Menurut Harari dalam Lesson 21, dunia teknologi informasi membanjiri kita dengan informasi-informasi yang tidak relevan dan kredibel. Maka harusnya kejelasan lah satu-satunya kekuatan.
Artinya negara-negara maju dengan tingkat literasi yang bagus saja agak kerepotan dengan derasnya arus informasi yang tidak relevan tersebut. Bagaimana dengan kita yang tertinggal sangat jauh dari ilmu pengetahuan? Tentu semakin membuat tenggelam.Â
Kelemahannya karena keterbatasan pengetahuan. Rata-rata kita tak mampu melakukan penyelidikan terhadap kebenaran suatu informasi. Mudah tersulut begitu menerima berita yang belum lengkap. Padahal screenshoot, potongan berita, video, maupun instastory itu sudah di make over sedemikian rupa untuk memancing emosi netizen. Sekaligus memancing google adsense atau keuntungan bagi pihak lain.
Parahnya lagi, rata-rata platform media juga ikut andil menyajikan informasi-informasi kurang bermutu demi mengejar traffic, page views, dan viralitas. Penyebabnya, karena pasarnya ada. Artinya masyarakat kita juga hobby mengkonsumsi berita-berita datar yang tidak memberi efek penguatan dan pengayaan literasi yang positif.
Konten-konten yang berorientasi terhadap ilmu pengetahuan sepi peminat. Apa sebabnya? Menurut Tom Nichols dalam The Death Of Expertise, rata-rata kita lebih suka berpikir dalam cerita ketimbang fakta, angka, apalagi rumus persamaan. Semakin pendek cerita seperti potongan snack video, tiktok, reels, dan sebagainya itu semakin diminati. Karena tidak perlu berpikir dalam untuk membaca atau menontonnya.
Begitulah. Di saat pandemi, kondisi keuangan yang memburuk, masyarakat sepertinya butuh imajinasi dan hiburan. Berkhayal menjadi artis-artis dan influencer yang terlihat nyaman hidupnya. Padahal penghasilan drastis yang naik tersebut ditopang oleh followers dan subscribers-nya yang tetap susah hidup mereka sepanjang peradaban.
Harari menguatkan proposisinya bahwa Big Data telah menciptakan kediktatoran digital. Di mana dunia dikuasai oleh segelintir elit pemilik platform-platform raksasa media sosial dan e-commerce. Mereka mentransfer otoritas manusia menuju suatu sistim yang disebut algoritma. Raksasa itu adalah Google, Facebook (yang anda pelototi saat ini), Baidu, dan juga Tencent.
Padahal sewaktu revolusi agrikultur, tanahlah yang merupakan aset paling penting di dunia. Siapa yang memiliki tanah, maka dia mengendalikan semuanya. Karena itu terciptalah ketimpangan antara bangsawan dan rakyat jelata. Kemudian pada era revolusi industri aset penting beralih kepada mesin dan pabrik. Siapa yang menguasai mesin dan pabrik, ia juga mengendalikan semuanya. Lalu terciptalah kapitalis dan kaum proletar.
Begitu era revolusi teknologi informasi atau abad 21 saat ini, aset penting tadi bergeser kepada pemilik Big Data, atau pemegang data. Tanah dan mesin tidak lagi menjadi aset penting karena politik akan sibuk mengontrol aliran data. Namun dari ketiga era tersebut, hasilnya tetap sama.Â
Aset dipegang oleh segelintir atau sedikit orang, yang menurut Harari itu akan membuat kita terpecah menjadi spesies yang berbeda. Yaitu spesies robot yang dikendalikan pikirannya oleh algoritma platform media sosial dan e-commerce tadi. Kita merupakan produk mereka. Karena mereka berhasil menangkap apa-apa saja yang menjadi perhatian dan kebutuhan kita.