Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kediktatoran Digital dan Kemunduran Kualitas Hidup

3 Mei 2022   14:28 Diperbarui: 3 Mei 2022   15:56 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Harari dalam Lesson 21, dunia teknologi informasi membanjiri kita dengan informasi-informasi yang tidak relevan dan kredibel. Maka harusnya kejelasan lah satu-satunya kekuatan.

Artinya negara-negara maju dengan tingkat literasi yang bagus saja agak kerepotan dengan derasnya arus informasi yang tidak relevan tersebut. Bagaimana dengan kita yang tertinggal sangat jauh dari ilmu pengetahuan? Tentu semakin membuat tenggelam. 

Kelemahannya karena keterbatasan pengetahuan. Rata-rata kita tak mampu melakukan penyelidikan terhadap kebenaran suatu informasi. Mudah tersulut begitu menerima berita yang belum lengkap. Padahal screenshoot, potongan berita, video, maupun instastory itu sudah di make over sedemikian rupa untuk memancing emosi netizen. Sekaligus memancing google adsense atau keuntungan bagi pihak lain.

Parahnya lagi, rata-rata platform media juga ikut andil menyajikan informasi-informasi kurang bermutu demi mengejar traffic, page views, dan viralitas. Penyebabnya, karena pasarnya ada. Artinya masyarakat kita juga hobby mengkonsumsi berita-berita datar yang tidak memberi efek penguatan dan pengayaan literasi yang positif.

Konten-konten yang berorientasi terhadap ilmu pengetahuan sepi peminat. Apa sebabnya? Menurut Tom Nichols dalam The Death Of Expertise, rata-rata kita lebih suka berpikir dalam cerita ketimbang fakta, angka, apalagi rumus persamaan. Semakin pendek cerita seperti potongan snack video, tiktok, reels, dan sebagainya itu semakin diminati. Karena tidak perlu berpikir dalam untuk membaca atau menontonnya.

Begitulah. Di saat pandemi, kondisi keuangan yang memburuk, masyarakat sepertinya butuh imajinasi dan hiburan. Berkhayal menjadi artis-artis dan influencer yang terlihat nyaman hidupnya. Padahal penghasilan drastis yang naik tersebut ditopang oleh followers dan subscribers-nya yang tetap susah hidup mereka sepanjang peradaban.

Harari menguatkan proposisinya bahwa Big Data telah menciptakan kediktatoran digital. Di mana dunia dikuasai oleh segelintir elit pemilik platform-platform raksasa media sosial dan e-commerce. Mereka mentransfer otoritas manusia menuju suatu sistim yang disebut algoritma. Raksasa itu adalah Google, Facebook (yang anda pelototi saat ini), Baidu, dan juga Tencent.

Padahal sewaktu revolusi agrikultur, tanahlah yang merupakan aset paling penting di dunia. Siapa yang memiliki tanah, maka dia mengendalikan semuanya. Karena itu terciptalah ketimpangan antara bangsawan dan rakyat jelata. Kemudian pada era revolusi industri aset penting beralih kepada mesin dan pabrik. Siapa yang menguasai mesin dan pabrik, ia juga mengendalikan semuanya. Lalu terciptalah kapitalis dan kaum proletar.

Begitu era revolusi teknologi informasi atau abad 21 saat ini, aset penting tadi bergeser kepada pemilik Big Data, atau pemegang data. Tanah dan mesin tidak lagi menjadi aset penting karena politik akan sibuk mengontrol aliran data. Namun dari ketiga era tersebut, hasilnya tetap sama. 

Aset dipegang oleh segelintir atau sedikit orang, yang menurut Harari itu akan membuat kita terpecah menjadi spesies yang berbeda. Yaitu spesies robot yang dikendalikan pikirannya oleh algoritma platform media sosial dan e-commerce tadi. Kita merupakan produk mereka. Karena mereka berhasil menangkap apa-apa saja yang menjadi perhatian dan kebutuhan kita.

Tak terbayangkan di masa depan, kebutuhan kita tidak menunggu otak kita yang menanyakannya. Ketika Anda ingin membeli mobil, Anda tinggal bertanya, "Hai, google. Kira-kira jenis mobil apakah yang cocok untuk saya?". 

Dalam hitungan detik google akan menyebutkan jenis mobil yang cocok secara terperinci, berdasarkan minat interaksi Anda selama di media sosial, termasuk aktifitas belanja Anda pada e-commerce atau start up. 

Saat ini saja, di gadget kita selalu ada laporan per periodik dari google tempat mana saja yang kita kunjungi secara persisi lengkap bersama foto yang kita ambil saat di lokasi tersebut. Google memata-matai kita kemana pun kita pergi selama lokasi pada peta pada gadget kita aktifkan.

Sungguh satu hasil dari ketiga hal yang sangat dibenci oleh Karl Marx. Yaitu suatu kondisi, ketika tidak ada lagi pemerataan, kesetaraan, dan juga keadilan. Karena komoditas hanya berada dalam genggaman beberapa tangan atau kelompok saja.

Makanya lanjut Harari, kita manusia menderita bukan karena eksploitasi seperti pada revolusi agrikultur dan industri. Tapi oleh irelevansi (saya tambahkan lagi; irasionalisasi). Cuman ya tenang saja. Sapiens itu terus belajar, menyesuaikan diri, dan biasanya tetap bertahan dalam kondisi apa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun