Oktober selalu menjadi momentum untuk merenungkan perjalanan bangsa dan Negara. Sebab, Proklamasi Kemerdekaan pada 1945 sesungguhnya hanyalah “terminal” tekad berbangsa dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober tujuh belas tahun sebelumnya. Satu aspek yang perlu direfleksikan, bagaimana Pancasila menjadi “ruh” negara-bangsa Indonesia.
Sukarno pernah menegaskan, Pancasila sebagai ideologi hendaknya mengalami “penarikan ke atas” dan “penarikan ke bawah” (Roeslan Abdulgani, 2001). Dalam artian, di satu sisi mesti senantiasa diidealisasi dan diabstraksi sebagai payung bagi berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, Di sisi lain harus ada langkah manifestasi, derivasi, dan implementasi. Hanya dengan simultansi langkah di dua aras itu dimungkinkan tegaknya Negara Pancasila.
Sebagai sistem nilai, Pancasila kumpulan keutamaan puncak (virtues) yang lebih dari cukup untuk mewujudkan—meminjam Yudi Latif—Negara Paripurna. Secara partikularis, masing-masing sila adalah nilai luhur pilihan dari berbagai nilai universal yang hidup (living values) dalam rahim nusantara. Secara integratif, kesatuannya merupakan preferensi ideologis yang direnungkan mendalam oleh pendiri bangsa, tidak saja substansinya, tapi juga strukturnya.
Transformasi Ideologis
Namun benarkah sistem nilai filsafat negara-bangsa(baca: Pancasila) tersebut telah bertransformasi menjadi ideologi? Secara koeksistensial terdapat tiga anasir elementer dalam transformasi filsafat menjadi ideologi: logos, pathos, dan ethos (Kunto Wibisono, 1996). Pada aras paling dasar sebuah pemikiran filsafat harus menjadi sistem pengetahuan: diketahui, dipahami, diteorisasi, dan direinterpretasi secara progresif. Di samping itu, ada keharusan penghayatan, sehingga logos Pancasila mewujud sistem keyakinan atau kepercayaan (belief system). Dengan dua hal tersebut, akan mudah terwujud sistem perilaku (ethical system). Dengan demikian, sempurnalah ideologi.
Memakai kerangka tersebut, dapat direfleksikan sekaligus dievaluasi bagaimana kita memperlakukan Pancasila sebagai philosofische grondslag. Di level logos saja, masih sangat jauh dari ideal. Sedikit sekali ikhtiar untuk “menarik ke atas” Pancasila sebagai sumber epistemik.
Prof Mubyarto, guru penulis saat bersama berbagai elemen kaum muda Yogyakarta mengelola Sekolah Ekonomi Rakyat (SER), bekerja keras mengonseptualisasi terma yang digagas Emil Salim: Ekonomi Pancasila. Muby bersama para ekonom progresif lainnya gigih merumuskan Pancasila sebagai panduan moral dalam pembangunan ekonomi dan ekonomika.
Sayang, konsep ekonomi Pancasila lebih sering ditertawakan. Para ekonom dan pemangku kebijakan lebih percaya pada fundamentalisme pasar dibandingkan nilai inti Pancasila untuk memandu ekonomi dan ekonomika. Hingga wafat, beliau “kesepian”, bahkan di fakultasnya sendiri.
Pancasila mestinya juga menjiwai pengembangan ilmu politik. Satu dari Trisila yang diabstraksi Sukarno dari Pancasila adalah sosio-demokrasi. Ilmuwan politik tidak banyak mengeksplorasi gagasan tersebut. Hingga kita terpesona mendapati negara-negara Skandinavia yang menganut social democracy (sering juga disebut social market) dalam dekade terakhir mendominasi nomor-nomor buncit dalam Indeks Negara Gagal.
Bahkan, belakangan akademisi politik terkagum-kagum dengan deliberative democracy. Para ilmuwan mulai mendiskusikan dan mendiseminasikannya di kelas-kelas ilmu dan teori politik. Bukankah demokrasi permusyawaratan sudah menjadi preferensi para pendiri bangsa 66 tahun lalu dan nyata tersurat dalam sila keempat?
Lalu, bagaimana dengan elemen pathos dan ethos? Sami mawon. Ada ketidakpercayaan pada Pancasila, sehingga Pancasila belum menjadi pedoman perilaku. Fenomena fundamentalisme agama merepresentasi ketidakpercayaan itu. Intoleransi di tengah masyarakat-bangsa menjelaskan ignoransi Pancasila sebagai pedoman perilaku. Pancasila belum “ditarik ke bawah”.
Panduan Nilai
Bagaimana restorasi ideologis harus dimulai? Relevansi dan aktualitas nilai fundamental Pancasila tidak perlu diperdebatkan lagi. Keberagamaan plural, penghormatan pada kemanusiaan, orientasi terhadap bangsa sendiri, demokrasi perwakilan dan permusyawaratan, serta kemakmuran untuk seluruh warga merupakan nilai luhur pilihan. Menarik Pancasila ke fase perdebatan jelas kemunduran belaka.
Namun, diperlukan instrumentasi untuk mewujudkan nilai dasar tersebut. Geitslichenhintergrund Pancasila sudah terkonstruk dalam UUD 1945. Maka pasal-pasal UUD yang tidak selaras dengan core values Pancasila mesti direamandemen. Lalu dibutuhkan UU dan regulasi dibawahnya yang konsisten melaksanakan nilai dasar Pancasila dan UUD 1945 tersebut.
Berbagai peraturan perundang-undangan bidang pendidikan, migas, ketenagalistrikan, air, ketertiban umum dan sebagainya, baik nasional maupun daerah, berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sedikit diantaranya sudah dicabut dan dibatalkan, tapi sebagian besar lainnya masih berlaku. Dengan nilai instrumental yang konsisten, nilai fundamental Pancasila akan manifes dalam praksis kebernegaraan.
Thus, radikalisasi Pancasila sesungguhnya merupakan peneguhan arah Negara-bangsa kita. Penjangkaran ideologis itu hanya dimungkinkan bila negara sungguh-sungguh dijalankan dengan berpanduan pada nilai-nilai Pancasila. Sebuah survey menyatakan, 71,8 persen warga negara berpendapat bahwa pemimpin-pemimpin negeri ini semakin tidak jelas dalam menentukan arah Negara. Berapa persen lagi yang dibutuhkan untuk membangkitkan kesadaran mereka?
Jika Pancasila tidak ditegakkan oleh para penyelenggara negara sebagai pedoman berbangsa dan bernegara, maka kewajaran semata bila warga negara mengimajinasikan wajah negara-bangsa “yang lain”, bukan? (*)
*Dari Opini Harian Jogja, 14 Oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H