Dalam sejarah Kerajaan Islam Songhay, ada kisah pilu penuh fitnah. Akiya Musa, melakukan pemberontakan dan mengambil alih kekuasaan ayahnya Askiya al-Hajj Muhammad.
Setelahnya membunuhi saudaranya karena ketakutan, munculnya isu beberapa orang ingin menggulingkan Askiya Musa, termasuk Kurmina-fari Uthman Yawbabo yang pergi mengungsi ke Tindirma. Singkat cerita akhirnya Kurmina-Fari Uthman Yawbabo benar-benar melakukan pemberontakan setelah dipengaruhi penyanyi istananya (griot). Maka bersiaplah Askiya Musa, membawa pasukan ke Tindirma.
Diceritakan, ketika mendekati Timbuktu, Askiya bertemu Syaikh Al-Islam ahli fiqih Abu – I – Barakat Mahmud b. Umar. Syaikh sengaja keluar dari Timbuktu untuk mendamaikan antara Askiya Musa dan saudaranya Kurmina-Fari Uthman Yawbabo. Ketika keduanya duduk bersama, sang qadhi berbalik dan menolak duduk berhadapan dengan Askiya Musa. Lalu Askiya bertanya mengapa? Syaikh menjawab “Aku tidak akan melihat wajah seseorang yang menggulingkan Amirul.”
Dalam Islam, memberontak terhadap Khalifah/pemimpin muslim/amirul mukmin merupakan tindakan tercela. Menyalin artikel yang ditulis Ustad Yahya Abdurrahman dalam website http://hizbut-tahrir.or.id/2013/03/31/bughat/
–00–
Bughat
Secara bahasa, bughât adalah bentuk jamak al-bâghi, berasal dari kata baghâ, yabghî, baghyan-bughyat[an]-bughâ’[an]. Kata baghâ bermakna thalaba (mencari, menuntut), zhalama (berbuat zalim), i’tadâ/tajâwaza al-had (melampaui batas), kadzaba (berbohong), ‘alâ (sombong), ‘adala ‘an al-haqq (menyimpang dari kebenaran) (Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, 1972, hlm. 64-65; Munawwir, Kamus al-Munawwir, 1997, hal. 98; ash-Shan’ani, Subul as-Salam, hlm. 257, Maktabah Dahlan).
Jadi, secara bahasa, al-bâghi (dengan bentuk jamaknya al-bughât), artinya azh-zhâlim (orang yang berbuat zalim), al-mu’tadî (orang yang melampaui batas), atau azh-zhâlim al-musta’lî (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri).
Secara syar’i, yang disebut orang yang melakukan bughât adalah orang-orang yang keluar menentang Daulah Islamiyah, dan mereka memiliki kekuatan. Artinya, mereka adalah orang yang membangkang dan tidak mau taat pada Daulah, menghunus senjata melawan Daulah dan mengumumkan perang terhadap Daulah. Dalam hal ini tidak ada bedanya apakah pembangkangan itu karena kepentingan dunia atau karena adanya takwil atau mereka memiliki syubhah dalil; semuanya merupakan bughat selama mereka memerangi kekuasaan Islam (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqubât, hlm. 41).
Muhammad Khair Haikal dalam bukunya Al-Jihâd wa al-Qitâl (Dar al-Bayariq, hlm. 63) menjelaskan bahwa orang-orang yang melakukan bughat pada mereka harus ada tiga hal:
1. Membangkang terhadap kekuasaan Daulah dengan tidak mau menunaikan hak negara, tidak mau menaati perundang-undangan atau berusaha untuk mendongkel kepala negara (Khalifah).
2. Memiliki kekuatan yang memungkinkan mereka untuk mengontrol (as-saytharah).
3. Melakukan khuruj, yakni penentangan, yaitu yang dalam ungkapan sekarang adalah revolusi bersenjata, perang sipil, perang dalam negeri, menggunakan senjata atau kekerasan untuk meraih tujuan politik yang menjadi alasan dilakukannya revolusi.
Deskripsi tersebut dijelaskan dalam al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Nas utama tentang bughât adalah firman Allah SWT:
Jika dua golongan dari orang-orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali pada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (TQS al-Hujurat [49]: 9)