Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fath al-Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘membangkang kepada Imam’ secara sharih. Akan tetapi, ayat tersebut telah mencakup hal tersebut berdasarkan keumuman maknanya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab, jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan terhadap Imam tentu lebih dituntut lagi.”
Rasul saw. dengan jelas menyatakan tercelanya tindakan membangkang kepada Imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Nabi saw. bersabda:
“Siapa saja yang memisahkan diri dari Jamaah dan keluar dari ketaatan (kepada Khalifah) lalu ia mati, maka matinya adalah mati Jahiliah.” (HR Ahmad dari Abu Hurairah ra.).
Pembangkangan kepada Imam itu tidak harus dalam bentuk mereka memulai terlebih dulu angkat senjata. Itulah yang menjadi Ijmak Sahabat dalam kasus pembangkangan sekelompok orang Arab untuk menunaikan zakat kepada Khalifah Abu Bakar ra. Khalifah Abu Bakar ra. pernah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat karena kebakhilan mereka, atau karena syubhat anggapan mereka bahwa mereka tidak wajib bayar zakat kecuali kepada orang yang doanya membuat mereka tenteram yaitu Nabi saw., sedangkan beliau sudah wafat sehingga mereka tidak harus membayar zakat.
Terkait ini, Imam asy-Syafii di dalam Al-Umm (II/215) menyatakan, “Siapa saja yang tidak mau menunaikan apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT, sementara Imam tidak mampu mengambilnya karena pembangkangan mereka, maka Imam harus memerangi mereka…Jika membangkang menunaikannya atau yang lain dengan berkelompok (jamaah) dan jika dikatakan kepada mereka, ‘Tunaikan ini!’ Lalu mereka menjawab, ‘Saya tidak akan menunaikannya, dan saya tidak akan memulai perang kecuali kamu memerangi saya,’ maka mereka diperangi. Sebab, tidak lain dia diperangi atas pembangkangan dari hak (kewajiban) yang wajib ditunaikan.”
Yang dimaksud dengan Imam, Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra’is ad-Dawlah al-Islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya…” (Tasyrî’ al-Jinâ`i, II/676).
Dengan demikian pembangkangan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, perdana menteri dalam sistem parlementer, tidak dapat disebut bughât, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Orang-orang yang melakukan bughât itu harus mempunyai kekuatan yang memungkinkan mereka untuk mendominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali taat, Khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, II/197). Kekuatan itu bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, IV/111). Itu artinya, kekuatan itu terwujud ketika mereka yang melakukan bughât itu berkelompok sebagai tha’ifah.
Hal itu ditegaskan dalam QS al-Hujurat ayat 9, pada frasa “wa in thâ’ifatâni”. Kata thâ’ifah artinya adalah al-jama’ah (kelompok) dan al-firqah (golongan) (Anis, Al-Mu’jam al-Wasith, hlm. 571). Ayat tersebut menggunakan kata syarat “in” yang memberikan pengertian jika bukan tha’ifah maka tidak bisa diberlakukan keseluruhan hukum dalam ayat ini. Karena itu istilah bughât tidak bisa diberlakukan terhadap individu. Taqiyuddin al-Husaini mengatakan, “Jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afrâdan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughât.” (Kifayah al-Akhyar, II/198).
Adapun tentang al-khurûj (penentangan) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya, dasarnya adalah frasa “iqtatalû” (kedua golongan itu berperang) dalam QS al-Hujurat ayat 9. Ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silâh). Selain itu Nabi saw. juga bersabda :
“Siapa saja yang membawa senjata untuk memerangi kami maka ia bukanlah golongan kami” (Muttafaqun ‘alayh).
Dengan semua uraian di atas, maka bughât adalah pembangkangan terhadap Khalifah atau Daulah Islam yang dilakukan secara berkelompok oleh suatu kelompok (tha’ifah atau jamaah) dengan bermodalkan kekuatan, termasuk senjata. Tetap disebut bughât meski kelompok pembangkang itu belum secara riil menggunakan senjata atau belum memulai perang menentang negara, seperti yang terjadi dalam kasus pembangkangan untuk membayar zakat pada masa Abu Bakar ra. Mereka membangkang untuk membayar zakat di antaranya karena mereka merasa memiliki kekuatan karena jumlah mereka dan senjata mereka.
Menangani Bughât
Ayat di atas telah menyatakan bahwa hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali pada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada Khalifah atau negara dan menghentikan pembangkangan mereka. Namun, sebelum sampai kepada perang tersebut, Imam atau Khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari Negara. Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan. Jika mereka mengklaim suatu syubhat maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan. Jika mereka menilai apa yang dilakukan oleh Khalifah (Negara) menyalahi kebenaran atau syariah, padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan dan kebijakan Khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta harus ditampakkan kebenarannya. Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap cukup. Jika mereka yang melakukan bughât itu tetap dalam pembangkangan, maka mereka diperangi agar kembali taat. Namun harus diingat, perang terhadap mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran (qitâl at-ta’dîb) bukan perang untuk memusnahkan. Perang terhadap mereka bukan merupakan jihad. Jadi harta mereka bukan fa’i dan tidak boleh dirampas dan dibagi-bagi. Mereka yang tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan, melainkan diperlakukan sebagai pelaku kriminal. Wanita dan anak-anak mereka yang turut di medan perang tidak boleh dijadikan sabi.
–00–