“bahasakah yang ada dalam mesin percetakan
atau aku dalam mesin bahasa?”
(mesin percetakan orang-ketiga, hal 17)
Skeptisisme Malna yang akut terhadap “tata bahasa” memuncak pada sebentuk atom-filosofis bernama “mitos mimesis” yang saya kira adalah judul terampuh dalam kumpulan karya terbarunya: berlin proposal. Puisi yang kemungkinan tak menarik bagi pembaca yang jarang menggunakan otaknya untuk kegunaan non-finasial itu, atau pembaca yang di dalam dirinya tak mengemban keperluan me-refresh pergulatan hidup melalui kesusastraan, merupakan rangkuman yang sangat padat atas keseluruhan inisiatif sang penyair dari buku-buku sebelumnya berkait dengan menghilangnya semacam “suasana fenomenologis” dari sebuah teks.
Agaknya, bagi Malna, “tata bahasa” telah jadi perangkat penunjang otoritarian dari rezim pemaknaan yang berdampak pada menjauhnya teks dari peranannya sebagai rahim yang melahirkan “pembaca”—dan bukan alamat pendistribusian definisi atas “korban” dan “kuasa” yang kebal dari gugatan. Bahasa dalam jerat sistemik tertentu dipandang sebagai biang-kerok yang menjadikan kata sebagai antek (atau “agen-didaktik”) yang memustahilkan peluang tergapainya sebuah “pemahaman” yang selanjutnya, tentu saja, meniadakan keterbentukan otoritas ke-diri-an pula ke-ber-diri-an, aku-massa dan identitas-ruang.
Pada akhirnya, kesejatian meyakini sesuatu tak pernah terlebih dahulu melalui prosedur pergulatan. “Pembaca” hanya jadi kata yang terkelupas dari definisi-murninya sendiri: jadi sejenis ternak pemakan makna-makna berformalin. Kerja memahami lalu terjerumus pada “perjuangan melaksanaan instruksi-instruksi” yang seringkali menghasilkan residu banalitas, atau memberikan efek samping berupa kian melemahnya kemampuan dalam mengurai perkara dan memahami kompleksitas.
Di konteks itulah, Malna tampak sebagai pengemban gema dari politik wacana yang pernah diajukan Sutardji Calzoum Bachri pada waktu yang lebih lampau, 30 Maret 1973: “pembebasan kata dari beban dogmatiknya” —dengan sedikit improvisasi, mutatif. Bila Tardji mendekatkan puisinya pada seni pertunjukan: kata-mencari-bunyi-menjadi-mantera-untuk-meraih-keberartian-fonologisnya, Malna mendekatkan puisinya pada seni rupa: semacam kubisme-pemeristiwaan yang surealistik, terkesan mewarisi prosa tanpa plot, seolah-olah ingin mengejar keserentakan melalui sebentuk instalasi keheningan yang heboh. Proses mutasi itu bertunas dari “pengerusakan kata” menuju “pengerusakan sintaksis”, dari “mengembalikan bunyi pada getarnya” menuju “mengembalikan peristiwa pada geraknya”. Sebuah upaya yang Malna sebut sebagai “penjernihan untuk menata kembali bayangan makna ke dalam kata, seperti menyusun barang-barang bekas di tempat yang lain.” (catatan moabit, hal 9)
“dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata, saya biarkan bebas. dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mundar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan diri sendirinya dengan bebas, saling bertentangan satu sama lainnya karena mereka bebas semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya menolak dan berontak terhadap pengertian yang dibebankan kepadanya.” — Kredo Puisi, Sutardji Calzoum Bachri.
Dengan gampang, akan kita temukan keheranan dalam berlin proposal. Seperti biasa, seperti yang ditawarkannya dalam buku-buku puisi sebelumnya. Dengan hadirnya keheranan itu, apa yang saya sebut dengan “suasana fenomenologis” terasa kembali. Dan kata-kata, diam-diam, terlupakan. Pembaca tertaruh dirinya di area “pra-pemahaman” sebelum akhirnya terpredikasi dalam jalinan “subjek-objek” yang senantiasa politis dan tentu tak setara. Di sanalah “eksistensialisme -ketiadaan” menyusun semacam agenda “ke-ber-ada-an” yang mungkin, hmm, ya, “organik”. Atau, emm, apa ya? Dalam istilah yang lebih populer, tapi taklah tepat menggantikannya: semacam “arbitrer”-lah.
