Yang jadi persoalan, legislatif yang tugas utamanya adalah membahas, menyetujui, dan mengawasi, dalam sistem politik negara-negara yang ber-platform presidensil, legislatif itu hanya sekedar corong yang hampir tidak mempunyai peran signifikan. Apalagi jika komposisi dalam struktur legislatif sendiri mayoritas dikuasai anggota parlemen dari partai yang punya 'hierarki' kuat dengan eksekutif. Akhirnya peran legislatif pun menjadi tumpul, tidak sehat, melahirkan produk yang tidak eksponensial, karena lebih berorientasi kepada kepentingan individu serta kelompok.
Eksekutif sebagai pemegang anggaran adalah eksekutor. Hal ini mempunyai definisi bahwa setiap ruang yang dilakukan eksekutor dalam pengelolaan anggaran itu bisa berlaku secara otoritarianism. Artinya kekuasaan untuk mengajukan, mengubah, bahkan menggeser total anggaran itu mutlak ada pada eksekutor atas nama tim anggaran. Sekalipun praktik tersebut dilakukan di tengah proses pelaksanaan, yang akan dilegalisasi saat perubahan anggaran pada akhir semester.
Mirisnya, dengan birokrasi yang njelimet, ditambah kemampuan analisis keuangan yang rendah dalam membaca seluruh struktur anggaran yang diajukan, mengakibatkan posisi tawar ini melemah. Apalagi dari segi pengelolaan keuangan negara, pemberian dana aspirasi sebenarnya tidak lah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dewan, tidak juga memiliki dasar hukum yang kuat, bahkan memiliki kecenderungan melampauinya.
Hanya saja, dalam politik dagang sapi dan gentong babi, eksekutor sendiri sangat paham 'ukuran' legislator. Dengan iming-iming pork barrel yang akan didistribusikan secara merata, tentu tidak ada pilihan selain membungkukkan punggung kepada eksekutif. Walaupun mereka juga tahu, penyaluran anggaran tersebut memiliki resiko mengganggu keseimbangan fiskal.Â
Ditambah lagi, meminjam istilah Bull dan Newell, jika tekanan publik (termasuk DPRD) di daerah berkurang terhadap penyelenggara pemerintahan, maka korupsi juga akan tumbuh subur karena tidak memiliki kriteria yang jelas dan transparan dalam penentuan (seleksi) pejabat publiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H