atau menghakimi orang lain.
Teori ini mengajarkan larangan memaksakan kehendak kepada pihak lain , karena pada hakikatnya kuasa dan kehendak (qudrat-iradat) Â hanyalah milik Allah SWT. Jadi bisa dipastikan seorang ahlussunnah wal jamaah tidak akan terlibat dalam radikalisme dan terorisme.
Selain itu para penganut ahlussunnah wal jamaah terbiasa dengan keberagaman atau perbedaan pandangan . Jadi pluralisme adalah salah satu hal yang tak asing bagi mereka. Ini berbeda dengan faham mono seperti yang sering pegang teguh oleh para radikal.
Ajaran tasawwuf yang didirikan dan dikembangkan oleh Hujjatul Islam Muhammad Al Ghazali dan Junaid Al Baghdadi mendidik kerendahan hati dan tidak merasa lebih terhormat atau lebih suci dari pihak lain.
Dari deskripsi di atas kita mendapat gambaran bahwa sebuah kota yang memahami dan meyakini nilai-nilai toleransi juga tidak lepas dari gempuran faham radikal yang berasal dari pihak lain. Lebih lanjut lagi, negara kita yang dikenal sebagai negara beridiologi Pancasila yang mengakui adanya beragaman suku bangsa, agama, adat dst, juga tak lepas dari ancaman radikalisme dan intoleransi.
Karena itu, perlu bagi masing --masing personal maupun keluarga menghindarkan diri dari pafam radikalisme dan intoleransi dengan medeteksi secara diri masuknya faham radikal dan terorisme dengan  berpedoman pada tiga komponen ahlusunnah wal jamaahyaitu akidah, ubudiah dan akhlak. Tiga komponen itu kita terapkan pada keseharian kita dan anggota keluarga. Dengan begitu insya Allah kita bisa terhindar dari faham yang tidak kita kehendaki bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H