Mohon tunggu...
Halimah Rose
Halimah Rose Mohon Tunggu... Guru - Hidup akan lebih indah jika bermanfaat untuk orang lain

Sejatinya adalah seorang ibu rumah tangga yang mencintai keluarganya. Pekerjaan lain hanyalah sampingan sebagai wadah untuk selalu berproses.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Selamat Hari Lahir, Calon Dokter

28 Februari 2021   11:31 Diperbarui: 28 Februari 2021   11:42 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Jakarta, 28 Februari 2021

Selamat Hari Lahir, Solehah cantikku…

Baarakallah fii umrik

Semoga Allah selalu menuntunmu menjadi anak yang pandai bersyukur

Untuk tiba di hari ini, Ahad, 28 Februari 2021, Kakak cantikku telah melalui banyak proses yang  membuatnya menjadi sangat dewasa  dan  mandiri untuk anak seusianya.  Terima kasih  kepada-Nya karena telah menghadirkannya untuk melengkapi keseharianku. Keseharian yang begitu  berwarna seperti kue ulang tahunnya hari ini. Kue ulang tahun yang telah diidam-idamkannya sejak awal bulan ini.

27 Februari 2013, pukul 08.00 WIB.

Masih lekat dalam ingatan ketika putri kecilku ini akan hadir  ke dunia. Saat itu, karena mengalami beberapa tekanan di tempat bekerja,    menjelang kelahirannya aku harus mengalami tekanan darah yang terus meningkat, terutama   pada 1 bulan terakhir.  Karena tekanan darah yang cenderung tinggi ini, dokter pun memintaku untuk melahirkan di rumah sakit besar  karena aku mengalami preeklempsia. Hal ini ditandai dengan tekanan darah yang tinggi dan dari telapak kaki hingga betis membesar. Padahal, HPL bayi ini adalah 14 Maret 2013. Namun, untuk menyelamatkan  aku dan bayi ini, aku segera  dilarikan ke rumah sakit dengan ambulan. “Ohh, Allah. Aku takut karena baru kali  ini aku berada di dalam ambulan, “ pikirku kala itu.

Sejujurnya ketika mendengar vonis ini, ada rasa cemas  karena  penjelasan dokter yang mengatakan bahwa  preeklempsia yang tak ditangani dengan baik dapat mengakibatkan kehilangan nyawa salah satunya, entah itu ibunya, entah itu bayinya. Saat itu, aku panjatkan doa terbaik kepada-Nya karena berkecamuk  dalam pikiranku hal-hal yang tidak diinginkan. Ibu mana yang tak ingin melihat bayinya baik-baik saja? Ibu mana yang tak ingin menimang bayinya setelah berjuang melahirkannya?

“Allah, jika Kau takdirkan aku harus pergi, jagalah putri kecilku dengan sebaik-baik penjagaan-Mu. Jika Kau takdirkan aku dapat melihatnya, kuatkan aku dalam melalui proses ini,” doaku dalam hati terus-menerus. Kupasrahkan segalanya kepada Yang Maha Menghidupkan.

Banyak orang mengibaratkan bahwa apa yang dialami oleh orang yang melahirkan itu seperti orang yang mengalami 1001 macam penyakit dalam dirinya. Kelihatannya, pengibaratan itu benar adanya. Apalagi, ketika  melahirkan memang seorang ibu harus mempertaruhkan nyawanya. Sakit luar biasa ini dapat tergantikan hanya demi melihat wajah mungil  seorang anak yang dititipkan-Nya. Apalagi, proses kelahiran putri kecilku ini bukanlah proses yang mudah. Aku berharap, sakit dan peluh karena proses ini dapat menjadi penggugur dosa-dosaku yang lampau. Walau terasa sakit, beruntung banyak sekali pesan dan telepon  dari kerabat, sahabat, dan teman-teman  sebagai penguat dan penghiburku.  

Setelah  melalui proses observasi selama kurang lebih 6  jam dan proses induksi selama kurang lebih 6 jam, mulas yang kualami justru kadang timbul, kadang hilang. Bahkan, ada satu waktu kurang lebih 1 jam, aku tak merasa mulas sama sekali.  Melihat perkembangan mulasku yang tak signifikan ini, menjelang Subuh, suamiku diminta untuk menandatangani berkas persetujuan agar dokter dapat mengambil tindakan sectio  untukku.

Kembali ketakutan melandaku. Berbagai stigma miring tentang operasi yang tak berhasil, cukup membuat aku cemas. “Ohh, Allah. Kupasrahkan segalanya kepada-Mu. Jika jalan ini yang harus kulalui, ikhlaskan aku. Kumohon Allah, jika Kau takdirkan aku harus pergi,  izinkan aku dapat melihat bayiku walau sebentar,” lirihku tak henti.

Dokter pun bergerak secepat mungkin. Dalam waktu 10 menit semua alat  yang perlu dipasang di tubuhku untuk operasi sudah siap. Seluruh pakaianku sudah ditanggalkan dan sudah berganti dengan pakaian  khusus di ruang operasi. Hanya suamiku yang menemaniku saat itu. Kehadirannya sungguh membuatku merasa kuat dan mampu melewati proses ini dengan baik. Namun, terbayang wajah bapak, mama, mertuaku, adik-adikku, dan anak solehku, Faiq.  Bismillahirrahmanirrahim. “Hanya dengan mengingat-Mu, hatiku menjadi tenang,” doaku sambil menunggu dokter membawaku masuk ke ruang operasi.

Di tengah  waktu menanti dipanggil ke ruang operasi, beberapa kali aku harus menghela napas sekadar untuk melegakan diriku. Sesaat kemudian,  masuklah dokter muda nan cantik yang sejak kemarin menanganiku. Dia menanyakan keadaanku dan menyampaikan bahwa operasi untukku ditunda selama 1 jam ke depan karena ada beberapa pasien yang lebih mendesak untuk dioperasi terlebih dahulu. Aku dimintanya untuk bersabar. “Ya, dok. Terima kasih,” ucapku saat itu sambil membayangkan bayi yang akan aku lahirkan ini kelak akan menjadi dokter cantik seperti dokter yang menangani kelahirannya saat ini. Amin ya Allah.

Tetiba, 30 menit setelah dokter menyampaikan penundaan operasi untukku, Allah takdirkan aku merasa mulas hebat. Sakit sekali rasanya hingga aku dapat mengenali tanda-tanda si bayi minta dikeluarkan. Kuminta suamiku untuk segera panggilkan dokter. Kusampaikan bahwa rasa sakit ini berbeda dengan sakit sebelumnya. Akhirnya, dokter mengecek pembukaan yang sudah berlangsung. Tak lama, kulihat dokter keluar dengan tergopoh-gopoh dan setengah berteriak kepada teman-temannya di luar, “Ibu Ade sudah pembukaan 7, siapkan ruang dan alat.”

Secepat kilat  dokter itu  dan beberapa suster masuk kembali, mendorong tempat tidurku ke ruang sebelah tempat melakukan tindakan. Saat itu, aku benar-benar tak bisa berpikir apa-apa lagi selain bibirku tak henti mengucap istighfar karena sakit yang dirasa, luar biasa tak terperi. Hingga aku melihat sudah banyak dokter dan suster di ruangan ini. Berbagai alat sudah disiapkan. Aku diminta untuk mengejan beberapa kali  sambil diberi aba-aba.  Kulihat suamiku menemani di  atas kepalaku. Ada dokter yang mendorong bayi dalam perutku ke arah bawah. Ada dokter yang menarik bayiku dari bawah. Sungguh, aku harus berusaha sebaik mungkin agar aku bisa melihat bayiku. Akhirnya, tak lama kudengar pecah tangis bayiku. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah.

Bayi itu diberi nama Afnan Azkia Fakhira oleh suamiku. Artinya kira-kira, Anak perempuan cantik dan cerdas yang menjadi kebanggaan umat.

Bayi yang istemewa. Bayi perempuan yang berada  di tengah di antara  Abang dan adiknya. Si kecil Fakhira yang pandai mengedot ASI  dari botol  berbeda  dengan Abang dan adiknya yang hanya mau minum ASI langsung. Bayi yang   sempat divonis oleh dokter bahwa kaki sebelah kirinya agak cacat, tetapi ternyata pada usia 9 bulan dia sudah mampu berjalan.

Saat usianya 1 tahun sering sekali menangisiku ketika aku akan berangkat ke sekolah. Namun, dia begitu pandai dan tak merengek minta ikut jika malam hari aku mengajaknya bicara bahwa ia harus menjadi anak yang pintar. “Dede, besok Umi mau ke sekolah. Dede dadah aja, ndak usah ikut. Nanti kalau umi sudah pulang sekolah, kita main lagi,” begitu kalimat obrolanku dengannya hampir setiap malam agar ia tak selalu merengek setiap pagi. Alhamdulillah, dia bisa mengerti.

