Sejak merebaknya Covid-19 di Indonesia sejak awal bulan Maret lalu, Kota Tarakan juga terkena  dampaknya. Hal tersebut bermula ditemukannya seorang ibu berusia 79 tahun yang baru melakukan perjalanan dari luar daerah. Seiring berjalannya waktu pasien Covid-19 di Kota Tarakan terus bertambah, sehingga Pemerintah Kota Tarakan menerapkan kebijakan PSBB di Kota Tarakan untuk mempercepat penanganan Covid-19.
Dengan adanya kebijakan tersebut, membawa dampak bagi kegiatan ekonomi yang ada di Kota Tarakan. Hal ini terlihat dari semakin sepinya usaha-usaha kuliner, ditutupnya tempat-tempat wisata, tingkat hunian hotel yang semakin menurun, dan perusahaan manufaktur yang melakukan pengurangan karyawan.
Dampak dari kegiatan ekonomi tersebut berkaitan  erat dengan status karyawan atau tenaga kerja. Akibat sepinya pelanggan dari usaha kuliner, tempat wisata, hotel, dan pabrik membuat pemilik usaha harus merumahkan karyawannya, baik itu sebagian maupun keseluruhannya untuk sementara waktu sambil menunggu perkembangan kondisi ekonomi akibat Covid-19 ini.
Bagi sebagian karyawan yang di rumah, apabila masih memiliki usaha lain atau alternatif lain mungkin tidak terlalu bermasalah. Sebaliknya bagi karyawan yang tidak memiliki usaha lain atau tabungan yang cukup dipastikan akan membawa dampak bagi kegiatan ekonominya. Hal tersebut akan menuai reaksi dari para karyawan, karena kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi.
Seperti yang terjadi pada salah satu perusahaan manufaktur yang ada di Kota Tarakan, ketika manajemen perusahaan menerapkan kebijakan merumahkan sebagian karyawannya dengan alasan produksi yang tidak lancar dan juga menerapkan sosial distancing di perusahaan. Kebijakan tersebut menuai reaksi dari ratusan karyawan yang berbondong-bondong mendatangi perusahaan untuk menuntut kejelasan gaji mereka selama di rumahkan.
Begitu pula  dengan sektor perhotelan, ada beberapa hotel yang memilih tidak beroperasi sementara dengan pertimbangan keamanan dan kesehatan para karyawan dari paparan Covid-19. Manajemen hotel beralasan tidak memiliki alat pelindung diri bagi karyawan, dan tidak mau menanggung resiko yang lebih besar. Disamping juga okupansi dari hari kehari yang terus menurun.
Akan muncul berbagai pertanyaan:
Apakah perusahaan dapat melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) terhadap pekerja/buruh dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat wabah pandemi Covid-19 ?
- Pasal 151 ayat 1 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dinyatakan bahwa pihak perusahaan, serikat pekerja, maupun pekerja dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
- Surat Edaran (SE) Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19.
Apa yang harus dilakukan bila perusahaan tidak sanggup membayar upah pekerja sesuai UMP (Upah Minimum Provinsi) dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat pandemi COVID-19?
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Apa hukum yang mengatur tentang kewajiban perusahaan untuk membuktikan adanya kerugian yang dialami akibat Force Majeure atau efisiensi?