Mohon tunggu...
HALIMATUS SYAKDIAH
HALIMATUS SYAKDIAH Mohon Tunggu... Polisi - POLRI

SDM

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kuat di Tengah Tantangan

4 September 2024   13:11 Diperbarui: 4 September 2024   13:20 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuat di Tengah Tantangan:

"Resiliensi dan Work-Life Balance bagi anggota Polri"

 

By : Halimatus syakdiah

 

Stres kerja pada polisi penting untuk diperhatikan karena menurut Queiros et al (2020) dan Schaufeli dan Enzman (2004), stres kerja pada profesi polisi berdampak buruk terhadap kualitas hubungan antara polisi dan masyarakat, sementara inti dari tugas menjadi seorang polisi adalah berhubungan dengan masyarakat. Queiros et al (2020) menemukan bahwa pada kondisi stres anggota polisi menggunakan kata-kata atau perilaku kasar pada saat berinteraksi dengan masyarakat. Penelitian dari Queiros et al (2020) menyimpulkan bahwa 85% anggota polisi menunjukkan tingkat stress operasional yang tinggi, 28% mengalami tingkat kesulitan yang tinggi, dan 55% berisiko mengalami gangguan psikologis. Edward, Eaton-Stull, dan Kuen (2021) mengemukakan bahwa konflik polisi-masyarakat meluas dan dapat meningkatkan tingkat stres anggota polisi. Salah satu faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah resiliensi (Kubo et al, 2021; Pehlivan & Guner, 2020; Zarindaf & Balooti, 2019; Dehghani & Hasani, 2021). Menurut Reivich & Shatte (2002).

Stres kerja salah satunya dipengaruhi oleh resiliensi (Kubo et al, 2021; Pehlivan & Guner, 2020; Zarindaf & Balooti, 2019; Dehghani & Hasani, 2021). Beberapa penelitian tersebut mengungkapkan bahwa resiliensi berpengaruh negatif terhadap stres kerja di mana semakin tinggi resiliensi, maka semakin berkurangnya stres kerja. Faktor lainnya yang mempengaruhi stres kerja adalah work-life balance (Esguerra, 2020; Atheya & Arora, 2017; Saeed et al, 2018; Raja & Ganesan, 2020; Angelina & Ardiyanti, 2020). Orang yang menjalani work-life balance lebih baik cenderung memiliki stres kerja yang lebih rendah. Sehingga berdasarkan beberapa penelitian terdahulu tersebut menyebutkan bahwa work-life balance berpengaruh negatif terhadap stress kerja.

Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan bahwa resiliensi adalah kapasitas manusia untuk merespon kondisi yang tidak menyenangkan, trauma, atau kesengsaraan dengan cara yang sehat dan produktif, terutama untuk mengendalikan tekanan-tekanan dalam kehidupan sehari-harinya. Hal serupa juga dikatakan Helton & Smith (2004), resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk bertahan, bangkit, dan menyesuaikan dengan kondisi yang sulit. Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.

Work-life balance merupakan upaya yang dilakukan oleh individu untuk menyeimbangkan dua peran atau lebih yang dijalani terkait dengan waktu, energi, pencapaian tujuan dan tekanan (Fisher, 2001). Istilah work-life balance mengacu pada individu yang menghabiskan waktu yang cukup di pekerjaan mereka sementara juga menghabiskan waktu yang cukup untuk kegiatan lain, seperti keluarga, hobi, dan keterlibatan di masyarakat (Smith, 2010). Pada intinya work-life balance adalah tentang membantu menyeimbangkan tanggung jawab individu untuk bekerja dan untuk kehidupannya (Kurmayeva et al., 2014). 

Bagaimana Pengaruh Resiliensi terhadap Work-Life Balance?

