Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Politik

Krisis Legitimasi SBY

2 Maret 2011   04:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:09 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa legitimasi SBY menukik tajam di periode kedua pemerintahannya? Ada beberapa penyebab. Pertama, kegagalan mengkapitalisasi legitimasi elektoral menjadi legitimasi politik. Kita tahu, SBY terpilih melalui pemilihan langsung dengan jumlah dukungan fantastis, hampir 61 persen suara nasional. Dukungan kekuatan di DPR juga kuat. Partai Demokrat menguasai hampir 27% kursi. Dengan legitimasi elektoral demikian, mestinya SBY menunjukkan kepercayaan diri politik yang tinggi. Faktanya, SBY tetap ingin merangkul sebanyak mungkin kekuatan politik formal, bahkan Partai Golkar yang sejak awal tidak mendukung SBY, kecuali sebagai perorangan. Kebutuhan berlebihan SBY pada dukungan politik di luar Demokrat justru mengangkat bargaining position kawan sekaligus lawan politik mereka.

Kedua, karakter kepemimpinan "payung". Berlapisnya lingkaran di sekitar kekuasaan SBY menunjukkan gayanya yang ingin mengayomi semua, terutama orang-orang yang berjasa membantu SBY menaiki tangga politiknya. Dalam banyak kegaduhan politik dan hukum yang mengganggu agenda penyejahteraan, rakyat berharap SBY hadir sebagai pemimpin tegas, kuat, dan berani mengambil resiko. Banyak fakta menunjukkan fenomena sebaliknya, banyak tim, komisi, komite, atau satgas,yang menggantikan secara tidak langsung peran kepemimpinan SBY.

Ketiga, senjakala politik pencitraan. Marketing politik melalui pencitraan merupakan bagian dari politik modern. Inti dari pencitraan sesungguhnya sosialisasi politik. Politik pencitraan harus berjalan beriringan dengan rekrutmen politik. Rekrutmen politik yang baik akan menghasilkan politisi baik. Pencitraan hanya memoles agar politisi baik lebih tersoalisasi. Pencitraan bukan kamuflase dan kebohongan. Emas tetap emas. Namun bila loyang disebut emas maka telah terjadi kebohongan, dan jelas menurunkan legitimasi sang politisi. Dalam konteks ini SBY, atas nama pencitraan, sering mem-blowup sesuatu yang sesungguhnya jauh dari realitas. Itu yang disebut tokoh lintas agama sebagai kebohongan.

Lalu, apa yang mestinya terjadi selanjutnya? Seberapapun rendahnya legitimasi kepemimpinan SBY, menurut Konstitusi dia masih punya waktu hingga 2014. Sebaliknya, sesuai konstitusi warga negara juga memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat, termasuk ekspresi gelombang kekecewaan sepanjang nir anarki. Demi menjaga demokrasi yang masih saja dalam transisi, respon seluruh elemen bangsa atas situasi aktual yang masih jauh dari cita-cita konstitusi mesti tetap berada dalam batas-batas konstitusional. Penting untuk diingat, pemakzulan dan pengunduran diri merupakan bagian dari berbagai instrumen yang konstitusional.

*) Postingan ini diambil dari tulisan saya di Harian Jogja, tanggal 4 Februari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun