Jakarta, 28 Februari 2021
Selamat Hari Lahir, Solehah cantikku…
Baarakallah fii umrik
Semoga Allah selalu menuntunmu menjadi anak yang pandai bersyukur
Untuk tiba di hari ini, Ahad, 28 Februari 2021, Kakak cantikku telah melalui banyak proses yang membuatnya menjadi sangat dewasa dan mandiri untuk anak seusianya. Terima kasih kepada-Nya karena telah menghadirkannya untuk melengkapi keseharianku. Keseharian yang begitu berwarna seperti kue ulang tahunnya hari ini. Kue ulang tahun yang telah diidam-idamkannya sejak awal bulan ini.
27 Februari 2013, pukul 08.00 WIB.
Masih lekat dalam ingatan ketika putri kecilku ini akan hadir ke dunia. Saat itu, karena mengalami beberapa tekanan di tempat bekerja, menjelang kelahirannya aku harus mengalami tekanan darah yang terus meningkat, terutama pada 1 bulan terakhir. Karena tekanan darah yang cenderung tinggi ini, dokter pun memintaku untuk melahirkan di rumah sakit besar karena aku mengalami preeklempsia. Hal ini ditandai dengan tekanan darah yang tinggi dan dari telapak kaki hingga betis membesar. Padahal, HPL bayi ini adalah 14 Maret 2013. Namun, untuk menyelamatkan aku dan bayi ini, aku segera dilarikan ke rumah sakit dengan ambulan. “Ohh, Allah. Aku takut karena baru kali ini aku berada di dalam ambulan, “ pikirku kala itu.
Sejujurnya ketika mendengar vonis ini, ada rasa cemas karena penjelasan dokter yang mengatakan bahwa preeklempsia yang tak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kehilangan nyawa salah satunya, entah itu ibunya, entah itu bayinya. Saat itu, aku panjatkan doa terbaik kepada-Nya karena berkecamuk dalam pikiranku hal-hal yang tidak diinginkan. Ibu mana yang tak ingin melihat bayinya baik-baik saja? Ibu mana yang tak ingin menimang bayinya setelah berjuang melahirkannya?
“Allah, jika Kau takdirkan aku harus pergi, jagalah putri kecilku dengan sebaik-baik penjagaan-Mu. Jika Kau takdirkan aku dapat melihatnya, kuatkan aku dalam melalui proses ini,” doaku dalam hati terus-menerus. Kupasrahkan segalanya kepada Yang Maha Menghidupkan.
Banyak orang mengibaratkan bahwa apa yang dialami oleh orang yang melahirkan itu seperti orang yang mengalami 1001 macam penyakit dalam dirinya. Kelihatannya, pengibaratan itu benar adanya. Apalagi, ketika melahirkan memang seorang ibu harus mempertaruhkan nyawanya. Sakit luar biasa ini dapat tergantikan hanya demi melihat wajah mungil seorang anak yang dititipkan-Nya. Apalagi, proses kelahiran putri kecilku ini bukanlah proses yang mudah. Aku berharap, sakit dan peluh karena proses ini dapat menjadi penggugur dosa-dosaku yang lampau. Walau terasa sakit, beruntung banyak sekali pesan dan telepon dari kerabat, sahabat, dan teman-teman sebagai penguat dan penghiburku.
Setelah melalui proses observasi selama kurang lebih 6 jam dan proses induksi selama kurang lebih 6 jam, mulas yang kualami justru kadang timbul, kadang hilang. Bahkan, ada satu waktu kurang lebih 1 jam, aku tak merasa mulas sama sekali. Melihat perkembangan mulasku yang tak signifikan ini, menjelang Subuh, suamiku diminta untuk menandatangani berkas persetujuan agar dokter dapat mengambil tindakan sectio untukku.
Kembali ketakutan melandaku. Berbagai stigma miring tentang operasi yang tak berhasil, cukup membuat aku cemas. “Ohh, Allah. Kupasrahkan segalanya kepada-Mu. Jika jalan ini yang harus kulalui, ikhlaskan aku. Kumohon Allah, jika Kau takdirkan aku harus pergi, izinkan aku dapat melihat bayiku walau sebentar,” lirihku tak henti.
Dokter pun bergerak secepat mungkin. Dalam waktu 10 menit semua alat yang perlu dipasang di tubuhku untuk operasi sudah siap. Seluruh pakaianku sudah ditanggalkan dan sudah berganti dengan pakaian khusus di ruang operasi. Hanya suamiku yang menemaniku saat itu. Kehadirannya sungguh membuatku merasa kuat dan mampu melewati proses ini dengan baik. Namun, terbayang wajah bapak, mama, mertuaku, adik-adikku, dan anak solehku, Faiq. Bismillahirrahmanirrahim. “Hanya dengan mengingat-Mu, hatiku menjadi tenang,” doaku sambil menunggu dokter membawaku masuk ke ruang operasi.
Di tengah waktu menanti dipanggil ke ruang operasi, beberapa kali aku harus menghela napas sekadar untuk melegakan diriku. Sesaat kemudian, masuklah dokter muda nan cantik yang sejak kemarin menanganiku. Dia menanyakan keadaanku dan menyampaikan bahwa operasi untukku ditunda selama 1 jam ke depan karena ada beberapa pasien yang lebih mendesak untuk dioperasi terlebih dahulu. Aku dimintanya untuk bersabar. “Ya, dok. Terima kasih,” ucapku saat itu sambil membayangkan bayi yang akan aku lahirkan ini kelak akan menjadi dokter cantik seperti dokter yang menangani kelahirannya saat ini. Amin ya Allah.
Tetiba, 30 menit setelah dokter menyampaikan penundaan operasi untukku, Allah takdirkan aku merasa mulas hebat. Sakit sekali rasanya hingga aku dapat mengenali tanda-tanda si bayi minta dikeluarkan. Kuminta suamiku untuk segera panggilkan dokter. Kusampaikan bahwa rasa sakit ini berbeda dengan sakit sebelumnya. Akhirnya, dokter mengecek pembukaan yang sudah berlangsung. Tak lama, kulihat dokter keluar dengan tergopoh-gopoh dan setengah berteriak kepada teman-temannya di luar, “Ibu Ade sudah pembukaan 7, siapkan ruang dan alat.”
Secepat kilat dokter itu dan beberapa suster masuk kembali, mendorong tempat tidurku ke ruang sebelah tempat melakukan tindakan. Saat itu, aku benar-benar tak bisa berpikir apa-apa lagi selain bibirku tak henti mengucap istighfar karena sakit yang dirasa, luar biasa tak terperi. Hingga aku melihat sudah banyak dokter dan suster di ruangan ini. Berbagai alat sudah disiapkan. Aku diminta untuk mengejan beberapa kali sambil diberi aba-aba. Kulihat suamiku menemani di atas kepalaku. Ada dokter yang mendorong bayi dalam perutku ke arah bawah. Ada dokter yang menarik bayiku dari bawah. Sungguh, aku harus berusaha sebaik mungkin agar aku bisa melihat bayiku. Akhirnya, tak lama kudengar pecah tangis bayiku. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah.
Bayi itu diberi nama Afnan Azkia Fakhira oleh suamiku. Artinya kira-kira, Anak perempuan cantik dan cerdas yang menjadi kebanggaan umat.
Bayi yang istemewa. Bayi perempuan yang berada di tengah di antara Abang dan adiknya. Si kecil Fakhira yang pandai mengedot ASI dari botol berbeda dengan Abang dan adiknya yang hanya mau minum ASI langsung. Bayi yang sempat divonis oleh dokter bahwa kaki sebelah kirinya agak cacat, tetapi ternyata pada usia 9 bulan dia sudah mampu berjalan.
Saat usianya 1 tahun sering sekali menangisiku ketika aku akan berangkat ke sekolah. Namun, dia begitu pandai dan tak merengek minta ikut jika malam hari aku mengajaknya bicara bahwa ia harus menjadi anak yang pintar. “Dede, besok Umi mau ke sekolah. Dede dadah aja, ndak usah ikut. Nanti kalau umi sudah pulang sekolah, kita main lagi,” begitu kalimat obrolanku dengannya hampir setiap malam agar ia tak selalu merengek setiap pagi. Alhamdulillah, dia bisa mengerti.
Cerita baik tentangnya lagi, pada usianya yang menjelang 2 tahun, ia harus disapih. Berbekal bacaan dari internet dan pengalaman teman-teman agar menyapih bisa berhasil, selama 1 bulan terakhir hampir setiap malam aku mengajaknya bicara. Hal ini kulakukan agar ia bisa memahami apa yang kumau dan tidak seperti sulitnya ketika menyapih si Abang. “Dede, nanti abis tahun kedua, ndak boleh “nenen” lagi sama Umi. Dede kan sudah besar supaya Dede makannya banyak, ya,” nasihatku kepada Fakhira kecil. Alhamdulillah, lagi-lagi segalanya berjalan mudah dan sesuai dengan rencana. Satu hari setelah ulang tahunnya, aku tidak perlu lagi menyusuinya.
Pada usia 3 tahun, Fakhira kecil senang sekali menyimpan barang-barang dengan rapi. Seringkali aku dan suamiku mencari barang yang tak dapat ditemukan, ternyata dapat ditemukan oleh Fakhira kecil. Tentu saja dia bisa menemukannya karena memang dia yang menyimpan dan merapikannya. Nenek dan Babanya pun begitu. Ada suatu kali neneknya mencari gunting, sudah dicari ke mana-mana, hasilnya tak ada. Begitu ditanyakan ke Fakhira kecil, dia dapat dengan mudah menunjukkan tempat gunting tersebut. Ternyata, di simpannya di lemari Babanya. Lemari itu tempat menyimpan alat-alat pertukangan. Terasa lucu sekali kala mengalaminya saat itu.
Ketika memasuki usia 4 tahun, Fakhira kecil meminta untuk sekolah. Kumasukkan ia ke TPA yang tak jauh dari rumah, hanya berjarak lima rumah dari rumah neneknya. Uniknya, tak pernah sekali pun ia minta diantar ke sekolah. Aku atau neneknya menawarkan diri untuk mengantarnya ke sekolah, dia tak pernah mau. Dia hanya mengatakan bahwa dia tak perlu diantar ke sekolah karena sekolahnya sangat dekat. Hingga saat ada kegiatan manasik haji pun, kebetulan aku tak bisa mengantarnya. Dia pergi dengan guru dan teman-temannya. Walau sepulang manasik dia bercerita bahwa teman-temannya diantar oleh mama mereka. Hanya dia yang tak diantar. Ahh, Fakhira, ada nyeri di hati kala hal itu kausampaikan.
Kala usianya 5 tahun, dia begitu senang memiliki adik laki-laki. Dia selalu membantuku menyuapi adik kecilnya. Membantuku mengambilkan celana, memakaikan adiknya baju, menemaninya bermain, membuat adiknya tertawa, dan senang sekali bila kuminta untuk ke warung membeli sesuatu.
Saat usianya 6 tahun, dia memintaku merayakan ulang tahunnya dengan mengundang teman-temannya ke rumahnya. Kukabulkan permintaannya saat itu karena sebentar lagi dia akan pindah sekolah ke SD. Dia senang sekali bisa mengundang teman-teman TK-nya, terutama karena dia mendapat banyak kado dari mereka.
Usia 7 tahun, Fakhira sudah duduk di kelas 1 SD. Banyak hal berubah ketika dia SD. Dia menjadi anak yang doyan sekali makan. Di sela-sela makan, dia selalu minta jajan dan makanan ringan. Mungkin karena cukup berat jam sekolah yang harus dilaluinya. Berangkat pukul 06.15 dan tiba di rumah pukul 15.00. Alhamdulillah, dia bisa mengikuti pendidikannya di sekolah dengan baik. Dalam waktu kira-kira 9 bulan, dia sudah menyelesaikan juz 30 dan pernah terpilih sebagai El Hafidzah karena dia begitu bersemangat mengafal Alquran.
Kira-kira dua pekan sebelum ulang tahunnya ini, Kakak Fakhira memintaku untuk mendaftarkannya ke tempat pengajian karena dia ingin sekali bisa menghafal Alquran dengan baik. Aku pun menjanjikan kepadanya bahwa dia akan dibelikan sepeda baru yang bagus jika telah selesai menghafal juz 29.
Alhamdulillah, Kakak Fakhira begitu mandiri pada usianya yang hampir 8 tahun ini. Terkadang, ketika aku harus ke sekolah, sering aku menitipkan Abang dan adiknya kepada Kakak Fakhira. Kuminta dia yang menyiapkan makan untuk Abang dan adiknya. Sering aku pulang, tak ada lagi cucian piring karena telah dicucinya. Dia juga pandai membantuku menyapu, mengepel, melipat-lipat baju, dan senang sekali membantu mengiris-iris bahan mentah untuk dimasak.
Ahhh…tak kan habis cerita kebaikan tentangnya.
Sehat-sehat selalu ya, sayangnya Umi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H