Resiliensi merupakan kemampuan individu dalam membentengi diri terhadap perubahan yang menekan. Kemampuan individu untuk dapat mengartikan permasalahan yang dihadapi sebagai sebuah hal positif sangat diperlukan ketika masa yang tidak menentu terjadi (Chen & Bonanno, 2020). Hasil penelitian Kim & Windsor (2015) mengungkapkan bahwa responden penelitian merasakan work life balance dan resiliensi dibentuk oleh proses yang dinamis dan reflektif. Adapun ciri-ciri yang terdiri dari resiliensi meliputi proses berpikir secara positif, fleksibilitas, mengambil tanggung jawab, serta memisahkan pekerjaan dengan kehidupan Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa persepsi resiliensi ini memiliki potensi untuk memfasilitasi pergeseran fokus dari pengalaman negatif ke positif, dari kekakuan ke fleksibilitas, dari pemikiran yang berpusat pada tugas ke berpusat pada orang, dan dari organisasi ke kehidupan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap work-life balance (Kim & Windsor, 2015; Kose et al, 2021; Istiqamah & Ismail, 2021; Grisken, 2021). Resiliensi merupakan kemampuan individu dalam membentengi diri terhadap perubahan yang menekan. Oleh karena itu, lingkungan menentukan cara individu dalam bekerja, karena dampak lingkungan yang positif mengarah pada perilaku yang positif, begitu pula sebaliknya. Keseimbangan diperlukan agar dapat bisa bersinergi untuk mengatasi kendala dalam situasi pandemi. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa individu merupakan faktor penting agar terjadi keseimbangan untuk dapat menyeleraskan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi dalam sekali waktu, maka individu harus memiliki kemampuan untuk bertahan dan beradaptasi terhadap perubahan cara kerja dan situasi yang dapat memunculkan ketidakseimbangan. 

Bagaimana Pengaruh Resiliensi terhadap Stres Kerja?

Tidak semua orang mengalami masalah fisik atau psikologis setelah mengalami stres, bahkan ketika stresnya parah. Sejauh mana seseorang dapat merespon secara adaptif terhadap pengalaman stres disebut sebagai resiliensi (Southwick et al., 2014). Resiliensi adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aspek yang tumpang tindih, termasuk faktor sosial, psikologis, dan budaya (Hobfoll, 1989; Southwick et al., 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi berpengaruh negatif signifikan terhadap stres kerja (Zarinfar & Balooti, 2019; Pehlivan & Guner, 2020; Kubo et al, 2021; Dehgani & Hasani, 2021). Tidak semua orang mengalami masalah fisik atau psikologis setelah mengalami stres, bahkan ketika stresnya parah. Sejauh mana seseorang dapat merespon secara adaptif terhadap pengalaman stres disebut sebagai resiliensi. Resiliensi adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aspek yang tumpang tindih, termasuk faktor sosial, psikologis, dan budaya.

Salah satu ciri yang relevan dengan resiliensi adalah neurotisisme, kecenderungan umum untuk mengalami afek negatif, terutama dalam menanggapi stres. Penelitian menunjukkan bahwa neurotisisme tidak hanya terkait secara positif dengan petak luas masalah kesehatan mental dan fisik (termasuk namun tidak terbatas pada PTSD dan depresi; lihat Jaki al., 2012; Kotov et al., 2010; Lahey, 2009), tetapi di tingkat tinggi juga memperburuk (yaitu, mengurangi ketahanan terhadap) efek stres, menghasilkan tingkat PTSD, depresi, dan gejala terkait yang lebih tinggi (Kendler et al., 2004; Lawrence & Fauerbach, 2003; Yalch et al., 2017; Yalch & Levendosky, 2017). Sifat penting lainnya adalah dominasi, yang pada tingkat tinggi menyangga efek stres pada gejala PTSD, depresi, kecemasan, dan masalah psikologis lainnya (Bernard et al., 2019; Yalch et al., 2013; Yalch et al., 2015) . Dominasi tinggi serta kehangatan yang tinggi juga dikaitkan dengan penilaian stres yang kurang kritis (Yalch & Levendosky, 2016), yang mungkin menunjukkan jalur potensial di mana efek dari sifat-sifat ini mungkin terjadi.

Bagaimana Pengaruh Work-Life Balance terhadap Stres Kerja?

Stres di tempat kerja telah muncul sebagai masalah utama bagi bisnis dan telah mencapai proporsi yang mengkhawatirkan. Menurut National Institute for Occupational Safety and Health, 80 persen pekerja mengalami stres kerja (Despande, 2012). Steven L. Sauter, kepala Cabang Psikologi Terapan dan Ergonomi dari Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Cincinnati, Ohio, menyatakan bahwa studi terbaru menunjukkan bahwa "tempat kerja telah menjadi satu-satunya sumber stres terbesar" (The CQ Researcher Online , 2013). Stres yang berhubungan dengan pekerjaan dapat mempengaruhi individu ketika mereka merasa ketidakmampuan untuk mengatasi atau mengontrol tuntutan ditempatkan dalam lingkungan kerja mereka dan akhirnya dapat berkontribusi pada pengembangan perilaku tidak baik seperti minum alkohol dan merokok (Stansfield et al., 2000) dan kondisi fisik seperti depresi, kecemasan, gugup, kelelahan dan gangguan jantung (Badan Eropa untuk Keselamatan dan Kesehatan di tempat kerja, 2002).

sumber gambar : Murianews.com
sumber gambar : Murianews.com

Studi Luminari Landmark (2004) menemukan bahwa orang yang bekerja di bawah kondisi stres, yang dapat mencakup konflik kehidupan kerja atau kurangnya dukungan sosial, otonomi dan kontrol, setidaknya dua kali lebih mungkin untuk mengalami efek fisik dan mental yang disebutkan - jantung dan kardiovaskular. masalah, kecemasan, depresi dan demoralisasi, kanker tertentu, penyakit menular, cedera konflik dan sakit punggung dll dibandingkan dengan pekerja lain.

Tantangan Work-Life Balance dalam Profesi Polri

Work-life balance mengacu pada kemampuan seseorang untuk menyeimbangkan tuntutan pekerjaan dengan kebutuhan pribadi dan keluarga. Bagi anggota Polri, mencapai keseimbangan ini sering kali menjadi tantangan besar karena beberapa alasan:

  1. Tuntutan Pekerjaan yang Tinggi: Anggota Polri sering kali harus bekerja dengan jam kerja yang tidak teratur, termasuk shift malam, akhir pekan, dan hari libur. Hal ini membuat mereka sulit untuk mengatur waktu berkualitas bersama keluarga dan untuk diri sendiri.
  2. Eksposur pada Situasi Berisiko dan Traumatis: Setiap hari, polisi berhadapan dengan situasi yang berpotensi traumatis, seperti kejahatan kekerasan, kecelakaan serius, dan bencana alam. Pengalaman ini dapat memengaruhi kesehatan mental mereka dan mengganggu keseimbangan kehidupan pribadi.
  3. Tekanan Sosial dan Institusi: Anggota Polri diharapkan untuk selalu tampil profesional dan kuat di depan publik, sementara di belakang layar mereka mungkin menghadapi tekanan besar. Tekanan ini bisa datang dari harapan masyarakat, atasan, atau bahkan dari rekan sejawat.

Resiliensi sebagai Kunci untuk Work-Life Balance

Resiliensi memungkinkan anggota Polri untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan tetap menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Berikut adalah beberapa cara di mana resiliensi dapat membantu:

  1. Mengelola Stres dengan Lebih Baik: Resiliensi memberikan kemampuan untuk menghadapi dan mengelola stres dengan lebih efektif. Dengan resiliensi, anggota Polri dapat mengembangkan strategi coping yang sehat, seperti teknik relaksasi atau mencari dukungan sosial, yang membantu mereka tetap tenang di bawah tekanan.
  2. Meningkatkan Kesehatan Mental: Resiliensi membantu menjaga kesehatan mental dengan memungkinkan anggota Polri untuk memproses dan mengatasi pengalaman traumatis. Ini mencegah perkembangan gangguan mental yang lebih serius, seperti PTSD atau depresi, yang dapat merusak work-life balance.
  3. Fleksibilitas dalam Menangani Tantangan: Resiliensi menciptakan fleksibilitas mental, yang memungkinkan anggota Polri untuk beradaptasi dengan perubahan atau kejadian tak terduga tanpa mengorbankan keseimbangan hidup mereka. Misalnya, mereka dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan jadwal kerja atau tuntutan yang meningkat tanpa mengalami kelelahan yang berlebihan.
  4. Memperkuat Dukungan Sosial: Resiliensi juga melibatkan kemampuan untuk mencari dan menerima dukungan dari orang lain. Dengan membangun jaringan dukungan yang kuat, baik di tempat kerja maupun di luar, anggota Polri dapat mengurangi beban mental dan emosional, yang berkontribusi pada keseimbangan hidup yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun