Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilmu Tafsir Al-Qur'an dan Hadis versus Hermeneutika

30 Januari 2022   14:13 Diperbarui: 2 Februari 2022   16:18 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hermeneutika yang disebut baru muncul dan populer pada abad ke-19 itu adalah hermeneutika modern. Itupun bukan abad ke-19, tapi 17, yaitu mulai Scheleiermacher sampai Derrida. Sebelumnya ada hermeneutika abad pertengahan yang disebut pada tahun 300-an, dan hermeneutika abad awal ketika gereja-gereja melakukan interpretasi atas teks Alkitab Perjanjian Lama di tahun 100-an masehi.

Abad awal (selisih masehi dan hijriyah sekitar 600 tahun) yang dimaksud (tahun 100-an masehi) ketika itu, Al Quran dan Hadis belum ada, baru 500 tahun setelahnya ada. Pada awal abad itu sudah dikenal metode hermeneutika. Bahkan jika mundur jauh kebelakangnya lagi di Yunani, hermeneutika sudah digunakan untuk menafsir pesan-pesan dewa, itulah kenapa nama hermeneutika diambil dari nama dewa penafsir yaitu dewa Hermes. Artinya ilmu hermeneutika jauh sudah ada sebelum Islam, dalam hal ini sebelum Al Quran dan Hadis ada.

Dalam perkembangan sejarahnya terdapat penyempurnaan ketika melakukan metode analisa oleh setiap tokoh, namun secara garis besar dan substantif hampir sama. Jangankan antar agama, dalam Islam sendiri terdapat perbedaan metode takhrij ushul fiqh. Munculnya empat imam mazhab sunni atau aliran dalam Islam, adalah bukti nyata adanya perbedaan dalam metode tafsir dan interpretasi.

Tafsir (Al Quran-Hadis) dan hermeneutika itu sebenarnya juga tidak jauh beda, melakukan proses interpretasi teks. Tujuan akhirnya sama; memahami. Orang yang memahami belum tentu melakukan interpretasi. Tapi yang melakukan interpretasi sudah pasti memahami. Lebih luas lagi dalam metode hermeneutika kritis semua bisa dianggap teks, apakah itu gambar, simbol, tanda, bahasa verbal, juga sikap. Semua bisa di interpretasi.

Dalam hal ini, interpretasi teks telah berkembang dari waktu ke waktu, terus mengalami perbaikan, menjadi sebuah kompetensi atau keahlian yang dipagari dengan metode dan disiplin tertentu. Jika demikian, kita dapat mengatakan bahwa seorang penafsir harus menunjukkan kompetensi dalam memahami apa yang akan dia kaji, termasuk memasukkan semua variabel pendukung yang dianggap perlu.

Ketika adanya perdebatan (diskusi) kajian tentang Hadis Qardawi di kalangan ilmuwan Islam, yang diteliti oleh salah satu ustadz atau periset Islam pada sebuah jurnal akademis, tentu kita tidak bisa gegabah mengambil kesimpulan hingga menjustifikasi bahwa interpretasi peneliti otomatis secara konteks menyebutkan Qardawi mencontoh metode hermeneutika. Karena antara tafsir Islam dan Hermeneutika secara umum ada beberapa metode substantif yang sama antara cara menafsir dalam ushul fiqh dengan kaidah hermeneutika, yaitu; 1) pembuat teks (sanad), 2) isi teks, dan 3) lingkungan ketika teks dibuat.

Ketika ada beberapa penggunaan metode yang sama saat melakukan interpretasi/tafsir, apakah Qardawi lantas dianggap menggunakan hermeneutika? Itu masih prematur. Mungkin saja, peneliti tidak bermaksud seperti itu. Problem dasarnya terletak sebenarnya bukan pada perkara metode atau ijtihad, tapi lebih karena hermeneutika dianggap bukan produk Islam, apalagi sejarah awal hermeneutika memang digunakan untuk menafsir Alkitab lebih duluan.

Problemnya sederhana, adanya pengkotak-kotakan karena tidak mau dianggap meniru. Andaikan meniru, itu hanya sekedar cover dan anggapan. Misalkan jika seorang peneliti atau penafsir Kristen mencoba mengkaji salah satu Firman Tuhan dalam Alkitab menggunakan metode tafsir Al Quran dan Hadis itu sah-sah saja, karena tujuan akhirnya adalah untuk memahami, atau mungkin melakukan komparasi. Apalagi metode atau ijtihad dalam mengkaji suatu permasalahan itu tidak ada paten kepemilikan, melainkan sekedar klaim sejarah saja.

Sebenarnya, diskursus mengenai penggunaan metode ini tidak perlu dipertajam oleh kalangan muslim. Dalam ranah saintifik, penggunaan metode yang diambil dari berbagai sumber untuk menguatkan kajian itu malah perlu. Walau pada beberapa metode analisa ada sedikit perbedaan, kita tidak bisa langsung mengharamkan hermeneutika digunakan sebagai metode interpretasi, hanya karena ia pertama digunakan oleh penafsir non muslim. Tafsir dalam Islam dan hermeneutika itu hanya beda di penamaan saja, definisinya sama.

Kita seringkali juga latah. Begitu anti terhadap trilogi isme seperti; sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme (kemudian menyingkatnya dengan sebutan salah satu penyakit yaitu Spilis) padahal kita sendiri belum paham definisinya secara konteks baik etimologi maupun epistemologi.

Dalam pandangan kritis, setiap pemikir yang skeptis lalu mendalamkan (membuka dan membebaskan) pemikirannya untuk mengkaji suatu hal, sebenarnya dia liberal. Sepanjang ia bertanggungjawab secara akademis dan tidak melanggar regulasi negara apalagi agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun