Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Catatan

(Masih) Tentang Pak Beye dan Politiknya

27 September 2010   09:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:56 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang “tidak penting” itu akhirnya menjadi sangat penting. “Pak Beye dan Politiknya” (PBP)-nya Mas Inu seperti kotak Pandora, yang mendedahkan berbagai detil tentang elit politik (terpenting) negeri ini.

Saya mendapatkan PBP-nya Mas Inu pada hari Rabu (22/9/2010) di Toko Buku Toga Mas Jl Affandi Sleman DI Yogyakarta, beberapa menit setelah toko itu buka, jam 08.30 pagi. Mestinya saya sudah dapat sehari sebelumnya, tapi saya datang terlalu pagi. Maksud hati biar sekali jalan menuju kantor.

Bandrol yang tertera di sampul plastik pembungkus buku Rp 75.000, diskon 15%. Harap dicatat, saya ke Toga Mas untuk membeli bukunya Mas Inu, bukan berburu diskon. Soal harga, membaca postingan Mas Herman Hasyim Rabu siang itu (kalau tidak salah) tentang bandrol sekuel kedua Tetralogi Sisi Lain SBY ini di Gramedia Matraman Jakarta yang (dikeluhkan) naik dibandingkan sekuel pertama, jadi Rp 64.000, membuat saya mengernyitkan dahi. Bukan perbedaan bandrol itu yang saya ratapi. Justru perbedaan itu menguatkan dugaan saya selama ini, bahwa diskon yang dijanjikan dalam dunia sale industri (termasuk perbukuan), telah melalui proses “mark up” terlebih dahulu. Harga net-nya sebenarnya tidak banyak berubah. Diskon merupakan perangkap bagi orang-orang konsumeris yang gila sale dan diskon (lebih tepatnya gila shopping). Kalau jiwa konsumerisnya untuk buku, dahsyat juga. Saya sendiri termasuk yang “agak” gila buku. Tapi belakangan budget untuk membeli buku tidak banyak kemajuan. Soalnya kini banyak penyedia buku gratisan di dunia antah-berantah. Dengan kebaikan hati gigapedia.com yang menyediakan jutaan buku gratis, anggaran buku hanya bergeser dari pembelian ke pencetakan. Mungkin tak lagi, kalau nanti saya punya mesin pembaca naskah digital.

Begitu saya share informasi (sekaligus pamer—bantu masarin) buku “menghibur”(dikasih tanpa kutip karena sesungguhnya mengajak ngelus dada)-nya Mas Inu, teman saya komentar,

“Di Toga Mas dijual copy-annya lho!”.

“Iya pa?” sergahku.“Putihan gitu?”

“Nggak juga, krem krem gitu deh!”

“Harganya?”

“48.000..”

Gubrakkk!!

“Oalah, itu sekuel pertamanya neng. Judulnya Pak Beye dan Istananya..”. Maklum temenku bukan kompasianer. Tapi sudah kuajak gabung. Dia mulai baca-baca. Dia tertawa ngakak membaca postingan beberapa kompasianer, antara lain Sejarah Kutangnya Cut Tari.

Kembali ke PBP-nya Mas Inu. Saya butuh waktu membaca sampai tuntas beberapa hari setelah membeli. Rabu mestinya langsung baca. Namun, tiap mau mulai membaca teman-teman sekantor pada nyela bentar lihat”. Tiga orang melakukan hal yang sama. Kuurungkan membaca. Setelah itu ful jadwal ngajar. Aku mulai membaca Jum’at sore. Sambil nunggu antrian untuk suatu kepentingan di sebuah kantor di Jl Adisucipto. Begitu sampai antrian saya, baru dua tulisan Mas Pepih di bagian awal yang saya selesaikan. Setelah itu belum bisa baca lagi, harus menyiapkan tulisan untuk bahan raker penguatan kelembagaan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Yogyakarta. Tulisan sebagai pengganti kehadiran saya, sebab di jam yang sama saya harus berada di sebuah diskusi di tempat lain.

Saya menuntaskan menikmati tulisan-tulisan 431-xxviii halaman Mas Inu tadi pagi, jelang subuh, tentunya setelah saya tidur dulu sekitar tiga jam-an. Weekend ini banyak diisi PBP, di samping diskusi akademik di sabtu pagi, menghibur (dan melindungi) putri kecil saya di hari sabtu sore yang penuh kepanikan karena jogja dihajar angin ribut dan puting beliung (media massa cetak dan elektronik sudah banyak mengabarkan soal korban kedahsyatan jenis puting yang satu ini), menata ulang pot-pot tanaman dan merotasi lokasi beberapa tanaman pasca “belaian” angin ribut, dan wisata kuliner sangat singkat (lepas tengah hari, mendung kembali menghitam) di sebuah rumah makan di kawasan Gejayan.

Seperti saya tulis pada pengantar tulisan sangat tidak penting ini (ketularan mas Inu), PBP sangat penting, terutama bagi orang-orang yang cinta Indonesia (dan karenanya cinta presidennya). Beberapa catatan gado-gado saya share di postingan ini.

Pertama, (politik) kepemimpinan nasional di negara kita dijangkiti penyakit postmodern bernama “narsisme”. Tidak usah bicara ideologi, terlalu tinggi. Apalagi, dalam tingkatan tertentu, saya percaya ideologi bukan faktor determinan dalam politik nasional (Seingat saya, Mas Inu bahkan dua kali menegaskan bahwa ideologi di Indonesia sudah mati). Kepemimpinan nasional (yang dipresentasikan oleh fenomena Pak Beye) digeneratori oleh hasrat penguasa untuk tampil “sempurna” di hadapan publik. Ini kesimpulan saya. Anda boleh berbeda pandangan. Lalu apa bedanya dengan narsisme kita-kita yang ingin nampang sempurna di social media—meski ya ga gitu-gitu amat? Lebih jauh lagi, bukankah itu serupa megalomania yang patologis itu? Gejala narsisme dan megalomania itu bisa kita baca dengan sangat kentara dalam sajian-sajian Mas Inu. Harap dicatat, memberikan porsi yang teramat dominan untuk yang positif-positif tentang diri di ruang lihat, dengar dan rasa menurut saya berbahaya. Kenapa? Sebab, dari situlah otoritarianisme sesungguhnya bermula.

Kedua, politik modern (yang ditandai dengan meluasnya space untuk politik pencitraan, konsultansi politik, dan political marketing) menempatkan bungkus lebih penting dari isi. Lihatlah bagaimana “kepura-puraan” dalam kampanye yang diperagakan oleh Presiden yang mau nyapres. Seorang kepala negara terpaksa (dengan sadar) melakoni dialog “seolah-olah” dengan rakyat jelata, padahal yang diajak dialog anggota tim kampanyenya sendiri. Seolah-olah itu artifisial, bahasa vulgarnya: manipulatif dan menipu. Jika penipuan (baca: keseolah-olahan) yang dilakukan secara sadar (baca: by design) itu bersambut dengan penerimaan pihak yang juga sadar sedang di-seolah-olah-i, sempurnalah kerusakan isi atas nama bungkus.

Ketiga, politik tidak lagi sebagai seni mengelola kemungkinan. Politik yang ditampilkan oleh Pak Beye merupakan seni (terlalu halus sebenarnya istilah ini) menutup sebanyak mungkin kemungkinan. Kemungkinan berbeda, kemungkinan negosiasi, kemungkinan salah, kemungkinan tidak setuju, dan sejenisnya ditutup sekencang mungkin. Kemungkinan berbeda rasa dalam kampanye-kampanye SBY ditekan. Semua mengikuti rasa Jakarta. Kesalahan? Jangan tanya. Kemungkinan itu ditutup. Padahal salah itu manusiawi. Ya, to err is human. Syamsul Bahri yang dalam sumpahnya sebagai KPU blepotan (hlm. 311-312), manusiawi, apalagi sumpah bagi anggota KPU yang berkasus itu untuk pertama kalinya. Ga usah jauh-jauh ke Obama yang juga salah dalam sumpahnya, Pada 21 Oktober tahun lalu, Taufik Kiemas juga blepotan-nya gak ketulungan ketika bertugas memimpin forum MPR untuk pertama kalinya sebagai Ketua MPR dengan agenda pelantikan Presiden/Wakil Presiden. Dua kali dia salah menyebut nama lengkap Presiden. Manusiawi saja asal kesalahannya tidak fatal, menyebut jenis kelamin Presiden perempuan, misalnya. Atau UUD 1945 dia sebut UUDS 1950. Apalagi YBS (yang bersangkutan) mengakui khilaf, alasannya.. “Di otak saya SBY, SBY”..

Keempat, kemesraan penguasa dan pengusaha tergambar gamblang. Mas Inu lewat PBI (Pak Beye dan Istananya) dan PBP memberikan bukti otentik TTM itu. Keistimewaan hubungan Istana dengan Sampoerna tersirat dalam foto mobil Rolls-Royce 234. “Saham” Tommy Winata dan Hartati Murdaya? Puluhan kali disebut mas Inu. Soal ini sudah banyak yang tahu sebelumnya. Istana dengan Hartono Tanoesdibjo? Foto Bentley dengan nomor polisi B 65 HT di Istana (hlm. 366) menjelaskan kemesraan relasi itu. Kita bisa menambahkan Ical kalau kita mau. Sejarah akan terus berulang di negeri ini. Kita belum lupa bahwa gurita KKN di era orde baru bernafas dari kemesraan penguasa dan pengusaha.

Kelima, kekurangan buku ini? Banyak salah ketik. Sebagaimana lazimnya buku bunga rampai, dibungkus seketat apapun ada potensi overlap sana-sini. Usul, sekuel berikutnya perlu juga diberi epilog, untuk membantu memancing klimaks bagi yang sulit klimaks. Tulisan sebernas PBP, meski ringan, layak mendapat peneguhan teoretik dalam bentuk epilog. Kekurangan lain, silahkan yang sudah baca menambahkan.

Satu lagi, yang menarik, di banyak catatan ringannya Mas Inu sering mengajak pembaca melatih ingatan atau membiarkan interpretasi terbuka. Sebagai pemilik latar filsafat, dia juga banyak mengajak kita merenung. Saya ikut berpikir sesuai harapannya. Yang ini juga sempat saya renungkan. Mas Inu menulis, “…Yang cuma-cuma kita terima apalagi yang baik memang seharusnya kita bagikan kepada orang lain secara cuma-cuma juga. Itu salah satu prinsip saya.” (hlm. 233) Namun, mengapa setelah menerima cerita-cerita Mas Inu, uang saya berkurang Rp 63.750? Oh, saya sudah tahu jawabannya. [*]

Telapak Kaki Gunung Merapi, 27 September 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun