Direktur Institute for Policy Analysis of Conflic (IPAC) Sidney Jones, pernah mengingatkan, meskipun isu ISIS di Indonesia tidak sekencang di negara Islam lainnya seperti di Timur Tengah, faktanya banyak warga Indonesia yang tertarik untuk bergabung dengan kelompok ini.
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, di sebuah media massa menyatakan, hingga saat ini sebanyak 300 orang Warga Negara Indonesia, yang terlibat dengan Islamic Syria and Iraq State (ISIS). Tidak hanya itu, 18 ormasi Islam yang ada di masyarakat saat ini, juga terindikasi kuat menjadi kepanjangan tangan dari ISIS.
Di penghujung tahun 2015, Kepala BIN Sutiyoso sempat mengingatkan, setidaknya ada sekitar 100 orang warga negara Indonesia, yang diduga merupakan kelompok radikal yang baru saja pulang dari Suriah. Entah ini ada hubungannya atau tidak, tak lama setelah peringatan itu, muncul tragedi bom di Jakarta.
Kini tragedi itu telah berlalu. Tapi bukan berarti tindakan teror ini berhenti. Kita harus tetap mewaspadai benih-benih radikal, yang bisa mengarah pada tindak teroris. Benih benih radikal memang tidak pernah mati gaya. Meski banyak terduga teroris yang ditangkap, paham-paham radikal masih terus ada di sekitar masyarakat.
Beberapa pandangan menyatakan, benih radikalisme muncul dipengaruhi oleh faktor ekonomi, seperti pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, serta faktor ketidakadilan. Namun, akhir akhir ini yang sering terjadi justru radikalisme agama. Kesalahan dalam menafsirkan suatu ajaran, diduga menjadi salah satu penyebab maraknya radikalisme agama. Akhirnya, yang terjadi adalah sikap merasa benar sendiri.
Lalu, dimana saja benih-benih radikal itu muncul? Asal tahu saja ya…benih radikalisme ini bisa muncul dimana saja. Bisa jadi dari keluarga, kampus, bahkan tempat ibadah sekalipun. Kini, seiring dengan perkembangan teknologi, benih radikalisme juga mulai menjamur di dunia maya.
Dari hasil browsing yang saya lakukan, berdasarkan penelitian BNPT dan The Nusa Institute pada 2011, pemahaman keagamaan masyarakat kita ternyata berada pada tingkat ‘waspada terhadap radikalisme’, sebesar 63 %. Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan, pengurus masjid dan sekolah madrasah, menjadi kelompok yang memilik tingkat bahaya paling tinggi, sekitar 15,4 %.
Dalam penelitian yang dilakukan Center for Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2008 – 2009, trend perkembangan paham radikalisme banyak yang menggunakan masjid, sebagai media penyebaran. Survei yang dilakukan Lazuardi Birru dan LSI pada 2011 menguatkan temuan CSRC. Bahwa lebih dari separoh masjid di Jabodetabek, pernah melakukan tindakan radikal (50,95 %), sementara 20,09 % menyatakan bersedia melakukan, dan hanya 28,95 % menyatakan belum pernah melakukan.
Temuan ini tentu membuat kita miris. Saat ini sudah memasuki tahun 2016. Bisa jadi angka itu telah berkurang, atau bisa jadi semakin parah. Tentunya, waspada terhadap benih-benih radikalisme tetap harus terus dilakukan. Jangan sampai, anak-anak kita salah pergaulan, dan tumbuh menjadi seseorang yang radikal. Ingat, hampir semua pelaku bom bunuh diri, atau yang melakukan tindak pidana terorisme, rata-rata anak muda. Bahkan, pelaku peledakan bom JW Marriot pada 2012 lalu, masih berusia 18 tahun.
Apakah kita tetap akan santai-santai saja? Radikalisme dan terorisme, selalu mengikuti tren yang berkembang, alias tidak pernah mati gaya. Jangan sampai, negara kita Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, akan menjadi ‘pasar’ untuk menyebarkan dan melahirkan benih-benih radikalisme. Lawan terus terorisme. Lawan terus radikalisme agama.
Â