Cerita baik tentangnya lagi, pada  usianya yang  menjelang 2 tahun,   ia harus  disapih. Berbekal bacaan dari internet dan pengalaman teman-teman agar menyapih bisa berhasil,  selama 1 bulan terakhir hampir setiap malam aku mengajaknya  bicara. Hal ini kulakukan agar ia bisa memahami apa yang kumau dan  tidak seperti sulitnya ketika menyapih si Abang. “Dede, nanti abis tahun kedua, ndak boleh “nenen” lagi sama Umi. Dede kan   sudah besar supaya Dede makannya banyak, ya,” nasihatku kepada Fakhira kecil. Alhamdulillah, lagi-lagi segalanya berjalan mudah dan sesuai dengan rencana. Satu hari setelah ulang tahunnya, aku tidak perlu lagi menyusuinya.

Pada usia 3 tahun, Fakhira kecil senang sekali menyimpan barang-barang dengan rapi. Seringkali aku dan suamiku mencari barang yang tak dapat ditemukan, ternyata dapat ditemukan oleh Fakhira kecil. Tentu saja dia bisa menemukannya karena memang dia yang menyimpan dan merapikannya. Nenek dan Babanya pun begitu. Ada suatu kali neneknya mencari gunting, sudah dicari ke mana-mana, hasilnya tak ada. Begitu ditanyakan ke Fakhira kecil, dia dapat dengan mudah menunjukkan tempat gunting tersebut. Ternyata, di simpannya di lemari Babanya. Lemari itu tempat menyimpan alat-alat pertukangan. Terasa lucu sekali kala mengalaminya saat itu.

Ketika memasuki usia 4 tahun, Fakhira kecil meminta untuk sekolah. Kumasukkan ia ke TPA yang tak jauh dari  rumah, hanya berjarak lima rumah dari rumah neneknya. Uniknya, tak pernah sekali pun ia minta diantar ke sekolah. Aku atau neneknya menawarkan diri untuk mengantarnya ke sekolah, dia tak pernah mau. Dia hanya mengatakan bahwa dia tak perlu diantar ke sekolah karena sekolahnya sangat dekat. Hingga saat ada kegiatan manasik haji pun, kebetulan aku tak bisa mengantarnya. Dia pergi dengan guru dan teman-temannya. Walau sepulang manasik dia bercerita bahwa teman-temannya diantar oleh mama mereka. Hanya dia yang tak diantar. Ahh, Fakhira, ada nyeri  di hati kala hal itu kausampaikan.

Kala usianya 5 tahun, dia begitu senang memiliki adik laki-laki. Dia selalu membantuku menyuapi adik kecilnya. Membantuku mengambilkan celana, memakaikan adiknya baju, menemaninya bermain, membuat adiknya tertawa, dan senang sekali bila kuminta untuk ke warung membeli sesuatu.

Saat usianya 6 tahun, dia memintaku merayakan ulang tahunnya dengan mengundang teman-temannya ke rumahnya. Kukabulkan permintaannya saat itu karena sebentar lagi dia akan pindah sekolah ke SD. Dia  senang sekali bisa  mengundang teman-teman TK-nya, terutama karena dia mendapat banyak kado dari mereka.

Usia 7 tahun, Fakhira sudah duduk di kelas 1 SD. Banyak hal berubah ketika dia SD. Dia menjadi anak yang doyan sekali makan. Di sela-sela makan, dia selalu minta jajan dan makanan ringan.  Mungkin karena cukup berat jam sekolah yang harus dilaluinya. Berangkat pukul 06.15 dan tiba di rumah pukul 15.00. Alhamdulillah, dia bisa mengikuti pendidikannya di sekolah dengan baik. Dalam waktu kira-kira 9 bulan, dia sudah menyelesaikan juz 30 dan pernah terpilih sebagai El Hafidzah karena dia begitu bersemangat mengafal Alquran.

Kira-kira dua pekan sebelum ulang tahunnya ini, Kakak Fakhira memintaku untuk mendaftarkannya ke tempat pengajian karena dia ingin sekali bisa menghafal Alquran dengan baik. Aku pun menjanjikan kepadanya bahwa dia akan dibelikan sepeda baru yang bagus jika telah selesai menghafal juz 29.

Alhamdulillah, Kakak Fakhira begitu mandiri pada usianya yang hampir 8 tahun ini. Terkadang, ketika aku harus ke sekolah, sering aku menitipkan Abang dan adiknya kepada Kakak Fakhira. Kuminta dia yang menyiapkan makan untuk Abang dan adiknya. Sering aku pulang, tak ada lagi cucian piring karena telah dicucinya. Dia juga pandai membantuku menyapu, mengepel, melipat-lipat baju, dan senang sekali membantu mengiris-iris bahan mentah untuk dimasak.

Ahhh…tak kan habis cerita kebaikan tentangnya.

Sehat-sehat selalu ya, sayangnya Umi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun