Mohon tunggu...
HALIM BAHRIZ
HALIM BAHRIZ Mohon Tunggu...

www.awalpekan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kegunaan Agama bagi Para Pemilik Amarah

13 Juli 2016   20:15 Diperbarui: 14 Juli 2016   09:27 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhir musim panas 1991, Immaculée secara ajaib diterima di universitas negeri di Butare. Suatu pencapaian yang tak ia sangka-sangka di tengah situasi perang yang terus bergejolak. Tahun 1993, saat dalam perjalanan menuju ke Kigali, untuk pertama kali, Immaculée bertemu secara langsung dengan 300 Interawhamwe. Mereka hadang laju lalu lintas; Immaculée menyaksikan seorang perempuan ditelanjangi, ditendang, dirampas perhiasannya. Dari sebingkai jendela bus, ia tahu tidak bisa melakukan apa-apa selain mulai menanam benih dendam dalam dadanya.

Satu bulan setelah kejadian tersebut, Presiden Habyarimana menandatangi kesepakan damai dengan pemberontak Tutsi di Tanzania. Namun salah seorang pembesar militer yang paling berpengaruh sekaligus pucuk pimpinan Interwhamwe, kolonel Theoneste Bogosara yang turut mendampingi presiden Habyarimana, protes keras lantas berjanji kembali ke Rwanda untuk menyiapkan akhir zaman; dan drama itulah yang sungguh-sungguh ia panggungkan di atas tanah Rwanda. Pesawat presiden ditembak jatuh dan Habyarimana meninggal. Rumor dengan cepat merebak; 20 keluarga Tutsi dilaporkan telah dibunuh sebagai pernyataan balas dendam atas kematian sang presiden. Orang-orang Hutu terus diprovokasi agar segera melakukan upaya serupa sebagai ganti atas impas. Siklus perekonomian lumpuh total dan keseharian Rwanda seketika monoton: hanya tentang “berburu” dan “bersembunyi”.

Selama berminggu-minggu, Immaculée bersama sejumlah perempuan Tutsi berdesak dalam kamar mandi di rumah pendeta Murinzi, seorang Hutu yang baik. Di sanalah, ia menunda kematian sampai dagingnya tipis dan duduknya kian tidak nyaman sebab tulang pantatnya menekan ke lantai. Tak boleh berisik, berkata-kata akan mengantar mereka kepada maut. Pendeta Murinzi bahkan merahasiakan keberadaan mereka dari keluarganya sendiri. Namun teriakan, percakapan, atau hura-hura Interwhamwe terus terdengar; dan dengan nalar inilah “Yang Tersisa Yang Bercerita” mengambil posisi sastrawinya. Mungkin, demi menangani subyektifitas sekaligus mempertahankan sisi yang emosional pula tak terjebak pada penyampaian yang cenderung mengeksploitasi kengerian. Tentu, sebab kisah seperti ini menjadi bacaan yang selamanya sensitif bagi rakyat Rwanda; seperti halnya Genosida ’65 di Indonesia. Immaculée (bersama Steve Erwin) menulisnya dalam kadar yang pas dan tidak tendensius memihak posisi politis tertentu.

Dalam kamar mandi tersebutlah, momen-momen religius Immacullée menjadi sering. Keterpisahannya dengan seluruh anggota keluarga dan ancaman kematian atas dirinya (pula banyak orang Tutsi lainnya) membawa suasana gereja ke dalam toilet yang tiap pekan bertambah pengap dan bau; siklus menstruasi, makan dan buang air, tidur dan keram pada tulang, menjadi demikian melimpah memberinya rasa via dolorosa dalam semacam ketabahan jalan buntu. Selama 12-13 jam dalam sehari, waktu habis untuk berdo’a dan setiap hari pula yang datang hanya kabar buruk.

Keadaan semakin terasa tanpa harapan ketika terdengar kabar bahwa PBB dan Belgia menarik pasukannya. Amerika Serikat bahkan tidak mengakui bahwa sedang terjadi bencana pemusnahan etnis di Rwanda. Namun iman Immacullée tak jua goyah. Justru ia kian percaya bahwa Bunda Maria bersamanya—setelah sejumlah penggeledahan yang akhirnya gagal; terutama ketika ia tiba-tiba mendapat ide agar pendeta Murinzi menutup pintu kamar mandi dengan lemari.

Peristiwa-Peristiwa sejak Immaculée terkurung dalam kamar mandi—yang sebagian besar berupa suara bahasa semata-mata, sampai kesaksiannya sendiri dan detail cerita lisan tentang pembantaian; semulai sahabat sampai anggota keluarga (setelah pendeta Murinzi, karena pembantunya berkhianat demi imbalan uang, tak punya pilihan selain mengusir dengan santun dan berat hati sembilan perempuan yang disembunyikannya kemudian membiar mereka menempuh medan kematian menuju barak perlindungan pasukan Perancis di dekat danau Kivu; jarak yang cukup untuk menyaksikan bahwa kejahatan manusia bisa dan telah benar-benar melampaui imaginasi melalui sehampar pemandangan yang begitu ganas—meminjam Afrizal Malna—yang memberi mereka sepasang mata yang untuk pertamakalinya melihat kebenaran), adalah fragmen paling bernilai yang agaknya menggerakkan Immaculéé menulis buku ini; ditata dalam plot tak menyusahkan dan penuturan yang renyah. Dalam keadaan yang manusiawi, saya kira, pembaca akan turut merasakan di bagian mana kesedihan Immaculée mengental dan di bagian mana semestinya mata pembaca wajar bergetah.

Mungkin momen-momen religius dan keselamatan yang didapat Immaculée melalui bertaburan do’a, potongan ayat-ayat Al-Kitab, pula gumam-gumam kepasrahan, tak cukup menyakinkan bagi sebagian orang yang (bisa jadi) cenderung menganggapnya cuma kebetulan menguntungkan sebab memang berada di luar kendali atau kepastian subjek-manusia yang mengalami. Namun judul yang saya pilih, sungguhlah visi yang didambakan buku ini. Meskipun pemberontak RPF pada akhirnya berhasil menguasai Kigali dan Tutsi meredakan kemelut perang saudara dengan kemenangan, Immaculée tetaplah orang yang merugi; ia kehilangan seluruh anggota keluarganya kecuali kakak lelakinya, Aimable, yang ketika genosida berlangsung sedang bersekolah di Senegal. Mereka pun baru berjumpa setahun kemudian di penghujung 1995.

Beberapa minggu, setelah keseharian mulai kembali pulih dan otoritas politik sudah berganti, Immaculée mendapatkan kesempatan menemui Felicien, pembunuh Ibu dan kakak tertuanya. Dalam perjumpaan tersebut, ia tunjukan dengan tenang tentang apa sebenarnya “kegunaan agama bagi pemilik amarah”. Mungkin Immaculée teringat pada “suara lain” yang pernah didengarnya ketika dadanya penuh sesak oleh dendam, “Jangan memanggil Tuhan, Immaculée [..] Dia tahu kamu pembohong. Kamu bohong tiap kali berdo’a pada-Nya mengatakan kalau kamu mencintai-Nya. Bagaimana bisa kamu mencintai Tuhan tetapi begitu membenci ciptaan-Nya?” Ketika Felicien—yang tampak mudah diberi sedikit tamparan, atau diludahi, atau dilubangi kedua telinganya dengan teriakan yang menghinakan, atau bahkan ditendang tulang hidungnya dan tak akan ada yang mencegahnya—begitu terjangkau di hadapannya, Immacullée memilih redam dan hanya mengatakan apa yang menurutnya perlu dan harus dikatakan, “Aku mengampunimu.” Kemudian pembunuh itu diseret dua tentara kembali ke dalam sel.

Perkataan Immaculée mengingatkan saya kepada ujaran Derrida, “mari memulai dari yang tidak mungkin” dan ujarannya yang lain saat ia turut angkat bicara menyangkut Apartheid, “gagasan memaafkan selalu tentang hal-hal yang tak termaafkan”. Melalui “Left To Tell; Yang Tersisa Yang Bercerita”, Immaculée tak hanya menyajikan buku yang dengan begitu baik dan tentu tak murahan dalam upayanya menularkan sebuah inspirasi pada pembaca. Namun, juga memperdengarkan “suara Mandela” dari tanah Rwanda. Terima kasih, Immaculée Illibagiza. Terima kasih![]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun