Mohon tunggu...
Halimah Rachma
Halimah Rachma Mohon Tunggu... Freelancer - Halimah Rachma

Halo nama saya Halimah Rachma, biasa dipanggil Ima. Senang membaca jurnal

Selanjutnya

Tutup

Money

Indonesia dan Potensi Produk Halal

18 November 2018   11:44 Diperbarui: 18 November 2018   13:04 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah negara non Muslim akan menguasai pasar halal? Inilah pertanyaan saya. ketika saya mencari keyword halal product, suggestion pertama yang muncul adalah Halal Product Japan. Mengapa bukan Halal Product Indonesia atau Halal Product Arab? atau negara-negara dengan penganut Islam terbanyak . Hal ini juga didukung oleh pernyataan dosen saya, Bapak Nurdin. Beliau mengungkapkan di kelas bahwa beberapa koleganya yang ingin memperdalam ilmu halal product, sampai harus berguru ke Jepang. Kok bukan Arab? Padahal yang kita tau mayoritas negara Jepang bukan beragama Islam. Saat saya ke Jepang di tahun 2016, saya banyak mengunjungi Kuil dan kemudian saya baru mengetahui kemudian mayoritas menganut agama Shinto.

Menarik, karna menurut Beliau, Jepang sudah memiliki beberapa professor dibidang spesifik yaitu halal produk. Lebih menabjubkannya lagi bahkan mereka lebih memahami apa yang dimaksud dengan halal dibandingkan orang muslimnya sendiri. Dari pernyataan ini saya semakin yakin, Agama Islam akan bangkit di negara-negara maju. Semoga saja. Long live professor! dan semoga ilmunya berguna bagi kemajuan umat muslim . 

Pernyataan tersebut membawa saya kepada sebuah asumsi. Kalo mereka sudah punya professor, penelitiannya maju, otomatisnya kan pasti ada yang butuh data tersebut, yang butuh data pasti produsen dari Jepang. Pinteran mereka yah liat celahnya, gitu pikiran saya. Mereka bahkan sudah mengestimasikan sejak lama bahwa halal product ini akan jadi  'It Products'.

Market halal produk itu besar, apalagi di negara-negara berkembang dengan mayoritas Agama Islam. Indonesia, negaraku tercinta, ternyata merupaka konsumen produk halal terbesar di DUNIA. Konsumennya bahkan melebihi negara Arab, yang hampir seluruh masyarakatnya adalah penganut muslim. 

Indonesia merupakan negara konsumen produk halal terbesar di dunia. Sayangnya, dari sisi produksi, Indonesia masih kalah dari negara tetangga. Salah satu permasalahan adalah tidak adanya dukungan untuk sertifikasi halal. (Reja Hidayat dari Tirto, 2016).  Membaca salah satu ulasan media Tirto membuat saya harus setuju bahwa Indonesia, negara dengan mayoritas negara Islam, masih menjadi penonton dalam industri ini. Malaysia, negara tetangga, yang memiliki penduduk se-perdelapan nya Indonesia terlihat ambisus dalam persoalan ini. 

Malaysia merupakan negara produsen pertama di dunia. Ambisinya tersebut juga dikukuhkan dengan sebuah tujuan untuk menjadikan negara Malaysia sebai halal hub world dan sebagai pusat rujukan halal.  Imajinasi saya membawa saya kepada sebuah pertanyaan, apa kalo negara kita nguasain halal produk akan membawa negara menjadi negara mandiri, gak perlu kirim TKI lagi keluar? Karna penyerapannya dapat dimaksimalkan di Indonesia. Terlalu jauh? mungkin.

Salah satu penyebab mengapa pertumbuhan terasa lambat adalah karna kurangnya dukungan dari pemerintah. Permintaan lisensi produk halal memang banyak. Namun, yang mempunyai wewenang lisensi itu hanya MUI. Walau sekarang hasil lab yang memberikan keterangan bahwa produk tersebut halal bisa didapatkan di lab-lab Universitas, tetapi ujung tombak masih dipegang oleh MUI. 

Semacam ada bottleneck.  MUI hampir dapat dipastikan lebih mengutamakan produk-produk yang memiliki establishd brand dibandingkan UMKM. Permasalahan lainnya yang juga penting adalah pelaku usaha belum paham pentinya setifikasi halal, manfaatnya, hingga cara mendapatkan lisensi halal.

 Potensi halal produk diprediksi akan terus meningkat. Walau , sekarang potensi tertinggi datang dari industi makanan , kemudian obat, dan dilanjutkan dengan perbankan . Namun, sektor industri lain juga terlihat mulai menunjukan pertumbuhan. Sepuluh tahun lalu asing mendengar kosmetik halal. Namun, ternyata salah satu brand pemegang asosiasi ini menjadi brand yang memiliki top of mind. 

Industi lain yang menurut saya di awal kemunculannya mengernyitkan dahi saya adalah kulkas halal (Sharp) , makanan kucing halal (Total Almeera) dan jilbab halal (Zoya). Semua berlomba - lomba mengasosiasikan produknya dengan kehalalan. Walau beberapa konteksnya tidak cocok bagi saya, tapi mungkin di masa depan ini akan menjadi suatu hal yang dapat diperhitungkan.  Apakah dimasa depan akan ada buku halal, handphone halal atau bensin halal?

Lantas mengapa memiliki lisensi halal menjadi penting? Tentu saja dengan memiliki label halal, persepsi produk jadi positif dan kepercayaan akan produk juga meningkat. Kalo udah begitu orang akan lebih cepat memtuskan untuk membeli. Teutama untuk orang Islam. Hal ini menjadi salah satu diskusi menarik di kelas yang saya ingat hingga hari ini. 

Orang Indonesia itu perilakunya unik. Kalo soal makanan tuh memiliki atensi besar. Kalo ada brand besar yang baru ketauan gak halal bisa dihujat ramai-ramai. Walau orang yang menghujat belum tentu 'Islam'. Tetapi, diluar industri makanan, atensi yang diberikan masih kecil. Untuk membentuk ekosistem produsen halal tentu dibutuhkan integrasi dari berbagai pihak seperti masyarakat, produsen, pemerintah, pemberi lisensi, dan peneliti didalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun