Langkah koreksi terhadap kontrak karya baru terjadi setelah berjalan selama 51 tahun masa eksploitasi, ketika pemerintahan dipimpin Presiden Joko Widodo dengan dilakukannya divestasi saham 51,2% pada 2018 melalui PT. Inalum. Langkah negosiasi divestasi itupun memerlukan waktu yang sangat panjang, sulit, dan berliku. Disamping tekanan politik dari dalam negeri sendiri oleh pengusaha-pengusaha orde baru tersisa. Ada beberapa poin dalam kontrak karya yang dibuat dan ditandatangani pada 1967 itu membuat Indonesia berada dalam posisi tawar sangat lemah.
Sebuah tanda tanya, bagaimana mungkin suatu kontrak karya besar jangka panjang, isi dan aturan-aturannya dibuat hanya dalam waktu 1 bulan pasca pelantikan Presiden tanpa ada negosiasi, koreksi-koreksi, keberatan-keberatan, dan evaluasi oleh si pemilik tanah, air, udara, dan gunung sampai 7 kali berganti Presiden? Mengoreksinya pun memerlukan waktu sangat panjang setelah 51 tahun emas, nikel, dan tembaga di perut bumi Papua di kuras. Tapi setidaknya, koreksi itu adalah jalan pembuka dan pencapaian luar biasa, walau kita baru dapat setengahnya.
Ini yang semakin mensahihkan, bahwa gerakan kapitalisme itu sangat lentur menghantam komunisme, bahkan 'bisa juga' mengkambinghitamkannya.
Sungguh, dua ideologi yang secara teoritis berhadapan dan saling baku hantam, namun dalam praktiknya ketika kekuasaan diraih di suatu negara, kedua ideologi ini bisa saling mengisi dan bermesraan. Demi apa? Kepentingan ekonomi/materialistis.
| dicitasi dari:
Freeport, Bisnis Orang Kuat dan Kedaulatan Negara
(Ferdy Hasiman, 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H