Puisi-Puisi Malna menawarkan “cara membaca” yang membebaskan pembaca dari perangkap kertas dan simpulan-simpulan solid, atau tidak menjadikannya “yang terus dicetak tanpa dirinya/ setelah Z” (mesin percetakan orang-ketika, hal 17), kemudian mengembalikan pembaca kepada habitat keheranan di dalam ruang; membuat peranan benda-benda di sekitar kehidupan kita sehari-hari terdefinisi-ulang secara indie.
Cara itulah yang mau tak mau harus ditempuh demi menghindarkan tubuh dari kevakuman kata-kerja kebudayaan, atau yang dalam buku puisi sebelumnya, ia sebut sebagai metafora “Museum Penghancur Dokumen”. Benda-benda yang berputar dalam kosmos urban dan kapitalisme telah disuntik dengan pemaknaan silikon sebagaimana kata dalam jerat “tata-bahasa”; alur naming tertukar—dan benda-benda tersebut nyaris selalu terlepas dari diagnosa alur sosiologis massa pemakainya. Apa “smartphone” sebelum kata “smartphone”? Apa “facebook” tanpa kata “facebook”? Selama ini, relasi kita dengan material ruang yang baru tidak lebih dari realisasi sebuah tips. Kehadiran “benda-benda asing” itu gagal membangkitkan keheranan kita; dan kota terus me-produksi kata (benda) untuk meresmikan pengucapnya sebagai budak dalam sirkuit pemeristiwaannya (kata kerja). Malna, membangun “ruang tunggu darurat” untuk berhenti dan melihat lalu-lintas “kematian-aku” yang mengubah tubuh menjadi keranda bagi dirinya sendiri.
- Malna seakan ingin menumbuhkan lumut pada puisinya. Lumut sebelum kata lumut.
Afrizal tidak menambang kata dalam kamus-kamus dan buku-buku antropologi. Bahkan, puisinya yang mengupasi etnografi, tidak terjerembab menjadi “sajak-sajak antik” yang bergenit-genit di depan cermin sejarah. Idiom-Idiom etnikal yang terpakai dalam puisinya berletak pada pemeristiwaan kontemporer yang menguatkan gejala dan mengelupasi nostalgia. Kebermunculan diksi-puisi tak lumrah adalah kesetiaan pada gerak realitas, ruang dan referensi natural. Dialah pewaris sesungguhnya dari apa yang pernah diujar Chairil sebagai “pencarian kata hingga ke putih tulang”. Malna memotret bahasa di seluk-beluk keseharian dan siklus peristiwa.
Dalam berlin proposal, sebenarnya hampir tak muncul lagi puisi yang berupaya merenovasi kekinian etnisitas, sebagaimana yang sebelumnya terhimpun dalam Museum Penghancur Dokumen. Kecuali serupa serpih di beberapa judul. Dari sana, nampaklah kesetiaan yang saya maksud: sebab buku ini ia susun di Eropa. Meski begitu, sebagian besar isinya masilah menyoal “persidangan sejarah dan warisan”. Masa silam yang kehilangan tombol-tombolnya. Seperti kesibukan menyusun kode angka untuk menelpon para moyang; antara kesan penyesalan, sebuah ketulusan berminta maaf, dan kekecewaan—dialah “seorang-bekas-aku (yang) melihat seorang-bekas-masakini, seperti saudara kembar dalam pesawat terbang yang tidak pernah mendarat.” (proyek puisi kontemporer, hal 99) “Sonder ketemu, sonder mendarat!” kata Chairil.
berlin proposal yang ditulis ketika Malna mengikuti Artis Residen - DAAD di Berlin (selama 1 bulan, 2012—dan dilanjutkan selama 1 tahun, 2015) dengan sendirinya menyediakan medan primordial atas kekosongan bahasa yang lebih konkret. Seperti yang telah ia tuliskan dalam “catatan moabit”-nya, “Situasi ini membuat saya semakin dekat dengan tubuh saya. Saya mulai tumbuh seperti “Serangga Kafka” dalam makna, kehilangan sinyal-sinyal penghubungnya. Bahasa menjadi tragedi representasi.”
Afrizal Malna adalah seorang yang selalu kesulitan mempelajari bahasa asing; dan yang buatku terasa mengerikan, seperti yang diakuinya, tubuhnya seakan-akan telah menjadi “tubuh-bahasa-Indonesia yang permanen”. Apakah manusia Berlin terdengar seperti burung yang berkicau, Afrizal? Apakah Arsip-arsip—dalam berbagai varian bentuknya—belaka nampak sebagai seni rupa? Seperti “pada kata api dalam kamus, nyalanya tak terlihat.” (pemadam api setelah kebakaran, hal 15)
kau bertanya tentang penggaris yang patah
dalam kerja alam dan kerja bahasa
memberikan garis seifmograf ke leher makna
tentang bahasa yang jadi pengungsi dalam kode-kode digital
kata majemuk yang semakin pendiam
di depan keributan kata tunggal
(dial-a-poem / +43 1 58 50 433, hal 21)
Puisi-puisi Malna yang tak menaruh kekuatannya pada ejambement dan bunyi, memudahkan tipografinya beradaptasi dengan teknik tata letak halaman; dan hal inilah yang membuat beberapa puisi cenderung mengingatkan kita kepada fenomena puisi konkret di era lama. Permainan layout yang tidak berarti, atau berarti, ketika ia mendapatkan pola yang tepat; semacam arsitektur garis yang meneguhkan misi puisi. Seperti yang terlihat dari judul “memotret cermin” atau “altar pergamon” —dan tak jatuh sebagai dekorasi yang terkesan kenes, seperti yang terjadi pada puisi “paket kiriman”.
Selain kedua judul di atas, juga hadir sejumlah puisi yang berisi gambar, foto, atau bentuk yang seutuhnya seni rupa. Bentuk yang tak terjangkau; sama sekali kosong dari beban pengertian yang telah ada. Huruf-huruf seakan rontok untuk menampakkan apa itu bahasa. Judul-judul seperti “meteran antara bahasa, arsip dan tindakan” atau “gambaran berulang 2” atau “bungkusan kesunyian” atau “hotmail: otto dix” membawa puisi pada tapal batas “apa sesungguhnya puisi (tanpa kata puisi)?” Malna seakan memperluas medan pertaruhan atas puisi itu sendiri. Puisi tak lagi berada dalam monopoli nalar kesusastraan—dalam artian manajemen kata-kata—lalu melaju memasuki ruang-ruang ekspresi seni lainnya untuk terus menemukan napasnya yang bebas dan suara yang presentatif; suatu tabiat kepenyairan yang aku pikir menegaskan posisi Malna sebagai poros lain di luar rezim “tata bahasa” dan kelaziman puisi.
Ketak-akuran Malna dengan “tata bahasa” sebenarnya repetisi yang terus hadir sejak buku-buku puisi sebelumnya. Sebab itulah puisi berjudul “mitos mimesis” segera tampak sebagai bentuk termonumental dari permusuhan yang agaknya mulai beralih pada situasi kontemporer lainnya: dunia digital. Dalam kumpulan berlin proposal telah disajikan sejumlah bentuk puisi yang coba menyeret lema tersebut asyik-masuk menjadi pergulatan kesusastraan kita. Seperti yang secara lugas digambarkannya melalui judul “puisi digital” dan “teritori digital”—yang dengan aneh menyandingkan tanggal-tanggal bersejarah sebagai kode elektrik yang biasa kita temui pada label produk pabrikan; keduanya dengan gamblang kembali menyaji keheranan yang meronta ingin dipahami.
Tapi benarkah bentukan semacam itu me-presentasikan “kesusastraan digital” atau sebentuk basa-basi belaka? Bukankah sama saja dengan yang telah terjadi selama ini melalui sebentuk “cyber sastra”—dengan plot terbalik; yang secara reaktif, cumalah migrasi huruf-huruf lumrah dari kertas menuju layar monitor? Sebab aku membayangan, bahwa “sastra-digital” semestinya tak terurai di atas kertas. Di konteks ini, mungkin benar apa yang pernah diduga karibku; bahwa sastrawan kekinian yang sesungguhnya haruslah menguasai kemahiran seorang Hacker. Saya tak tahu. Mungkin belum tahu. Atau justru tak akan pernah tahu. Susah sekali memasuki dunia digital. Sebab saya telah terbungkus di dalamnya. Tanpa perjalanan menuju ke dalamnya.
berlin proposal sebagaimana buku-buku Afrizal sebelumnya, tetaplah menarik untuk digali lebih dalam. Secara umum, puisi-puisi Malna hampir selalu mudah menjelma “labolatorium-puitik” yang dengan begitu setia menyediakan variasi kemungkinan estetik untuk dibawa berjelajah lebih jauh. Topik yang termaktup dalam puisi-puisinya seringkali memicu perbincangan yang lebih luas; seakan memiliki sebuah pintu—untuk keluar dan terlepas dari kejenuhan rumah tangga puisi. Atau masuk, untuk menyaksikan dan merasakan bahwa kita adalah salah satu barang bekas yang telah tersusun di dalamnya.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI