Mohon tunggu...
Halimatus sadiah
Halimatus sadiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa unikama

mahasiswa kknt unikama

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Stilistika Drama Bila Malam Bertambah Malam Karya Putu Wijaya

24 Desember 2022   23:47 Diperbarui: 24 Desember 2022   23:56 2113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jenis karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak disebut dengan drama. Drama dengan judul Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya ini menceritakan realita kehidupan berdasarkan dorongan naluri yang tersembunyi di alam bawah sadar dalam bahasa imajiner. Dia bertanya mengenai sistem budaya di bali yang masih kuat karena perbedaan kasta.  

Hal ini membuktikan bahwa sastra adalah tempat ekspresi diri yang mencangkup semua pengalaman hidup yang nyata mauoun yang bersifat imajinatif dan fiktif. Pengarang menggunakan karya sastra sebagai alat yang ampu untuk mengkritisi segala peristiwa yang ada. Sastra di bagi menjadi tiga jenis, yaitu puisi, prosa dan drama. Dalam hal ini penulis ingin menganalisis drama Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya dengan menggunakan kajian stilistika.karena dalam drama ini menceritakan tentang sebuah konflik sosial yang sangat kental yang terjadi di sebuah lingkungan masyarakat di Bali. Selain itu juga, dalam teks drama ini banyak menggunakan gaya bahasa, antara lain repetisi, personifikasi, simile, sarkasme, hiperbola, metonimia, dan retoris. Dalam hal ini, tujuan penulis yaitu untuk mengetahu gaya bahasa apa saja yang  digunakan oleh Putu Wijaya dalam karyanya.

Gaya bahasa merupakan bentuk bahasa yang dihunakan dalam menyatakan makna secara tidak langsung, yang dimaksud tidak sama dengan ucapan yang sesungguhnya. Penggunaan gaya bahasa tersebut memberikan keindahan dan kekhasan tersendiri dalam bahasa yang digunakan oleh pengarang.

Berdasarkan penjelasan diatas gaya bahasa yang diginakan pengarang dalam menganalisis karya tersebut didasarkan pada struktur kalimat dan apakah maknanya langsung atau tidak. Yang dimaksud dengan struktur kalimat adalah kalimat yang bagaimana tembat unsurkalimat yang dipentingkan dalan kalimat tersebut. Gaya bahasa yang didasarkan pada hilangnya makna secara langsung atau tidak langsung biasanya disebut sebagai trope atau idiom.

Metode dalam penulisan ini menggunakan pendekatan stilistika. Nyoman Kutha
Ratna (2009:3) Stilistik (stylistic) adalah "ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara
umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut adalah cara-cara
yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang
dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal". Melihat luasnya objek penelitian, maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian yang berkaitan dengan karya sendiri maupun orang lain objeknya meliputi pusis, prosa drama dan sebagainya.

            Dalam pembahasan ini drama yang berjudul Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya menggunakan beberapa bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu bahasa yang sering digunakan oleh masyakat bali. Dalam hal ini pengarang juga menggambarkan kehidupan nyata masyakarat di Bali sesuai dengan asal pengarang yang masih kental akan kastanya. Mengungkapkan melalui drama  Putu Wijaya tidak setuju akan sistem kasta.

            Dalam drama ini menceritakan seorang perempuan bernama "Gusti Biang" yang memiliki perilaku yang berbanding terbalik dengan kebangsawanannya. Hal inidibuktikan dengan bahsa yang digunakan oleh Gusti Biang saat berbicara dengan tokoh lain. Seperti Ngurah, Nyoman, dan Wayan. Dalam ucapannya Gusti Biang selalu memandang rendah dan kasar terhadap orang lain. Berbeda dengan Ngurah, Nyoman, dan Wayan yang tidk perbah menyinggung orang lain.

            Telah dilakukannya analisis ditumukan beberapa gaya bahasa yang dipakai pengarang anataranya, repetisi epizeukis, repetisi anofa, repetisi syimpoche, simile, sarkame, hiperbola, personifikasi, metonimia, retoris apostrof, retoris antonomasia.

Repetisi epizeukis

Bunyi yang diulang secara langsung, beberapakali berturut turut.

Gusti Biang "Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye! Menyebut kekasih, manis, kau pikir apa anakku. Wayan akan menguncimu di dalam gudang tiga hari tiga malam, dan kau akan meraung seperti si belang".

Gusti Biang "Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!"

Gusti Biang "Setan! Setan! Kau tak boleh berbuat sewenang-wenang di rumah ini. Berlagak mengatur orang lain yang masih waras. Apa good, good apa? Good bye!"

Nyoman"Cukup! Cukup! (Berlari mengelilingi meja)"

            Kata yang diberi garis bawah termasuk gaya bahasa repetisi epizeuksis karena karena bunyinya diulang berturut-turut. Dialog ini juga menceritakan tokoh Gusti Biang adalah seorang perempuan yang sombong dan rendah memandang orang lain sehingga orang lain takut terhadapnya.

Repetisi Anafora 

Gaya bahasa perulangan yang berujud perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat berikutnya.

Gusti Biang "Lubangnya terlalu kecil. Benangnya terlalu besar, sekarang ini serba terlampau. Terlampau tua, terlampau gila, terlampau kasar, terlampau begini. Sejak kemarin aku tidak berhasil memasukkan benang ini. Sekarang mataku berkunang-kunga. Oh, barangkali toko itu sudah menipu lagi. Atau aku terbalik memegang ujungnya? Wayaaaaaan..
            dalam dialog yang digaris bawah menggunakan gaya bahasa repetisi anaphora karena adanya pengulangan. Pengulangan tersebut terdapat pada kata "terlampau, terlampau" dalam hal itu menimbulkan gambaran kekesalan tokoh pada tokoh lain.

Repetisi syimploche 

Perulangan pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut turut.

Gusti Biang "Ya! Leak itu tidak boleh masuk rumahku ini. Setan tua itu juga! Biar mati dua-duanya sekarang! Kalau kau mau ikut pergi terserah. Aku akan mempertahankan kehormatanku. Kehormatan suamiku, kehormatan Sagung Rai, kehormatan leluhur-leluhur di puri ini."

            Kata "Kehormatan" pengulanan kata pada awal dan akhir yang menegaskan bahwa tokoh tersebut sangat mempertahankan harga diri kehormatan sebagai istri bangsawan.

Simile 

Gaya bahasa perbandingan yang bersifat eksplisit yang menyatakan sesuatu sama dengan gal yang lain. Simile sebuah sarana retorika yang paling sederhana karena membandingkan suatu hal dengan hal lain.

Nyoman "Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Hutang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali
sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebihi harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambilah semua itu sebagai tanda bukti yang terakhir"

Gusti Biang "Aduh cantiknya Gusti Biang. Seperti seekor burung merak. Seperti lima belas tahun lalu ketika tiyang masih kecil dan sering duduk di pangkuan Gusti. Masih ingtkah Gusti?"

Gusti Biang "Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar ,mati kelaparan di pinggir kali."
Wayan "Daripada makan batu lebih baik tinggal di sini, makan minum cukup, ada radio, bisa nonton film India."
Nyoman "Tapi kalau tertekan seperti binatang? Dimarahi, dihina, dipukul seperti anak kecil!

            Pemilahan kata "dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah" pengarang menggambarkan wayan sebagai objek penderita yang tak berguna. Demikian dengan kata "seperti seekor burung merak". Pada penggunaan simile ini membuat percakapan lebih menarik.

Sarkasme 

            Suatu acuan yang lebih kasar yang mengandung kepahitam dan celaan yang getir

Gusti Biang "Kejar setan itu, putar lehernya! .. Kejar dia goblok!Gusti Biang"Begundal itu! Masukkan dia ke gudang!"

Gusti Biang"Bedebah! Anjing ompong! Setelah mengusir dia aku akan mengutuk kau, biar, matikelaparan di pinggir kali".

Gusti Biang "Dasar penjilat! Kuberhentikan kau sekolah karena kau main mata dengan guru dantukangkebun sekolahitu"

Gusti Biang "Apa katamu leak? Wayan akan memutar lehermu"

Gusti Biang"Jangan berbantah denganku. Kau sudah tua dan rabun, lubang telingamu sudah ditempati kutu
busuk. Kau sudah tuli, malas dan suka berbantah, cuma bias bergaul dengan si belang. Kau
dengan itu kuping tuli?"
Wayan"Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali".
Gusti Biang"Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!"
Gusti Biang "Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi!"
Gusti Biang "Tidak! Sudah kuusir leak-leak itu! Aku sudah dihina, diinjak-injak!"
Gusti Biang "Pergi Leak, jangan mengotori rumah suamiku".

            Kutipan diatas menggunakan gaya bahasa sarkasme karena mengandung celaan yang sanagat kasar. Dari sini dapat di gambakan bahwa sikap Gusti Biang sangat bertolak belakang dengan kebangsawanannya.

Personifikasi 

Gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau tidak bernyawa.

Gusti Biang "Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohku akan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, dan akan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi !

            Potongan percakapan yang digaris bawah menggambarkan pemanfaatanpersonifikasi pada benda mati seakan akan hidup atau bernyawa.

Hiperbola

Pernyataan yang berlebihan dengan membesarkan sesuatu hal.

Gusti Biang"Sakit gede, seumur hidupmu. Kalau akhirnya aku mati karena racunmu, awas-awaslah, rohkuakan membalas dendam. Aku akan diam di batang-batang pisang dan di batu-batu besar, danakan mengganggumu sampai mati. Tiap malam, bila malam bertambah malam. Setan, pergi kau, pergi. Sebelum kulempar dengan tongkat ini, pergi!

            Dalam potongan percakapan yang digaris bawah ditunjukkan dengan adanya sebuah peristiwa yang berlebihan yang awalnya hal kecil menjadi besar.

Metonimia 

Gaya bahasa yang menggunakan kata untuk menanyakan suatu hal yang mempunyai pertalian yang sangat dekat hubungan itu dapat berupa penemuan.

Gusti Biang"Tapi kamu pasti tidak lupa membelikan begundal itu klompen, baju brokkat, kaca mata, de colognet, tas, ha! Aku minta balsem cap macan saja tidak digubris. Perempuan kurang ajar!

            Dijeleskan bahwa sesuatu yang dibaratkan sebagai barang.

Retoris apostrosof 

 Gaya bahasa yang terbentukdalam pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.

Gusti Biang "Dewa Ratu.. kau telah merusak sarung bantal
anakku...Wayaaaannnn...Wayaaaannnn...dimana pula setan itu, wayaaan...."
dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah
itu. Apa yang harus aku katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan
sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua
mendustaiku, semua orang menjadi binatang."

            Dalam potongan percakapan yang diberi garis bawah suatu sapaan terhadsp sang pencipta manusia. Yang diibaratkan menyerahkan segala sesuatu yang terjadi kepada sang pencipta terhadap keluhan batin manusia yang taka da ujungnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun