PARIS -- Saya terkejut senang saat disapa 'assalamualaikum' oleh seorang pria berkulit putih ketika tengah berada di Parc des Expositions Le Bourget, Paris, tempat digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim ke-21 beberapa waktu lalu. Sontak saya tersenyum, dan dengan bersemangat membalas salam dari pria yang ternyata seorang muslim asal Algeria tersebut.
Pertemuan itu terjadi di sebuah stand penukaran souvenir dalam KTT Paris. Ia adalah salah satu panitia di stand yang tiap harinya didatangi ribuan orang dari berbagai bangsa tersebut.
Saya baru sadar, lelaki yang tak sempat saya tanya namanya itu, rupanya sudah tersenyum dari kejauhan. Boleh jadi, rasa persaudaraan sesama ummat Nabi Muhammad lah yang membuat brother Muslim itu sudah tersenyum ketika melihat saya dari kejauhan. Tentu dia tahu identitas keIslaman saya dari jilbab model turban yang saya kenakan.
Saat itu stand memang sedang sepi. Ketika langkah saya makin dekat dengan booth penukaran souvenir, dengan gerakan tangannya, ia mempersilakan saya untuk masuk ke antrean yang berada di depannya. Pertemuan singkat kami di stand penukaran souvenir diakhiri dengan saling membalas salam.
Sejak pertemuan itu, saya merasa lebih percaya diri melenggang di atas tanah Perancis. Maklum, Ibu Kota negara tersebut belum lama ini menjadi perhatian seluruh dunia setelah sebuah serangan bersenjata dan bom bunuh diri yang menewaskan sedikitnya 150 orang terjadi. Dan muslim tahu-tahu dipaksa merasa bersalah atas teror tersebut.
Sebelum terbang ke Paris, tak dipungkiri saya juga sempat merasa khawatir. Dari pemberitaan di beragam media, sedikit banyak saya mengetahui ada semacam kegelisahan dirasakan Muslim Perancis yang tak nyaman bergerak pasca kejadian teror.
Namun, kegelisahan yang saya bawa dari Indonesia perlahan sirna saat disapa dengan salam oleh muslim dari Algeria yang telah lama menetap di Perancis tersebut. Saya juga gembira mendapati diri bukan satu-satunya muslimah berjilbab yang hadir di tengah-tengah Konferensi Perubahan Iklim itu. Beberapa kawan sesama muslimah dari Indonesia juga ada yang mengenakan jilbab. Selama konferensi, beberapa kali saya berpapasan dengan sesama muslimah berjilbab lain dari berbagai bangsa. Tiap kali berpapasan, kami umumnya akan saling melempar senyum.
Sejak menginjakkan kaki di Paris, tak ada perlakuan diskriminatif karena jilbab yang saya kenakan. Petugas keamanan yang saya jumpai, baik di hotel maupun di tempat konferensi, memberi perlakuan yang sama pada wanita berjilbab. Saya pun mendapati para pelayan cafe dan supir bus sangat bersahabat. Supir bus yang mengantar rombongan Indonesia selama berada di Paris bahkan berbaik hati mengajarkan beberapa kata dalam Bahasa Perancis pada saya.
Usai konferensi, malam harinya saya menyempatkan diri untuk berkeliling kota. Beruntung, saya punya kawan seorang WNI yang telah menetap 14 tahun di negerinya Napoleon Bonaparte tersebut, Rosita namanya. Ia dan suaminya yang asli Prancis, Patrick, berbaik hati, mengajak saya mengelilingi Paris.
Dari Rosita, saya tahu bahwa Paris belum sepenuhnya 'pulih' dari ketakutan akan teror. Aparat tetap berjaga di mana-mana. Terlebih, hanya berselang dua pekan dari kejadian teror,Paris menjadi tuan rumah KTT Perubahan Iklim yang dihadiri tak kurang dari 150 pemimpin dunia. Untuk mengamankan kota, pemerintah setempat bahkan sampai harus mendatangkan personel keamanan dari luar Paris.
"Jalan tol dan jalan utama banyak yang ditutup. Pemerintah melarang masyarakat berkeliaran," kata Rosita, saat menjemput saya di sebuah restauran Vietnam di kawasan Pecinan Paris.
Dia mengaku kini menghindari membawa tas ransel. Sebab, tas ransel kerap dicurigai berisi bom. Jika bepergian, kawan saya yang berjilbab itu juga tak lupa untuk membawa KTP Perancis-nya. Sebuah tanda pengenal yang jarang Rosita bawa sebelum teror Paris terjadi. Sebab, kini pemeriksaan ada di mana-mana. Masjid menjadi salah satu tempat yang mendapat pengamanan ekstra.
Namun, menurut Rosita, sebelum teror Paris terjadi, tepatnya setelah peristiwa penembakan Charlie Hebdo, masjid sebenarnya sudah mendapat pengamanan esktra. Masjid milik KBRI tak diizinkan dimasuki orang asing. Patrick, suami Rosita, yang terbiasa shalat jumat di Masjid KBRI, dilarang beribadah di sana oleh pemerintah setempat demi alasan keamanan.
Di Paris, saya juga menemukan tempat sampah di ruang-ruang publik semuanya dari kantong plastik transparan. Rupanya, kantong transparan digunakan sebagai tempat sampah agar petugas mudah memantau kalau-kalau ada bom yang disembunyikan di sana.
Sambil terus bercerita, Rosita dan suaminya mengajak saya mengunjungi Masjid Raya Paris yang berada di Rue Debenton. Satu-satunya masjid di Paris yang bangunannya berupa 'masjid,'Â memiliki kubah dan menara.
Turun dari mobil, saya dan Rosita bergegas menyeberang jalan untuk menuju Masjid. Sementara Patrick, suami Rosita, menunggu di mobil.Â
Dari kejauhan, kami melihat sekitar lima orang petugas keamanan berjalan mendekat. Saya sudah ketakutan melihat petugas bersenjata lengkap menghampiri kami, khawatir dilarang mendekati area masjid. Sebab, saat itu memang sudah malam dan bukan waktu shalat.
Namun, Rosita akhirnya memberanikan diri berbicara pada para tentara itu. Saya, yang tak mengerti bahasa Perancis, hanya menunggu sambil harap-harap cemas. Syukurlah, mereka rupanya tak ada maksud untuk melarang kami yang hanya ingin berfoto di depan masjid terkenal di seantero Paris itu.
Dari Masjid Raya Paris, perjalanan kami lanjutkan dengan menelusuri tempat-tempat cantik lainnya, Gereja Katedral Norte Dam, Sungai Seine dan Mont Marte. Tak lupa, kami juga mengunjungi ikon wisata negeri tersebut, Menara Eiffel.
Seperti halnya turis, saya pun mengabadikan momen dengan latar belakang menara bercahaya yang tinggi menjulang tersebut. Usai puas mengambil gambar, saat sedang berjalan balik menuju mobil, kami dihampiri seorang pria berkulit hitam penjual gantungan kunci miniatur Eiffel. Karena tak berminat membeli, saya pun menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Namun, tak seperti pedagang asongan lain di kawasan Eiffel yang biasanya tak menyerah menawarkan dagangannya, pria itu justru menanyakan identitas kegamaan saya. Setelah mendapat jawaban, pria yang saya duga berasal dari negara-negara Muslim di Afrika tersebut langsung mengucap salam doanya untuk saya.
"Assalamualaikum," katanya sambil beranjak pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H