Dengar rintihan berjuta kepala
waktu lapar menggila
hamparan manusia tunggu mati
nyawa tak ada arti
kering kerontang meradang, entah sampai kapan
datang tikam nurani, selaksa do'a penjuru dunia
mengapa tak rubah bencana, menjerit Afrika mengerang Ethiopia....
Jika anda generasi-X, apa yang ada dalam pikiran anda ketika mendengar salah satu lagu Iwan Fals berjudul Ethiopia pada dekade 80-an di atas? Sebuah lagu menyayat hati yang bercerita tentang kemiskinan, kemunduran, dan kelaparan luar biasa yang melanda salah satu negeri di Afrika tersebut. Bahkan lagu itu juga menggambarkan bagaimana burung-burung bangkai yang berterbangan menunggu mangsa disekitar anak-anak Ethiopia yang menunggu ajal karena kelaparan.Â
Sebuah negeri pemeluk agama Nasrani tempat dulu pasukan Nabi Muhammad mendapat perlindungan dari raja Negus (Najasyi) akibat kejaran kaum Qurais, yang sebenarnya menjadi awal sejarah hijrah pertama sebelum hijrah ke Madinah yang lebih kita kenal. Sebelum Ethiopia, pada zaman Nabi negeri ini bernama Habasyah.
Negara ini pasca kelaparan dan perang saudara pada dekade tersebut hampir tidak lagi disorot media dan publik. Mereka seolah tenggelam dalam pusara kemiskinan dan hampir tidak terpikirkan oleh dunia karena isu kemiskinan juga adalah salah satu isu media dan politisasi yang bisa diangkat dalam rangka menimbulkan simpati. Simpati tersebut bisa berupa apa saja, ekonomi, politik, dan solidaritas keagamaan.Â
Untuk Ethiopia berbeda, isu kemiskinan mereka pasca hebohnya kelaparan tersebut tidak mendapat simpati yang berujung pada bantuan kemanusiaan berkelanjutan secara masif. Mereka seperti dilupakan, apalagi pasca tragedi itu di Indonesia sendiri mulai masuk paham-paham keagamaan yang keras, eksklusif, kurang toleran terhadap perbedaan, dan lebih berorientasi serta tertarik kepada isu-isu yang melanda suatu negara dengan ideologi yang sama. Sampai sekarang kita masih berkutat pada hal tersebut di atas, tidak bergerak maju, dan tanpa sadar kita telah disalip oleh Ethiopia, negara dengan penduduk 112 juta jiwa dari segi perekonomian.Â
Benarkah? Mari kita simak Ethiopia sekarang. Dari data World Bank menyebutkan negara ini telah mengalami kemajuan yang luar biasa, terutama dalam bidang kesejahteraan, salah satu variabel utama yang ingin dicapai oleh seluruh negara di dunia. Mereka menduduki peringkat ke-12 sebagai Negara Adidaya Pertanian dan Ketahanan Pangan di bawah Amerika yang menempati urutan ke-11, menurut lembaga FSI (Food Sustainability Index). Kemajuan ini juga didukung pertumbuhan ekonomi yang sangat kuat, mengejutkan, dan tentu saja menggembirakan dengan indeks rata-rata 10,9% pertahun (Indonesia masih turun naik di angka 4-5%). Tingkat harapan hidup naik 52 tahun 2000 menjadi 66 tahun 2017. Suatu pencapaian yang luar biasa yang tidak diduga oleh negara manapun sebelumnya jika kita mengingat peristiwa kelaparan yang mengguncang mata dunia waktu itu.Â
Apa yang terjadi dengan Ethiopia? Sebuah lembaga bernama Nocamels.com melansir informasi jika Ethiopia di back up sebuah lembaga nirlaba bernama Fair Planet yang membantu mereka memerangi kelaparan secara berkelanjutan. Lembaga nirlaba ini adalah milik Israel. Mereka membantu petani Ethiopia mengatasi problem kondisi tanah pertanian yang kering, tandus, gersang, dan tidak bisa ditanami dengan temuan teknologi-teknologi pertanian yang mereka miliki. Hebatnya, pemerintah Ethiopia tidak antipati dan membuka uluran tangan ini dengan antusias. Melupakan ragam perbedaan ideologi yang diperkirakan kaum agamawan bisa menyesatkan rakyat mereka. Karena ketika musibah kelaparan dulu terjadi, isu itu hanya menjadi konsumsi publik dunia tanpa ada tindak lanjut menolong apalagi membebaskan mereka dari hantu kemiskinan yang secara logika saat itu tidak akan mungkin bisa dihilangkan.
Secara berkelanjutan, Fair Planet memberi mereka benih berkualitas tinggi yang dapat bertahan sangat baik dari iklim Ethiopia yang keras, panas, dan bisa bertahan lama. Benih yang dikembangkan di Israel dan telah dipakai oleh mayoritas negara-negara Afrika, Arab (perkebunan kurma di Arab menggunakan teknologi Israel), dan Timur Tengah yang beriklim sama dengan Ethiopia ini berhasil berkembang dengan baik. Tanah-tanah Ethiopia mulai hijau, subur, dan menghasilkan panen yang melimpah ruah. Negara yang awalnya melakukan impor bahan pangan kini berbalik menjadi pengekspor pangan handal dunia. Ada 100 sukarelawan dari Israel berada di Ethiopia membantu 15.000 petani di sana agar hasil produksi pertanian mereka bisa berhasil dengan baik.
Beberapa teknologi pertanian yang ditransfer ke Ethiopia diantaranya adalah; Pertama, Water Gen. Alat ini berfungsi mengekstrak molekul air dari udara tipis menjadi air. Kedua, Grain Pro Cocoons. Alat yang berfungsi untuk menjaga hasil panen dari air dan udara luar serta melindungi biji-bijian dari kelembaban dan bakteri. Ketiga, Livin Green. Adalah seperangkat alat hidroponik murah, mandiri, dan ramah lingkungan yang memungkinkan petani menanam sayur tanpa membutuhkan tanah yang subur.
Selain pertanian yang 80% menjadi tumpuan pergerakan perekonomian, Ethiopia juga memacu sektor lain yaitu bidang jasa, industri, manufaktur dan konstruksi yang akhirnya ikut membantu mendorong PDB mereka sebesar 20% dari total PDB. Untuk sektor ini negara yang membantu Ethiopia adalah China. China menggelontorkan begitu banyak anggaran pembangunan infrastruktur dan teknologi yang akhirnya ikut memacu pertumbuhan ekonomi Ethiopia secara pesat. Pembanguan rel kereta api sepanjang 750 kilometer yang menghubungkan Addis Ababa ke Djibouti senilai 4 milyar dollar adalah investasi China agar Ethiopia bisa mengakses laut melalui pelabuhan Djibouti ke Teluk Persia (Ethiopia negara yang tidak memiliki laut). Termasuk kereta ringan LRT bawah tanah  di kawasan sub-Sahara Afrika. Bahkan menurut Ian Taylor pengamat hubungan internasional dari University of St. Andrews, Skotlandia. Percepatan pembangunan Addis Ababa mirip kota-kota di China pada awal abad 21.
Itulah Ethiopia sekarang. Menggeser pandangan dunia dari ketertinggalan dan kemiskinan. Ideologi hadir untuk menguatkan diri menuju penciptaNya. Bagi mereka, ideologi tidak lagi harus menjadi halangan berinteraksi ke seluruh negara jika tidak ingin ketinggalan. Ketika dunia sudah bisa saling bekerjasama dalam kemanusiaan, batas itu sama sekali tidak mereka tajamkan. Karena keterbukaan berpikir tidaklah selalu linier merubah keyakinan mereka terhadap pandangan keagamaan. Jika tidak seperti itu kapan lagi bisa bergerak maju, begitu mendengar nama Israel dan China mereka tidak langsung hipertensi seperti di negara kita.Â
Israel dan China dua negara yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian kita. Di tangan mereka sumbangsih perubahan dunia banyak tercipta. Temuan teknologi yang tidak hanya sebatas alat perang dan pertanian. Tapi juga teknologi industri, manufaktur, transportasi, penjelajahan ke luar angkasa, alat-alat kesehatan, dan obat-obatan, juga vaksin covid-19 yang kini digunakan untuk membentengi warga dunia dari serangan virus Corona.
Penulis: Munawar Khalil
dicitasi dari berbagai sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H